Show simple item record

dc.contributor.advisorMardiana, Rina
dc.contributor.advisorWahyuni, Ekawati Sri
dc.contributor.authorAhmad, Risdawati
dc.date.accessioned2024-12-18T11:41:29Z
dc.date.available2024-12-18T11:41:29Z
dc.date.issued2024
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/160216
dc.description.abstractKonsep manajemen kehutanan di Indonesia mengacu pada paradigma Barat yang memandang hutan hanya sebagai sumber daya dan ekosistem dengan keragaman hayati dan fungsi tata air. Sementara aspek sosial-budaya dan hubungan antara manusia dengan hutan cenderung diabaikan. Hal ini terlihat dari penetapan status kawasan hutan yang tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam yang ada di dalamnya. Negara menggunakan kekuatan hukum untuk melakukan teritorialisasi tkawasan hutan dengan cara membuat batas-batas di sekeliling hutan yang ditetapkan secara politis, menghalangi orang-orang tertentu untuk masuk ke batas-batas tersebut, dan melarang atau mengizinkan orang menggunakan sumber daya alam. Kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan ditetapkan sebagai hutan produksi dan penguasaannya dikonsesikan kepada PT. TPL (private property). Sementara di lahan yang sama merupakan wilayah kelola masyarakat adat yang memanfaatkan hutan untuk penyadapan getah pohon kemenyan (dalam bahasa lokal hutan kemenyan disebut sebagai tombak haminjon). Penelitian ini mengidentifikasi masyarakat di tiga desa yaitu Desa Pandumaan, Desa Sipituhuta, dan Desa Pansur Batu. Kehadiran perusahaan menyebabkan terancamnya akses masyarakat terhadap hutan, oleh sebab itu mereka melakukan perlawanan untuk mendapatkan pengakuan hukum sebagai masyarakat adat dan penetapan hutan adat. Pada tahun 2005, seluruh masyarakat yang berada di Kecamatan Pollung melakukan perlawanan terhadap PT. TPL dengan menggunakan identitas sebagai petani kemenyan. Perjuangan tersebut berhenti akibat tawaran kerjasama yang dilakukan oleh PT. TPL. Tiga desa dipilih sebagai lokasi penelitian untuk mengidentifikasi dinamika perjuangan yang terjadi, Desa Pandumaan dan Sipituhuta bersepakat untuk memperjuangkan hutan adatnya kembali pada tahun 2009 dengan menggunakan identitas sebagai masyarakat adat. Sementara desa lain memilih keluar dari kelompok perjuangan dan bekerjasama dengan PT. TPL melalui skema Perkebunan Kayu Rakyat (PKR). Setelah perjuangan Panjang, pada tahun 2019 masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta berhasil mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat, kemudian pada tahun 2020 mereka berhasil mendapatkan penetapan hutan adat tombak haminjon. Pertanyaan yang mendasari penelitian ini dilakukan adalah bagaimana bentuk kekuasaan dan modal yang dimiliki oleh para aktor dalam memperebutkan akses atas sumber daya hutan? Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur nafkah masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Sementara pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis aktor dan relasi kuasa dalam mengakses sumber daya hutan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian kuantitatif diperoleh melalui metode survei menggunakan kuesioner pada 45 responden. Sementara pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui metode wawancara mendalam terhadap 10 orang informan kunci, serta didukung oleh studi literatur yang berkaitan dengan topik penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam mempertahankan akses, setiap aktor berusaha menjadikan akses sebagai properti untuk mendapatkan legitimasi dari undang-undang atau aturan hukum yang berlaku. Para aktor membangun power berdasarkan modal yang dimiliki untuk memperebutkan sumber daya hutan. Bentuk-bentuk power tersebut antara lain power yang dibangun berdasarkan modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. PT. TPL lebih dominan membangun power berdasarkan modal ekonomi. Perusahaan ini mendapatkan akses terhadap sumber daya hutan melalui mekanisme akses berbasis hak. Pemberian hak penguasaan tersebut merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang diperoleh melalui fee dan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan. Sementara masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta lebih dominan membangun power berdasarkan kepemilikan modal sosial dan budaya untuk mendapatkan pengakuan dari negara. Mereka melakukan rekonstruksi dan revitalisasi identitas adatnya berdasarkan pengetahuan lokal yang mereka miliki (modal budaya). Mereka memperkuat kembali aturan-aturan adat, lembaga adat, hingga memetakan wilayah adatnya. Pendokumentasian ini merupakan prasyarat untuk mendapatkan pengakuan hukum dari negara. Masyarakat juga membangun relasi (modal sosial) dengan Non Governmental Organization (NGO) di tingkat lokal, nasional, hingga internasional, serta melakukan authority relation dengan elit politik di daerah dan juga Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Setelah perjuangan panjang, masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta berhasil mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat dan penetapan hutan adat. Relasi kuasa yang dibangun oleh masing-masing aktor menunjukkan bahwa dinamika penguasaan sumber daya hutan di kawasan hutan produksi Desa Pandumaan dan Sipituhuta diwarnai oleh beragam bentuk kepentingan aktor. Hal ini juga sekaligus mempertegas betapa rumitnya proses pengakuan hukum atas hak- hak masyarakat adat, namun mereka kehilangan alternatif lain untuk melindungi tanahnya selain melalui penetapan hutan adat. Kerumitan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu prosedur pengakuan hukum negara telah berubah seiring berjalannya waktu dan proses ini membutuhkan dua tahap pengakuan yakni pengakuan hukum sebagai masyarakat adat, kemudian pengakuan terhadap hutan adatnya yang menunjukkan bahwa pengakuan hukum bukan hanya sekedar proses hukum, namun juga proses politis. Kerumitan proses penetapan hutan adat juga terlihat dari perbedaan tafsir mengenai konsep hutan adat antara masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah menganggap bahwa konsep tanah ulayat adalah bersifat komunal yang dikelola oleh satu keluarga/komunitas/bius dengan fungsi tunggal sebagai hutan, tanpa ada kegiatan lainnya. Sementara itu, menurut masyarakat tanahnya memang dimiliki secara komunal, akan tetapi tegakan pohon haminjon dikelola secara perorangan.
