Polemik Tenurial dalam Kawasan Hutan di Pesisir Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi
Abstract
Selama beberapa dekade terakhir, konflik penguasaan lahan dalam kawasan hutan telah menjadi permasalahan yang signifikan di pesisir utara Pulau Jawa. Ketidakpastian tenurial pada kawasan hutan menjadi penyebab pelbagai permasalah tenurial, khususnya konflik penguasaan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk memahami kompleksitas dinamika penguasaan lahan dalam kawasan hutan. Fokus penelitian diarahkan pada peran kekuasaan dan otoritas dalam kontestasi aktor untuk melegitimasi klaim penguasaan lahan. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi pada November 2022 sampai dengan Desember 2023. Adapun desain penelitian ini menggunakan paradigma penelitian konstruktivisme, serta pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Kemudian, analisis data menggunakan model interaktif dengan memperhatikan teori rezim kepemilikan sumberdaya dari Schlager dan Ostrom (1992), teori akses dari Ribot dan Peluso (2003), serta kekuasaan dan otoritas dari Sikor dan Lund (2009) sebagai rujukan utama.
Dinamika penguasaan lahan di Kecamatan Muara gembong menunjukkan adanya intervensi pemerintah, konflik kepentingan, dan pengaruh eksternal yang mempengaruhi mekanisme akses, pengelolaan, serta penguasaan sumberdaya dalam kawasan hutan. Pembentukan state property regime melalui proses pengukuhan kawasan hutan pada akhirnya menyebabkan polemik berkepanjangan yang melibatkan pelbagai aktor. Penolakan atau resistensi terhadap kebijakan pemerintah menimbulkan perlawanan terbuka terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil. Penelitian ini menunjukkan adanya teritorialisasi negara—melalui otoritas kehutanan—dan kontra teritorialisasi oleh masyarakat lokal. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk diskrepansi hak legal dan aktual di lapangan, dimana aktor negara tidak mampu menjalankan sekumpulan hak yang melekat secara legal. Sementara itu, masyarakat lokal menempatkan posisi mereka sebagai pemilik (owner) yang memiliki sekumpulan hak yang lengkap, mulai dari hak akses (access rights) hingga hak mengalihkan (alienation rights).
Penelitian ini turut menegaskan bahwa rezim hak milik dapat dinegosiasikan dan berubah-ubah pada tingkat tertentu. Pelbagai institusi politik-hukum saling bersaing untuk memberikan sanksi dan memvalidasi klaim demi mendapatkan pengakuan atas otoritas mereka. Legitimasi yang diberikan oleh otoritas kehutanan dapat dengan mudah dilemahkan oleh ketidakhadiran institusi tersebut di lapangan. Pada akhirnya, upaya penyelesaian yang ada perlu mengoreksi berbagai dampak yang ditimbulkan oleh teritorialisasi negara melalui klaim kawasan hutan. Pelbagai upaya penyelesaian perlu mempertimbangkan kondisi faktual dan kepentingan sosial-ekonomi. Pemerintah perlu memberikan kepastian hak yang tegas terhadap lahan, serta memberikan ruang kelola yang memadai kepada masyarakat lokal. Over the past few decades, land tenure conflicts in forest areas have become a significant problem on the north coast of Java Island. Tenure uncertainty in forest areas is the cause of various tenurial problems, especially land tenure conflicts. This research aims to understand the complexity of land tenure dynamics in forest areas. The research focuses on the role of power and authority in the contestation of actors to legitimize land tenure claims. The research was conducted in Muara Gembong District, Bekasi Regency, from November 2022 to December 2023. The research design uses a constructivist research paradigm and a qualitative approach with a case study strategy. The types of data collected in the research consisted of primary and secondary data. Then, data analysis uses an interactive model by considering the theory of property rights regime from Schlager and Ostrom (1992), access theory from Ribot and Peluso (2003), and power and authority from Sikor and Lund (2009) as the primary references.
The dynamics of land tenure in Muara Gembong District show the existence of government intervention, conflicts of interest, and external influences that affect the mechanism of access, management, and control of resources in the forest area. Establishing a state property regime through the gazettement of forest areas eventually led to a prolonged polemic involving various actors. Rejection or resistance to government policies leads to open resistance to policies that are considered unfair. This research shows the territorialization of the state - through forestry authorities - and counter-territorialization by local communities. This can be interpreted as a discrepancy between legal and actual rights in the field, where state actors cannot exercise legally inherent rights. Meanwhile, local communities position themselves as owners with complete rights, ranging from access rights to alienation rights.
The research also confirms that property rights regimes are negotiable and changeable to some degree. Various politico-legal institutions compete with each other to sanction and validate claims in order to gain recognition for their authority. Their absence on the ground can easily undermine the legitimacy conferred by forestry authorities. Ultimately, existing solutions need to correct the impacts of state territorialization through forest area claims. Various settlement efforts need to consider factual conditions and socio-economic interests. The government must provide firm rights certainty over land and adequate management space for local communities.
Collections
- MT - Human Ecology [2270]