Show simple item record

dc.contributor.advisorMaharijaya, Awang
dc.contributor.advisorSobir
dc.contributor.advisorRitonga, Arya Widura
dc.contributor.authorRamdhani, Cahyati
dc.date.accessioned2025-01-02T06:16:01Z
dc.date.available2025-01-02T06:16:01Z
dc.date.issued2024
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/160445
dc.description.abstractBawang merah (Allium cepa var. aggregatum) merupakan tanaman yang dibudidayakan di Indonesia dan mancanegara. Produksi bawang merah di Indonesia umumnya mengandalkan umbi sebagai bahan tanam. Namun, penggunaan umbi sebagai benih memiliki beberapa keterbatasan, seperti tingginya tingkat infeksi patogen, kebutuhan ruang penyimpanan yang besar, biaya transportasi yang mahal, serta kerentanan terhadap kerusakan mekanis dan penyimpanan yang tidak optimal. Faktor-faktor ini dapat menghambat produktivitas tanaman dan potensi hasil panen secara keseluruhan. Sebagai alternatif, teknologi produksi bawang merah kini berkembang kearah penggunaan benih botani atau True Shallot Seed (TSS). Penggunaan TSS dapat meningkatkan produktivitas hingga dua kali lipat dibandingkan dengan penggunaan umbi. Salah satu keunggulan utama dari TSS adalah eliminasi patogen bawaan umbi, seperti Fusarium sp. Dalam proses produksi TSS, siklus hidup patogen dapat terputus karena biji tidak memiliki fase dormansi yang memungkinkan patogen bertahan hidup. Namun, produksi TSS di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama karena rendahnya kemampuan berbunga pada tanaman bawang merah. Pola pembungaan sangat dipengaruhi oleh genotipe yang menyebabkan variasi kemampuan berbunga antar varietas. Selain itu, faktor lingkungan dan genetik memainkan peran penting dalam proses pembungaan. Perlakuan induksi pembungaan, seperti vernalisasi dan aplikasi hormon giberelin (GA3), telah terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan berbunga dan produksi TSS. Persilangan bawang merah merupakan bagian penting dalam program pemuliaan untuk menghasilkan varietas unggul. Program hibridisasi bertujuan menghasilkan benih melalui reproduksi generatif yang memiliki keunggulan dalam mengeliminasi patogen serta meningkatkan ketahanan terhadap penyakit, produktivitas, dan adaptasi terhadap lingkungan. Benih hibrida hasil persilangan tidak membawa patogen sistemik yang sering menginfeksi jaringan vegetatif, sehingga memberikan alternatif yang lebih sehat dan efisien dibandingkan dengan penggunaan umbi. Percobaan pertama bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh tiga perlakuan induksi pembungaan terhadap kemampuan berbunga dan produksi TSS di dataran tinggi dan menengah, serta mengidentifikasi karakter agronomi yang memengaruhi bobot TSS. Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan dua faktor, yaitu genotipe bawang merah dan perlakuan induksi pembungaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan vernalisasi di dataran tinggi efektif meningkatkan persentase pembungaan dan bobot TSS per tanaman. Pada dataran menengah, kombinasi vernalisasi dan GA3 (V+G) berhasil menginduksi pembungaan dan meningkatkan bobot TSS. Karakter jumlah TSS memberikan pengaruh langsung terhadap bobot TSS, sedangkan karakter lainnya berpengaruh secara tidak langsung melalui jumlah TSS. Percobaan kedua bertujuan untuk mengidentifikasi kombinasi perlakuan yang dapat mendukung pembungaan dan produksi TSS di kedua lokasi pengujian, serta mengetahui pengaruh kondisi lingkungan terhadap bobot 100 TSS. Penelitian ini menggunakan RKLT dengan dua faktor, yaitu kombinasi perlakuan bawang merah dan lokasi. Hasilnya menunjukkan bahwa kombinasi Bima Brebes dengan vernalisasi (BMV) dan dengan giberelin (BMG) mampu mendukung pembungaan dan produksi TSS yang baik di kedua lokasi. Selain itu, dataran tinggi menghasilkan bobot 100 TSS yang lebih baik dibandingkan dataran menengah. Percobaan ketiga bertujuan untuk menganalisis tingkat kompatibilitas penyerbukan sendiri dan silang dari beberapa kombinasi perlakuan, serta memperoleh informasi tentang keragaman genetik antar kombinasi berdasarkan karakter produksi TSS. Penelitian disusun menggunakan RKLT satu faktor, yaitu kombinasi penyerbukan silang dan sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyerbukan sendiri pada Bima termasuk inkompatibel sebagian, sementara selfing Maja dan Batu sepenuhnya inkompatibel. Persilangan ?Bima × ?Maja dan ?Maja × ?Bima juga menunjukkan inkompatibilitas sebagian. Koefisien ketidakmiripan berkisar antara 1,25% hingga 87,28%, dengan persilangan ?Bima × ?Maja dan ?Batu x ?Batu memiliki hubungan kekerabatan paling jauh.