dc.description.abstractThe concept of forestry management in Indonesia is heavily influenced by the Western paradigm, which primarily views forests as resources and ecosystems serving biodiversity and water management functions. However, socio-cultural aspects and human relationships with forests are often overlooked. This is evident in the designation of forest areas that disregard the existence of Indigenous peoples who rely on these natural resources for their livelihoods. The state uses its legal authority to demarcate forest areas with politically determined boundaries, restricting access for certain groups and regulating the use of natural resources within these areas. In Humbang Hasundutan Regency, the forest has been designated as a production forest and is managed under concession by the privately owned company PT. TPL. At the same time, this area overlaps with land managed by Indigenous communities who depend on the forest for tapping the sap of frankincense trees (locally known as tombak haminjon). This study identified three villages—Pandumaan, Sipituhuta, and Pansur Batu—where community access to the forest is threatened by the company’s presence. Consequently, the communities have fought to gain legal recognition as Indigenous peoples and to secure the designation of customary forests. In 2005, the entire Pollung District community united against PT. TPL, identifying themselves as frankincense farmers. However, the struggle was halted following a cooperation agreement with PT. TPL. Later, the Pandumaan and Sipituhuta villages resumed their fight in 2009, this time using their Indigenous identity. Meanwhile, other villages chose to exit the struggle and collaborated with PT. TPL under the Community Timber Plantation (Perkebunan Kayu Rakyat, PKR) scheme. After years of advocacy, the Pandumaan and Sipituhuta Indigenous communities succeeded in gaining legal recognition in 2019 as Indigenous peoples and secured the designation of the Tombak Haminjon customary forest in 2020. This research seeks to answer the question: What forms of power and capital do actors mobilize in their struggle for access to forest resources? The study employs both quantitative and qualitative approaches. The quantitative approach analyzes the livelihood structures of communities dependent on forest resources, while the qualitative approach examines the actors and power dynamics involved in accessing forest resources. Quantitative data was collected through surveys with 45 respondents, while qualitative data was gathered via in- depth interviews with 10 key informants and a literature review related to the research topic. The findings reveal that actors employ various forms of power and capital to secure access and legitimacy under relevant laws and regulations. These forms of power include economic, social, cultural, and symbolic capital. PT. TPL primarily leverages economic capital, obtaining access to forest resources through rights- based mechanisms granted by the state. These control rights serve as a significant source of state revenue via fees and taxes paid by the company. Conversely, the Pandumaan and Sipituhuta Indigenous communities rely on social and cultural capital to gain state recognition. They reconstructed and revitalized their customary identity, drawing on local knowledge (cultural capital). The communities also strengthened customary institutions, rules, and mapped their customary areas—key steps in obtaining legal recognition. Furthermore, they forged relationships (social capital) with local, national, and international NGOs, as well as with regional political elites and the Human Rights Commission (Komnas HAM). Through persistent efforts, they secured recognition as Indigenous peoples and the establishment of their customary forests. The power dynamics among the actors illustrate the complexity of forest resource control in the production forest areas of Pandumaan and Sipituhuta Villages. The process of obtaining legal recognition for Indigenous rights is fraught with challenges, leaving customary forest designation as the only viable mechanism for land protection. This complexity arises from procedural changes over time, requiring two stages of recognition: first as an Indigenous community and then for customary forests. Legal recognition is not merely a legal process but also a deeply political one. Furthermore, differences in the interpretation of customary forests add to the complexity. While the government views customary forests as communal lands managed by a single group with limited use, the community sees the land as communally owned but with individual management of the haminjon tree stands.
dc.description.sponsorship
dc.language.isoid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleKemenyan Versus Eukaliptus: Pertarungan Akses Atas Sumber Daya Hutan di Desa Pandumaan-Sipituhuta, Sumatera Utaraid
dc.title.alternative
dc.typeTesis
dc.subject.keywordaktorid
dc.subject.keywordModalid
dc.subject.keywordPowerid
dc.subject.keywordRelasi Aksesid
dc.subject.keywordSumber Daya Hutanid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record