Konflik Manusia dan Harimau pada Koridor di Kabupaten Agam, Sumatera Barat
Abstract
Pertumbuhan penduduk pada suatu daerah menimbulkan konsekwensi meningkatnya kebutuhan akan ruang, mata pencaharian, dan peningkatan produksi pangan. Strategi intensifikasi pertanian telah dicanangkan dengan penggunaan teknologi pertanian, kemajuan teknologi pertanian yang diharapkan sebagai pendobrak intensifikasi budidaya pangan tidak jarang memicu semakin luasnya lahan pertanian karena kapasitas dalam menggarap lahan tidak lagi terbatas oleh tenaga kerja manusia, bahkan lahan yang berada di kelerengan curam pun tidak lagi menjadi kendala. Hutan mengalami konversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan, membentuk fragmen-fragmen hutan yang terpisah satu sama lain. Perubahan demi perubahan berangsur mengakibatkan terpisahnya habitat atau fragmentasi dan terjadi ketidak-seimbangan ekologis yang berdampak terhadap sumberdaya alam, keanekaragaman hayati dan manusia.
Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) adalah spesies kharismatik yang dilindungi oleh peraturan hukum di Indonesia karena populasi yang semakin kritis dan berada dalam status Critically Endangered pada IUCN Redlist, akibat dari kehilangan habitat secara massif, tingginya perburuan dan konflik dengan manusia yang menimbulkan banyak kehilangan individu. Harimau merupakan spesies yang membutuhkan habitat luas, dan memafaatkan rumpun hutan terfragmentasi yang membentuk koridor sebagai batu loncatan untuk mencapai rumpun hutan lain. Perilaku dispersal ini penting bagi harimau dalam mempertahankan kesehatan populasi termasuk didalamnya adalah menjaga keragaman genetik. Koridor ini terbentuk dari sisa-sisa hutan dan menjadi area beresiko tinggi terjadi konflik antara manusia dan harimau (KMH) yang berdampak negatif bagi kedua pihak, dimana manusia mengalami kerugian material, psikologis dan jiwa sedangkan harimau banyak terpaksa ditangkap atau diburu karena jejak tapak kaki terlihat di area pertanian masyarakat, memangsa ternak atau manusia. Upaya pengelolaan koridor harimau harus ditempuh dengan menggunakan landasan ilmu pengetahuan multi-disiplin termasuk didalamnya aspek biologi, ekologi dan aspek sosial.
Penelitian ini bertujuan mengkaji aspek ekologi dari perubahan tutupan lahan terhadap intensitas KMH melalui pendekatan lanskap metrik. Penelitian dilakukan secara desktop study pada wilayah yang mengalami konflik dengan intensitas tinggi di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dengan basis data sekunder berupa catatan insiden KMH pada periode 2005-2024 serta peta penutupan hutan pada kelas “hutan tidak terganggu” dari Tropical Moist Forest - Joint Research Center (TMF-JRC).
Area di koridor yang terletak di Kabupaten Agam dibagi menjadi 31 petak imajiner berukuran masing-masing 3x3 km sebagai unit sampel penelitian, dengan tujuan untuk melihat hubungan antara kerapatan KMH yang dihitung dengan metode Kernel Density Estimation (KDE) dengan radius 5,6 km. Nilai metrik lanskap metrik seperti proporsi hutan, number of patches (NP), patch density (PD), largest patch index (LPI), dan patch cohesion index (PCI) diperoleh dengan menggunakan plug-in Landscape Ecology Statistic (LecoS) didalam perangkat lunak QGIS. Analisis statistik korelasi Spearman digunakan untuk menguji korelasi antara kerapatan KMH dengan metrik lanskap pada tiga periode pengamatan yaitu tahun 2010, 2015 dan 2020. Korelasi nyata metrik lanskap berasosiasi dengan intensitas konflik dimana KMH intensitas rendah dan sedang terjadi pada kondisi lanskap metrik yang berseberangan dengan KMH intensitas tinggi. KMH intensitas rendah hingga sedang terjadi pada proporsi hutan tinggi, LPI tinggi, PCI tinggi dan PD rendah, sedangkan KMH intensitas tinggi berada pada proporsi hutan rendah, LPI rendah, PCI rendah dan pada PD yang tinggi.
Prediksi penutupan hutan pada tahun 2030 dianalisis dengan metode Celullar Automata Markov (CA Markov) yang secara teknis menggunakan plug-in Molusce pada perangkat lunak QGIS menunjukkan indikasi penurunan laju kerusakan hutan dari 0,7% per tahun pada periode 2000-2020 menjadi 0,25% per tahun pada periode 2020-2030. Indikasi penurunan laju kerusakan hutan ini adalah fenomena positif untuk mendasari upaya perbaikan struktur lanskap koridor harimau di Kabupaten Agam. Kondisi metrik lanskap pada tahun 2030 diprediksikan tidak berubah secara signifikan dibandingkan dengan metrik pada tahun 2020 dan masih berpotensi terjadi KMH yang intensif.
