Induksi Embrio Somatik dan Iradiasi Sinar Gamma untuk Meningkatkan Keragaman Genetik Talas
Date
2024Author
Wardhani, Krismandya Ayunda
Dinarti, Diny
Santosa, Edi
Nurcholis, Waras
Metadata
Show full item recordAbstract
Diversifikasi pangan menggunakan pangan lokal menjadi salah satu
alternatif dalam upaya mengantisipasi krisis pangan. Indonesia merupakan salah
satu negara megabiodiversitas jenis tanaman, termasuk talas. Talas telah
dibudidayakan dan digunakan sebagai sumber karbohidrat non-beras dengan
kandungan gizi yang cukup baik. Umbi talas dapat diolah menjadi berbagai pangan,
pakan, hingga sebagai bahan baku kosmetik dan obat-obatan. Selain umbinya, talas
dapat dikonsumsi sebagai pangan fungsional karena dapat menjadi sumber vitamin,
mineral, metabolit sekunder, dan serat yang tinggi. Talas juga memiliki kandungan
antioksidan seperti asam askorbat, asam klorogenat, katekin, flavonoid, tanin,
karotenoid, dan senyawa polifenol lainnya yang dapat berkontribusi untuk
kesehatan.
Terdapat lebih dari 180 kultivar talas yang dapat dibedakan secara
morfotipe, dan setidaknya terdapat 20 kultivar yang telah diidentifikasi berpotensi
untuk dijadikan tanaman induk bagi pemuliaan tanaman. Beberapa di antaranya
adalah talas Beneng Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) yang berpotensi
dikembangkan menjadi aneka produk pangan dalam upaya menunjang ketahanan
pangan. Talas lainnya yang ditemukan di Indonesia adalah talas S28 (Colocasia
esculenta (L.) Schott var. antiquorum) yang cocok ditanam di daerah rawan
kekeringan, tetapi rentan terhadap serangan hama. Talas Papua merupakan salah
satu talas dari genus Colocasia yang banyak dibudidayakan di daerah Papua dan
umbinya diduga mengandung senyawa metabolit sekunder berupa flavonoid yang
memiliki aktivitas antioksidan, anti inflamasi, anti mutagenik dan bersifat
antikarsinogenik.
Talas merupakan salah satu tanaman yang mempunyai potensi yang besar
sebagai bahan pangan, pakan, bahan baku industri, dan bernilai ekonomi tinggi.
Meskipun begitu, talas termasuk orphan crops atau tanaman minor, yang kurang
mendapatkan perhatian sehingga teknologi pemuliaan tanamannya tertinggal jauh
dari tanaman lainnya. Pengembangan kultivar baru membutuhkan plasma nutfah
talas dengan keragaman genetik yang lebih besar dan jarak genetik yang luas.
Pemuliaan berbasis bioteknologi menggunakan iradiasi sinar gamma yang
diaplikasikan pada kalus embriogenik perlu dilakukan untuk meningkatkan
keragaman genetik talas yang menjadi modal bagi proses pemuliaan tanaman untuk
mendapatkan kultivar unggul. Penelitian ini bertujuan mendapatkan protokol dan
media terbaik untuk induksi embrio somatik dan regenerasi planlet,
radiosensitivitas dan dosis iradiasi sinar gamma Cobalt-60 untuk mendapatkan
mutan putatif, serta informasi keragaan morfologi dan metabolit pada talas Beneng
Banten (X. undipes K. Koch), talas S28 (C. esculenta (L.) Schott var. antiquorum),
dan talas Papua (C. esculenta L.Schott var. esculenta).
Induksi embrio somatik dan regenerasi kultur talas, menggunakan
rancangan kelompok lengkap teracak faktorial yang terdiri atas dua faktor berupa
konsentrasi picloram (0; 4,52; 9,04; dan 13,57 µM) dan TDZ (0; 2,27; 4,54; dan
6,81 µM) dalam media MS0 yang mengandung ekstrak malt dan l-asparagin.
