Manajemen Risiko Investasi Proyek Pembangunan Stasiun Pengangkutan Bulk Elpiji (SPBE) di Sorong
Abstract
Wilayah Sorong dikenal sebagai salah satu penghasil gas bumi utama di Indonesia. Namun, masyarakat setempat belum dapat menikmati produk gas seperti LPG (Liquefied Petroleum Gas) dengan harga yang kompetitif seperti di Pulau Jawa atau wilayah lainnya. Selain harganya yang lebih mahal, ketersediaan LPG di Sorong sering kali langka di pasaran. Hal ini dipicu oleh berbagai kendala, seperti terbatasnya pasokan dan gangguan dalam rantai distribusi, termasuk masalah kepelabuhanan dan cuaca buruk. Kondisi ini semakin diperparah oleh fakta bahwa proses pembotolan LPG masih bergantung pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) di Surabaya. Tingginya biaya transportasi untuk mengirim LPG dari Sorong ke Surabaya, dan kembali lagi ke Sorong dalam bentuk tabung, menjadi salah satu penyebab utama mahalnya harga LPG di daerah ini.
Salah satu solusi strategis yang dapat menekan biaya transportasi dan meningkatkan ketersediaan LPG adalah pembangunan SPBE langsung di Sorong. Keberadaan SPBE lokal tidak hanya akan menurunkan biaya transportasi tetapi juga mengurangi risiko kelangkaan akibat gangguan pasokan. Pembangunan SPBE di Sorong membuka peluang investasi yang sangat menarik dan memiliki prospek keuntungan yang besar, namun proyek ini tidak terlepas dari risiko. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi risiko-risiko yang dapat mempengaruhi investasi, serta memberikan rekomendasi perlakuan risiko dan implikasi manajerial yang relevan bagi perusahaan.
Penelitian ini menggunakan kerangka kerja SNI ISO 31000:2018 Penelitian dilakukan selama 2 bulan yaitu bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2024 di PT Perta Daya Gas dengan lokasi penelitian di Jakarta dan Sorong. Proses pengumpulan data melibatkan 12 narasumber internal yang memiliki pengetahuan mendalam tentang manajemen risiko dan 2 narasumber eksternal yang merupakan ahli proyek terkait gas dengan pengalaman kerja di luar Pulau Jawa. Data diperoleh melalui wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) serta didukung oleh referensi dari jurnal, buku, penelitian, peraturan, dan dokumen lainnya. Sesuai dengan kerangka kerja ISO 31000:2018, manajemen risiko dimulai dengan penetapan lingkup, konteks, dan kriteria, yang dilakukan melalui wawancara. Tahapan identifikasi risiko menggunakan alat bantu seperti risk breakdown structure (RBS) dan fishbone diagram, sedangkan analisis dan evaluasi risiko dilakukan menggunakan matriks heat map. Rekomendasi perlakuan risiko digali melalui metode FGD dengan melibatkan narasumber ahli. Proses manajemen risiko ini dibagi menjadi tiga struktur utama berdasarkan tahapan investasi, yaitu perencanaan, EPC (Engineering Procurement and Construction), dan operasional. Hasil identifikasi mengungkapkan adanya 37 potensi risiko dengan 83 sumber risiko. Dari analisis dan evaluasi, 3 sumber risiko masuk dalam kategori sangat tinggi, 22 sumber risiko tergolong tinggi, 35 sumber risiko sedang, 13 sumber risiko rendah hingga sedang, dan 10 sumber risiko rendah. Sebanyak 60
v
sumber risiko berada pada tingkat yang tidak dapat diterima, sehingga perlu dilakukan mitigasi untuk menurunkan tingkat risikonya. Setelah dilakukan diskusi dan dirumuskan rekomendasi perlakuan risiko, 2 sumber risiko tetap berada di kategori tinggi, sementara 7 sumber risiko berhasil diturunkan ke kategori sedang, dan sisanya berada dalam kategori yang dapat diterima.
Pada tahap perencanaan, perhatian khusus harus diberikan pada kurangnya komitmen terkait volume dan pasokan gas. Pada tahap EPC, risiko seperti keterlambatan material akibat gangguan masyarakat, eksekusi lahan, dan kecelakaan kerja harus ditangani secara serius. Sementara itu, pada tahap operasional, fokus utama adalah pada ketersediaan gas, aspek komersial, dan keselamatan kerja.
Rekomendasi manajerial mencakup kelanjutan investasi dengan catatan bahwa risiko-risiko yang ada harus ditangani dengan pendekatan yang lebih mendalam. Perlakuan risiko tambahan dapat diberikan pada sumber risiko yang masih berada pada tingkat tinggi meskipun telah diterapkan rekomendasi sebelumnya. Selain itu, pemantauan dan pembaruan risiko harus dilakukan secara berkala seiring dengan kemajuan proyek. Proses ini perlu melibatkan pihak dalam organisasi maupun diluar organisasi, seperti auditor atau komite pengawas investasi, untuk memastikan bahwa semua risiko dapat dikelola dengan baik dan tidak menghambat pencapaian tujuan proyek.