Terdapat lima kecamatan di Kabupaten Agam yang penting dalam pengelolaan koridor yaitu Palembayan, Palupuh, Matur, IV Koto dan Malalak dimana terjadi konversi hutat APL yang memutus koridor dan mengalami konflik dengan intensitas yang tinggi sejak tahun 2016. Pendekatan ekologi lanskap, mendasari perlunya perbaikan struktur koridor dengan menyambungkan patch-patch yang terpisah, penataan pola dan perencanaan pembukaan lahan bagi masyarakat yang disertai dengan pendekatan sosial-ekonomi dalam bentuk peningkatan pemahaman pencegahan KMH. Upaya perbaikan koridor selanjutnya wajib dilakukan dengan bekerjasama dengan masyakarat serta pemerintah daerah, karena 90.8% kehilangan tutupan hutan pada koridor ini terjadi pada area penggunaan lain (APL). Population growth in an area has consequences of increasing needs for space, livelihood needs, and food productions. Agricultural intensification strategies are often echoed with the use of technology in agriculture. Advances in agricultural technology that are expected to be a breakthrough in the intensification of food cultivation often trigger the expansion of agricultural land because the capacity to work on land is no longer limited by human labor, even land on steep slopes is no longer an obstacle. Forests are converted into agricultural and plantation land, forming forest fragments that are separate from each other. The changes that occur gradually resulting in ecological scarcity which ultimately impacts humans, natural resources and biodiversity. The Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) is a protected species under Indonesian law, and Critically Endangered on the IUCN Redlist, due to population decline caused by continuous habitat loss, poaching and conflict with humans which causes many individuals to be removed.
Sumatran tigers is a species that requires a large and connected habitat, has an ability to utilize fragmented forest areas as a stepping stone to reach other habitats. This dispersal behavior is important for tigers to maintain population health, including maintaining genetic diversity. Area around the corridors have the potential for human-tiger conflict (HTC) which has a negative impact on both parties, humans experience material and life losses while many tigers must be captured or killed because their pugmarks are visible in community agricultural areas, attack livestock or attack humans. Efforts to manage tiger corridor must be carried out using a scientific basis that includes biological, ecological, and social disciplines, whilst this research’s focus is only on the landscape ecological aspect.
This study aims to examine the landscape ecological aspects of land cover changes to HTC intensity through a landscape metric approach. The study was conducted as a desktop study in areas experiencing high-intensity conflict in Agam Regency, West Sumatra Province with a secondary database of HTC incidents for the period 2005-2024 and land cover from the Tropical Moist Forest - Joint Research Center.
Corridor in Agam sampled using 31 grids with size of 3x3 km each, the analysis conducted to count HTC density using Kernel Density Estimation method, where radius of 5.6 km is used in the analysis. Landscape metric indices such as area and proportion of patches, number of patches (NP), patch density (PD), largest patch index (LPI), and patch cohesion index (PCI) obtained using the Landscape Ecology Statistic (LecoS) plug-in for QGIS. Spearman Correlation statistic then conducted to investigate correlation between HTC density and landscape metric indices. A significant correlation was shown that landscape conditions were associated with landscape structures where low and high HTC intensity occurred in opposite metric landscape conditions. Low intensity HTC occurred in the area with higher forest proportions, higher LPI, higher PCI and at a lower PD, while high intensity HTC was in lower forest proportions, lower LPI, lower PCI and lower PD. Forest cover predictions in 2030 modelled by the Cellular Automata Markov (CA Markov) using the Molusce plug-in in QGIS indicate a decrease in the rate of forest loss from 0,7% per year between 2000-2020 period to 0,25% per year between 2020-2030. This indication of a decrease in the rate of forest loss is a positive phenomenon that could lead efforts to improve the corridor structure in the future. Although there has been a decrease in the rate of disturbance in 2030, the landscape metric conditions still indicates that there will be high-intensity conflict incidents.
There are five sub-districts in Agam Regency comprises of Palembayan, Palupuh, Matur, IV Koto and Malalak which have continuous forest conversion that cutting the corridor and experienced high-intensity conflicts. Through a landscape ecology approach, improving the corridor structure needs by connecting separate patches as well as arranging patterns and planning of land clearing for the community. Forest rehabilitation and preventing damage to protected areas are also important parts of tiger corridor management. Further corridor improvement efforts were carried out with the active involvement and participation of the community and local government where 90,8% of forest cover loss in the corridor occurred in non-protected forest status (APL).