Percobaan induksi embrio somatik dan regenerasi kultur talas terdiri dari tiga sub
percobaan terpisah, masing-masing menggunakan talas Beneng Banten, talas S28,
dan talas Papua. Percobaan dilakukan dengan lima tahapan kerja, yaitu persiapan
media tanam, penanaman bahan tanam pada media perlakuan, maturasi dan
perkecambahan embrio, serta aklimatisasi planlet.
Induksi mutasi iradiasi sinar gamma kalus embriogenik talas Beneng Banten
dan S28 menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dua faktor. Faktor
pertama meliputi delapan dosis iradiasi gamma 60Co (0; 2,5; 5; 7,5; 10; 12,5; 17,5;
27,5 Gy), sedangkan faktor kedua merupakan dua media perlakuan terbaik dalam
induksi kalus. Percobaan diawali dengan pembuatan media, induksi kalus, dan
seleksi kalus. Setelah itu kalus diiradiasi dengan dosis yang sudah ditetapkan. Kalus
yang telah diiradiasi kemudian dipindahkan pada media baru untuk regenerasi.
Subkultur dilakukan delapan minggu setelah iradiasi dalam media tanpa auksin dan
konsentrasi sitokinin 10% dari konsentrasi media awal untuk proses maturasi dan
perkecambahan embrio.
Karakterisasi morfologi serta analisis profil metabolit dan biokimia talas
dilakukan pada tetua talas Beneng Banten, S28, dan Papua yang merupakan
tanaman koleksi di Kebun Percobaan Leuwikopo. Karakterisasi morfologi
dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif non eksperimen dengan
pengambilan sampel dilakukan secara disproportionate stratified random sampling.
Analisis profil metabolit dan biokimia pada percobaan ini merupakan percobaan
non eksperimental yang menganalisis profil metabolit tak-tertarget, kandungan
proksimat, polifenol, vitamin C, antioksidan, kandungan glukomanan, dan
kandungan asam oksalat.
Induksi embrio somatik diawali dengan induksi kalus yang berdiferensiasi
menjadi kalus embriogenik dan menjadi embrio somatik serta planlet yang dapat
diaklimatisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protokol terbaik untuk induksi
dan regenerasi embrio somatik talas Beneng Banten, S28, dan Papua adalah dengan
penanaman potongan tipis crown/huli pada media terbaik untuk induksi embrio
somatik. Media MSa-ex dengan kombinasi 4,52 µM picloram+6,81 µM TDZ
adalah media induksi embrio somatik terbaik yang menghasilkan rata-rata jumlah
embrio somatik fase globular per eksplan sebesar 44,15 embrio somatik talas
Beneng Banten dan 30,85 embrio somatik talas S28 selama 16 minggu. Media
terbaik induksi dan regenerasi embrio somatik talas Papua adalah media MSa-ex
dengan kombinasi 9,04 µM picloram+6,81 µM TDZ yang menghasilkan 13,50
embrio somatik fase globular per eksplan selama 16 minggu. Penggunaan media
picloram dan TDZ tunggal dapat menginduksi tunas adventif. Kultur jaringan talas?talasan dapat mengefisienkan perbanyakan tanaman talas dan proses pemuliaan
tanaman.
Iradiasi sinar gamma mempengaruhi pembentukan kalus, kalus
embriogenik, dan rata-rata jumlah embrio somatik fase globular yang dihasilkan
talas Beneng Banten dan S28, sedangkan media perlakukan tidak berpengaruh
nyata terhadap semua peubah amatan. Estimasi LD50 pada eksplan talas Beneng
Banten sebesar 12,84 Gy, dan estimasi LD50 eksplan talas S28 sebesar 7,23 Gy.
Iradiasi sinar gamma menghambat regenerasi kalus embriogenik, tetapi berpotensi
meningkatkan keragaman genetik talas. Iradiasi sinar gamma menghasilkan 72
planlet mutan putatif (MV1) Beneng Banten dan 130 planlet mutan putatif S28.
