Evaluasi Seismik dan Retrofit Struktur Bangunan Menggunakan ASCE 41-17 dan SNI 1726:2019
Abstract
Indonesia merupakan negara dengan tingkat aktivitas seismik yang tinggi,
mencatat 71.628 kejadian gempa bumi antara tahun 2009 hingga 2019, termasuk
gempa Cianjur pada November 2022 yang dipicu oleh sesar aktif yang belum
teridentifikasi. Kondisi ini mendorong pembaruan standar seismik, seperti SNI
1726:2019 yang menggantikan SNI 1726-2012, untuk memberikan panduan yang
lebih komprehensif dalam perancangan bangunan tahan gempa. Namun,
pembaruan ini juga meningkatkan beban gempa hingga 69% di beberapa wilayah,
sehingga bangunan yang dibangun sebelum pembaruan ini memerlukan evaluasi
kinerja untuk memastikan keamanannya. Hingga saat ini, Indonesia belum
memiliki standar evaluasi khusus untuk bangunan eksisting, sehingga evaluasi
sering kali masih menggunakan standar desain yang bersifat preskriptif.
Gedung XYZ, yang berlokasi di Jakarta Timur dengan delapan lantai dan
dibangun pada tahun 2001, menjadi objek evaluasi menggunakan SNI 1726:2019,
SNI 2847:2019, dan ASCE 41-17. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa struktur
gedung ini tidak memenuhi persyaratan kedua standar dalam hal simpangan lantai
Berdasarkan SNI, ditemukan 140 balok dan 120 kolom dengan nilai Demand
Capacity Ratio (DCR) rata-rata masing-masing 1,10 dan 1,34, yang menunjukkan
elemen-elemen ini tidak memenuhi target kinerja. Selain itu, terdapat 12 elemen
dinding geser dengan DCR rata-rata 1,84, serta 146 elemen sambungan dengan
DCR rata-rata 1,26. Sementara itu, berdasarkan ASCE 41-17, semua elemen
memenuhi tingkat kinerja LS di bawah beban BSE-1E, namun di bawah beban
BSE-2E, delapan kolom lantai dasar melebihi target CP, menunjukkan adanya
risiko kegagalan pada prinsip kolom kuat-balok lemah.
Penelitian ini mengungkapkan perbedaan signifikan antara pendekatan SNI
1726:2019 dan ASCE 41-17 dalam menentukan demand dan kapasitas struktur
bangunan eksisting. SNI cenderung bersifat konservatif, dengan pengunaan factor
safety yang tinggi, sehingga terjadi peningkatan demand dan faktor reduksi yang
besar menurunkan nilai kapasitas elemen, pesyaratan SNI lainnya menerapkan
mutu material minimum dan jarak tulangan minimum yang sulit dipenuhi oleh
bangunan eksisting. Pendekatan ini menghasilkan tingkat defisiensi yang lebih
tinggi dan memberikan tantangan lebih besar dalam memenuhi kinerja struktur
eksisting. Sebaliknya, ASCE 41-17 lebih fleksibel dan proporsional dalam
menentukan demand serta kapasitas, sehingga menghasilkan evaluasi yang lebih
realistis dan efisien. Evaluasi gedung ini menunjukkan bahwa ASCE 41-17 tidak
hanya lebih efisien, dengan mengidentifikasi hingga 77% lebih sedikit elemen tidak
aman dibandingkan SNI, tetapi juga memberikan pedoman yang lebih fleksibel dan
realistis untuk bangunan eksisting di Indonesia
Collections
- MT - Agriculture Technology [2316]