dc.description.abstract | Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dalam ketahanan
pangan dan pemenuhan gizi masyarakat. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan
didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi
seluruh lapisan masyarakat, yang terkait erat dengan kecukupan
konsumsi dan ketersediaan pangan. Namun, kerawanan pangan
yang masih terjadi di berbagai wilayah telah memicu masalah gizi,
khususnya pada kelompok rentan seperti balita (Islamiah et al.,
2022).
Balita, sebagai kelompok dengan kebutuhan gizi tinggi untuk
pertumbuhan dan perkembangan, sering kali menjadi korban utama
ketidakseimbangan gizi. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023
menunjukkan bahwa prevalensi stunting mencapai 21,5%, jauh dari
target nasional sebesar 14% pada tahun 2024 (Picauly et al., 2023).
Salah satu faktor utamanya adalah kebiasaan orang tua yang belum
optimal dalam menyediakan makanan sehat dan bergizi.
Selain itu, indeks ketahanan pangan Indonesia juga menunjukkan
posisi yang memprihatinkan. Menurut Global Food Security Index
(GFSI) 2022, skor Indonesia hanya 60,2, lebih rendah dari rata-rata
global (62,2) maupun Asia Pasifik (63,4). Angka Prevalence of
Undernourishment (PoU) sebesar 8,53% semakin mempertegas
tingginya tingkat kerawanan pangan. Tantangan utama dalam GFSI
di Indonesia adalah kurangnya diversifikasi pangan, di mana
konsumsi sayuran, buah-buahan, dan protein lokal masih rendah,
sementara konsumsi padi
Untuk menjawab tantangan ini, Badan Pangan Nasional meluncurkan Program
B2SA. Program ini dirancang untuk mendorong konsumsi pangan lokal, mengedukasi
masyarakat, dan memberdayakan komunitas lokal melalui tiga pilar utama: Teras
Pangan, Gerai Pangan, dan Rumah Pangan. Evaluasi program di Kabupaten
Pesawaran (Lampung) dan Kabupaten Sumedang (Jawa Barat) menunjukkan hasil
positif, dengan metode survei kuantitatif dan wawancara mendalam. Survei terhadap
ibu balita mencatat bahwa 90-100% responden memberikan penilaian positif terhadap
manfaat program, seperti peningkatan akses pangan bergizi dan penghematan
pengeluaran pangan. Analisis rasio Benefit/Cost menunjukkan bahwa program ini
memberikan manfaat ekonomi 2,71 kali lipat dari biaya di Jawa Barat, dan 4,23 kali
lipat di Lampung. | id |