Perbedaan jumlah planlet mutan putatif yang dihasilkan setiap dosis perlakuan
diduga merupakan penanda awal adanya keragaman genetik dalam adaptasi sel
terhadap lingkungan.
Hasil penelitian mendapatkan perbedaan keragaan morfologi tipe tumbuh,
daun, petiole, serta cormus pada talas Beneng Banten, S28, dan Papua. Analisis
metabolomik tak-tertarget talas-talasan menggunakan LC-MS berhasil mendeteksi
sebanyak 122 senyawa metabolit dengan 12,30% senyawa merupakan flavonoid.
Kandidat senyawa biomarker pada talas Beneng Banten adalah senyawa Apigetrin,
Apiin, serta Salicylic acid, sedangkan untuk talas Papua senyawa Citbismine C dan
Rutin menjadi kandidat senyawa biomarker Terdapat perbedaan kandungan
proksimat, polifenol, vitamin C, antioksidan, kandungan glukomanan, dan
kandungan asam oksalat pada setiap sampel talas yang diuji. Informasi morfologi
dan profil metabolit yang dihasilkan dapat menjadi modal dasar dalam pemuliaan
tanaman, khususnya pada tanaman talas. od crisis. Indonesia is one of the mega biodiversity countries for plant species,
including taro. Taro has been cultivated as a non-rice carbohydrate source with
fairly good nutritional content. Taro tubers can be processed into various foods,
feed, and even as raw materials for cosmetics and medicines. In addition to its
tubers, taro can be consumed as a functional food because it can be a source of
vitamins, minerals, secondary metabolites, and high fibre. Taro also has
antioxidant content such as ascorbic acid, chlorogenic acid, catechins, flavonoids,
tannins, carotenoids, and other polyphenol compounds that can contribute to health.
More than 180 taro cultivars can be distinguished by morphotype, and at
least 20 cultivars have been identified as having the potential to be used as parent
plants for plant breeding. Some of them are the Beneng Banten taro (large and
koneng, X. undipes K. Koch), a giant local taro commodity found in Banten
Province. This taro has the potential to be developed into various food products to
support food security. Another taro found in Indonesia is the S28 taro (C. esculenta
(L.) Schott var. antiquorum), suitable for planting in drought-prone areas but
susceptible to pest attacks. Papua taro is one of the taros from the Colocasia genus
that is widely cultivated in the Papua region, and its tubers are thought to contain
secondary metabolite compounds in the form of flavonoids that have antioxidant,
anti-inflammatory, anti-mutagenic, and anticarcinogenic activities.
Taro is one of the plants with great potential as food, feed, industrial raw
materials, and high economic value. Taro is an orphan crop or minor plant that
has received less attention, so its plant breeding technology is far behind that of
other plants. Developing new cultivars requires taro germplasm with greater
genetic diversity and vast genetic distance. Biotechnology-based breeding using
gamma-ray irradiation applied to embryogenic callus must be carried out to
increase the genetic diversity of taro, which is the capital of the plant breeding
process, to obtain new superior cultivars with good genetic yield potential. This
study aims to obtain the best protocol and media for somatic embryo induction and
plantlet regeneration, radiosensitivity and dose of Cobalt-60 gamma ray
irradiation to obtain putative mutants, as well as morphological and metabolite
performance information on Beneng Banten taro (X. undipes), S28 taro (C.
esculenta (L.) Schott var. antiquorum), and Papua taro (C. esculenta L.Schott var.
esculenta).
Somatic embryo induction and taro culture regeneration, using a factorial
randomized complete group design consisting of two factors in the form of picloram
concentration (0; 4,52; 9,04; and 13,57 µM) and TDZ (0; 2,27; 4,54; and 6,81 µM)
in MS0 media containing malt extract and l-asparagine. The somatic embryo
induction and taro culture regeneration experiments consisted of three sub?experiments, each using Banten Beneng taro, S28 taro, and Papua taro. The
experiment was conducted in five stages: preparation planting media, planting of
materials in treatment media, embryo maturation and germination, and
acclimatization of plantlets.