dc.description.abstractShallot (Allium cepa var. aggregatum) is widely cultivated in Indonesia and internationally. In Indonesia, shallot production predominantly relies on bulbs as planting material. However, using bulbs as seeds poses several challenges, including a high risk of pathogen infection, substantial storage space requirements, high transportation costs, and susceptibility to mechanical damage and improper storage conditions. These factors significantly hinder plant productivity and overall yield potential. As an alternative, shallot production technology is advancing toward using botanical seeds, commonly called True Shallot Seed (TSS). The adoption of TSS has been shown to enhance productivity by up to twofold compared to using bulbs. A key advantage of TSS lies in its ability to eliminate bulb-borne pathogens, such as Fusarium sp. During the TSS production process, the pathogen life cycle is effectively disrupted, as the seeds lack a dormancy phase that would otherwise enable pathogen survival. However, TSS production in Indonesia still faces significant challenges, primarily due to the low flowering ability of shallot plants. Genotypes strongly influence flowering patterns, leading to variations in flowering capacity among different varieties. In addition, both environmental and genetic factors play crucial roles in the flowering process. Flowering induction treatments, such as vernalization and applying the hormone gibberellin (GA3), have effectively enhanced flowering ability and increased TSS production. Shallot hybridization is crucial in breeding programs aimed at producing superior varieties. Hybridization programs focus on generating seeds through sexual reproduction, which offer advantages such as the elimination of pathogens and improvements in disease resistance, productivity, and environmental adaptation. Hybrid seeds resulting from crosses do not carry systemic pathogens commonly found in vegetative tissues, thus providing a healthier and more efficient alternative to bulb propagation. The first experiment aimed to evaluate the effects of three flowering induction treatments on flowering ability and TSS production at high and medium altitudes and identify agronomic traits affecting TSS weight. This study utilized a Randomized Completely Block Design (RCBD) with two factors: shallot genotype and induction treatment. Results indicated that vernalization treatment in highland areas effectively increased flowering percentage and TSS weight per plant. In medium-altitude areas, the combination of vernalization and GA3 (V+G) successfully induced flowering and enhanced TSS weight. The number of TSS directly affected TSS weight, while other traits indirectly influenced TSS weight through the number of TSS. The second experiment aimed to identify treatment combinations that support flowering and TSS production across both test locations and assess environmental conditions' impact on the weight of 100 TSS. This study employed a Randomized Completely Block Design (RCBD) with two factors: shallot treatment combinations and location. Results showed that the combinations of Bima Brebes with vernalization (BMV) and gibberellin (BMG) successfully supported robust flowering and TSS production at both locations. Furthermore, highland conditions produced a greater 100-TSS weight compared to mid-altitude conditions. The third experiment aimed to analyze the compatibility of self- and cross-pollination in several treatment combinations and to assess genetic diversity among combinations based on TSS production traits. This study used a one-factor Randomized Completely Block Design (RCBD), focusing on cross- and self-pollination. Results showed that the self-pollination of Bima was partially incompatible, while the self-pollination of Maja and Batu was fully incompatible. Crosses between ?Bima × ?Maja and ?Maja × ?Bima also exhibited partial incompatibility. The similarity coefficient ranged from 1.25% to 87.28%, with the ?Bima × ?Maja cross and ?Batu x ?Batu showing the most distant genetic relationship.
dc.description.sponsorship
dc.language.isoid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleStudi Pembungaan, Produksi True Shallot Seed, dan Kemampuan Persilangan pada Beberapa Genotipe Bawang Merah (Allium cepa var. aggregatum)id
dc.title.alternativeStudy of Flowering, True Shallot Seed Production, and Crossbreeding Capability in Several Genotypes of Shallot (Allium cepa var. aggregatum)
dc.typeTesis
dc.subject.keywordinteraksi GxEid
dc.subject.keywordkompatibilitasid
dc.subject.keywordkorelasiid
dc.subject.keywordsidik lintasid
dc.subject.keywordhibridisasiid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record