Selain itu, keberadaan SPBE di Sorong tidak hanya berdampak pada efisiensi operasional perusahaan, tetapi juga memberikan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat sekitar. Dengan harga LPG yang lebih terjangkau dan pasokan yang lebih stabil, masyarakat dan pelaku usaha lokal dapat meningkatkan produktivitas mereka tanpa harus khawatir terhadap fluktuasi harga atau kelangkaan bahan bakar. Di sisi lain, pembangunan SPBE juga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, baik selama fase konstruksi maupun operasional. Program ini dapat dikaitkan dengan inisiatif pemberdayaan masyarakat lokal melalui pelatihan dan penyerapan tenaga kerja, yang pada akhirnya akan memperkuat hubungan perusahaan dengan komunitas setempat sekaligus meningkatkan citra perusahaan di tingkat lokal maupun nasional. Hal ini mencerminkan kontribusi positif perusahaan terhadap pembangunan daerah, sejalan dengan upaya mendukung kebijakan pemerintah dalam mendorong pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. The Sorong region is known as one of Indonesia's main natural gas producers. However, the local community has not been able to enjoy gas products such as LPG (Liquefied Petroleum Gas) at competitive prices like in Java or other regions. In addition to being more expensive, LPG availability in Sorong is often scarce in the market. This is driven by various constraints, such as limited supply and disruptions in the distribution chain, including port issues and adverse weather conditions. The situation is further exacerbated by the fact that the LPG bottling process still relies on the Bulk LPG Filling Station (SPBE) in Surabaya. The high transportation costs of delivering LPG from Sorong to Surabaya, and then back to Sorong in bottled form, are one of the main reasons for the high LPG prices in this area.
One strategic solution to reduce transportation costs and increase LPG availability is to establish an SPBE directly in Sorong. The presence of a local SPBE would not only reduce transportation costs but also minimize the risk of shortages due to supply disruptions. Building an SPBE in Sorong presents a highly attractive investment opportunity with significant profit potential. However, this project is not without risks. Therefore, this study aims to identify, analyse, and evaluate risks that may affect the investment and provide risk treatment recommendations and relevant managerial implications for the company.
This study adopts the SNI ISO 31000:2018 framework. The research was conducted over two months, from May to July 2024, at PT Perta Daya Gas, with research locations in Jakarta and Sorong. Data collection involved 12 internal informants with in-depth knowledge of risk management and 2 external informants who are project experts related to gas and have work experience outside Java. Data were obtained through interviews and focus group discussions (FGD), supported by references from journals, books, studies, regulations, and other documents. According to the ISO 31000:2018 framework, risk management begins with defining the scope, context, and criteria, conducted through interviews. The risk identification stages used tools such as risk breakdown structure (RBS) and fishbone diagrams, while risk analysis and evaluation were conducted using heat map matrices. Risk treatment recommendations were derived through FGDs involving expert informants. This risk management process is divided into three main structures based on investment phases: planning, EPC (Engineering, Procurement, and Construction), and operations.
The identification results revealed 37 potential risks with 83 sources of risks. From the analysis and evaluation, 3 sources of risk fall into the very high category, 22 into the high category, 35 into the medium category, 13 into the low- to-medium category, and 10 into the low category. A total of 60 risk sources are at an unacceptable level and thus require mitigation to reduce their level of risk. After discussions and the formulation of risk treatment recommendations, 2 risk sources
vii
remained in the high category, while 7 risk sources were successfully reduced to the medium category, with the rest falling into the acceptable category.
In the planning phase, special attention should be given to the lack of commitment related to gas volume and supply. During the EPC phase, risks such as material delays due to community disruptions, land execution issues, and workplace accidents must be addressed seriously. Meanwhile, in the operational phase, the main focus should be on gas availability, commercial aspects, and workplace safety.
Managerial recommendations include continuing the investment with the condition that existing risks must be addressed with a more in-depth approach. Additional risk treatments may be applied to risk sources that remain at a high level even after previous recommendations have been implemented. Moreover, risk monitoring and updating must be conducted periodically as the project progresses. This process should involve both internal and external parties, such as auditors or investment oversight committees, to ensure that all risks are well-managed and do not hinder the project's objectives.
Furthermore, the existence of an SPBE in Sorong not only impacts the company's operational efficiency but also provides significant social and economic benefits to the surrounding community. With more affordable LPG prices and a more stable supply, local residents and businesses can increase their productivity without worrying about price fluctuations or fuel shortages. On the other hand, the construction of the SPBE also has the potential to create new jobs, both during the construction and operational phases. This program can be linked to local community empowerment initiatives through training and workforce absorption, ultimately strengthening the company's relationship with the local community while enhancing its image at both local and national levels. This reflects the company's positive contribution to regional development, in line with efforts to support government policies in promoting equitable development across Indonesia.
Collections
- MT - Business [2069]