Induction of mutations in gamma irradiation of embryogenic callus using a
two-factor factorial completely randomized design. The first factor includes eight
doses of 60Co gamma irradiation (0,00; 2,50; 5,00; 7,50; 10,00; 12,50; 17,50;
27,50 Gy), while the second factor is the two best treatment media in callus
induction. The experiment began with media preparation, callus induction, and
callus selection. After that, the callus was irradiated with a predetermined dose.
The irradiated callus was then transferred to new media for regeneration.
Subculture was carried out eight weeks after irradiation in media without auxin
and a cytokine concentration of 10% of the initial media concentration for embryo
maturation and germination.
Morphological characterization and metabolite and biochemical profile
analysis of taro were carried out on the taro parents Beneng Banten, S28, and
Papua, which are collection plants at the Leuwikopo Experimental Garden.
Morphological characterization was carried out using a non-experimental
descriptive method, with sampling carried out by disproportionate stratified
random sampling. This experiment's analysis of metabolite and biochemical
profiles was a non-experimental experiment that analyzed non-targeted metabolite
profiles, proximate content, polyphenols, vitamin C, antioxidants, glucomannan
content, and oxalic acid content.
Somatic embryo induction begins with callus induction, which differentiates
it into an embryogenic callus and somatic embryos and plantlets that can be
acclimatized. The results showed that the best protocol for induction and
regeneration of somatic embryos of Beneng Banten, S28, and Papua taro is by
planting thin crown/huli pieces on the best media for somatic embryo induction.
MSa-ex media with a combination of 4,52 µM picloram + 6,81 µM TDZ is the best
somatic embryo induction media that produces an average number of globular
phase somatic embryos per explant of 44,15 Beneng Banten taro somatic embryos
and 30,85 S28 taro somatic embryos for 16 weeks. The best media for induction
and regeneration of Papua taro somatic embryos is MSa-ex media with a
combination of 9,04 µM picloram + 6,81 µM TDZ, which produces 13,50 globular
phase somatic embryos per explant for 16 weeks. The use of single picloram and
TDZ media can induce adventitious shoots. Taro tissue culture can make taro plant
propagation and breeding processes more efficient.
Gamma-ray irradiation affected the formation of callus, embryogenic callus,
and the average number of globular phase somatic embryos produced by Beneng
Banten and S28 taro. At the same time, the treatment media had no significant effect
on all variables. Endophytic bacteria exist in several calli, somatic embryos, and
plantlets after gamma-ray irradiation. The estimated LD50 in Banten Beneng taro
explants was 12,84 Gy, and the estimated LD50 of S28 taro explants was 7,23 Gy.
Gamma-ray irradiation inhibits embryogenic callus regeneration but can
potentially increase taro's genetic diversity. Gamma-ray irradiation produced 72
putative mutant plantlets (MV1) of Banten Beneng and 130 putative mutant
plantlets of S28. The difference in the number of putative mutant plantlets produced
at each treatment dose is thought to be an early marker of genetic diversity in cell
adaptation to the environment.
The study found differences in the morphological performance of growth
types, leaves, petioles, and cormus in Beneng Banten, S28, and Papua taro.
Untargeted metabolomic analysis of taro using LC-MS successfully detected 122
metabolite compounds, with 12,30% flavonoids. Biomarker compound candidates
in Banten Beneng taro are Apigetrin, Apiin, and Salicylic acid compounds, while
for Papua taro, Citbismine C and Rutin compounds are candidate biomarker
compounds. There are differences in proximate content, polyphenols, vitamin C,
antioxidants, glucomannan content, and oxalic acid content in each taro sample
tested. Genetic diversity in morphology, nutrient content, and metabolite profiles in
germplasm collections is crucial for plant breeding, particularly for taro plants.
Collections
- MT - Agriculture [3840]