Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Mitigasi Bencana di Kawasan Perbatasan Negara Kabupaten Pulau Morotai.
Date
2024Author
Karim, Taufik Z.
Siregar, Hermanto
Mulatsih, Sri
Tjahjono, Boedi
Metadata
Show full item recordAbstract
Peran strategis dan kontribusi sektor pariwisata terhadap perekonomian Indonesia, mendorong pemerintah untuk menghadirkan 10 Bali Baru atau Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), salah satunya adalah kawasan pariwisata Morotai. Kawasan pariwisata Morotai Maluku Utara memiliki potensi wisata yang menjanjikan untuk dikembangkan menjadi daya tarik bagi kunjungan wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Potensi wisata yang ada yaitu obyek wisata alam (pemandangan bawah laut dan pantai yang eksotik), wisata peninggalan sejarah PD II (puing kapal perang dan pesawat tempur), dan wisata budaya, yang tersebar di seluruh kecamatan. Namun, dalam pengembangan kawasan wisata Morotai memiliki ancaman potensial bencana alam. Kawasan Morotai merupakan salah satu kawasan seismik aktif karena lokasinya bersebelahan dengan zona subduksi lempeng Laut Filipina, yang memiliki laju penunjaman lempeng antara 10 hingga 46 milimeter per tahun, yang menyebabkan terjadinya bencana gempabumi dan tsunami, dimana magnitudo tertargetnya M 8,2.
Penelitian menggunakan data primer dan data sekunder, teknik analisis data menggunakan metode GIS spasial dengan metode evaluasi overlay dan multi-kriteria untuk menganalisis tingkat bahaya bencana gempabumi dan tsunami, PROMETHEE untuk menganalisis obyek wisata prioritas yang dapat dikembangkan, Multiplier effect untuk menganalisis dampak ekonomi langsung, tidak langsung dan dampak ekonomi lanjutan. Metode deskriptif kualitatif untuk menganalisis fenomena perubahan sosial terhadap pengembangan pariwisata. Metode dalam menyusun strategi pengembagan pariwisata berbasis mitigasi bencana menggunakan AHP dengan bantuan Excel dan Superdecision.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 10 obyek wisata prioritas yang dapat dikembangkan di daerah rawan bencana Morotai yaitu Pantai Army Dock, Waterfront City 1, Wisata Religi, Taman Army Dock, Museum Trikora dan Museum Perang Dunia II, Central Business District, Pulau Dodola, Sail Morotai, Air Kaca dan Museum Swadaya Muhlis Eso. Sementara itu, hasil penelitian juga mengungkap bahwa nilai Pengganda Pendapatan Keynesian di kawasan pariwisata Morotai adalah 0,42. Rasio Pengganda Pendapatan Tipe I adalah 2,11, dan Rasio Pengganda Pendapatan Tipe II adalah 2,15. Secara keseluruhan hasil analisis menunjukkan bahwa kawasan wisata Morotai memberikan dampak ekonomi yang rendah terhadap aktivitas wisatanya. Namun demikian, jika dilihat dari Ratio Income Multiplier Tipe I dan Ratio Income Multiplier Tipe II yang lebih dari satu, menunjukkan bahwa perputaran uang dari pengeluaran wisatawan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sehingga aliran uang tidak terbatas pada unit bisnis tapi secara luas. Adapun dampak sosial pengembangan pariwisata di Morotai tergolong kategori tinggi, karena adanya fenomena terbentuknya relasi sosial antara masyarakat dan wisatawan untuk saling mengenal, terdapat alih profesi menjadi pelaku usaha pariwisata, dan adanya konflik kepentingan lahan.
Strategi pengelolaan pariwisata berbasis mitigasi bencana di kawasan perbatasan negara Kabupaten Pulau Morotai, diperlukan fokus pengembangan tipologi obyek wisata pesisir/mangrove dan peninggalan sejarah. Pemerintah sebagai aktor kunci dalam pengembangan pariwisata. Peran pemerintah sangat penting dalam penyusunan kebijakan, regulasi, pengalokasian anggaran untuk infrastruktur pariwisata, dan bertanggung jawab dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Kemudian, kriteria faktor-faktor pengembangan pariwisata sangat penting adalah aksesibilitas. Dalam konteks Morotai, peningkatan aksesibilitas berarti penambahan frekuensi penerbangan pesawat serta memperbaiki infrastruktur transportasi seperti jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan. Alternatif strategi yang diperlukan, pertama pengembangan infrastruktur tahan bencana, kedua pengembangan sistem evakuasi, ketiga pengembangan sistem peringatan dini, keempat pelatihan kesiapsiagaan bencana, kelima kemasan obyek wisata minim risiko bencana, keenam membangun kerjasama antar stakeholders, ketujuh membangun konektivitas antar obyek wisata, kedelapan bantuan modal bagi pelaku usaha UMKM, kesembilan penyediaan asuransi dan skema kompensasi, dan kesepuluh strategi skema subsidi tiket transportasi.