dc.description.abstract | Penelitian ini menyoroti masalah stunting, yaitu kondisi gagal tumbuh pada anak balita yang diakibatkan oleh kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan berbagai faktor sosial ekonomi. Di Jawa Barat, prevalensi stunting masih tergolong tinggi dan bervariasi secara signifikan di antara 27 kabupaten/kota. Meskipun beberapa wilayah mengalami penurunan angka stunting, sebagian besar daerah belum berhasil mencapai target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Kondisi ini mencerminkan bahwa masalah stunting di provinsi ini tidak hanya terkait dengan gizi buruk tetapi juga dengan faktor struktural dan lingkungan, seperti rendahnya ketahanan pangan, praktik pernikahan dini, akses sanitasi yang buruk, dan keterbatasan layanan kesehatan. Dalam konteks ini, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko yang berperan dalam kejadian stunting, dengan fokus pada peran Universal Health Coverage (UHC) sebagai pendekatan integratif dalam upaya penurunan stunting.
Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi dengan memanfaatkan data sekunder dari berbagai sumber. Analisis dilakukan terhadap data dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, yang mencakup indikator kesehatan, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pengumpulan data melibatkan beberapa instansi, antara lain Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Kesehatan, serta Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jawa Barat. Variabel yang dianalisis meliputi prevalensi stunting, pernikahan dini, ketahanan pangan rumah tangga, tingkat pemberian ASI eksklusif, kejadian penyakit infeksi seperti diare dan pneumonia, akses air bersih dan sanitasi layak, serta indikator sosial ekonomi, seperti tingkat pendidikan dan penduduk miskin. Selain itu, penelitian ini juga melihat keterkaitan antara partisipasi dalam program keluarga berencana, kepemilikan jaminan kesehatan, dan kepemilikan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) sebagai bagian dari cakupan UHC. Analisis data menggunakan SPSS versi 26.0 dengan menggunakan uji deskriptif, uji korelasi dengan Pearson dan Spearman test dan uji regresi logistik berganda. Kemudian, dilakukan pemetaan atau mapping untuk prevalensi stunting dan faktor-faktor yang berhubungan dengan prevalensi stunting pada masing-masing wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa stunting di Jawa Barat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Terdapat 51,8% wilayah dengan prevalensi stunting yang tinggi. Cakupan ASI eksklusif pada wilayah Jawa Barat yang telah mencapai target 60% adalah sebanyak 74,1%, prevalensi diare rendah adalah sebesar 13 wilayah (48,1%), prevalensi pneumonia yang rendah pada wilayah Jawa Barat adalah sebesar 12 wilayah (44,4%), persentase prevalence of undernourished (PoU) yang tinggi pada 22 wilayah (81,4%) di Jawa Barat, partisipasi KB dan kepemilikan air bersih wilayah mayoritas sudah mencapai target, namun masih diperlukan perhatian pada beberapa wilayah dengan persentase partisipasi KB 63% dan persentase kepemilikan air bersih 92,5%. Persentase kepemilikan jamban pada wilayah di Jawa Barat sebesar 88,8% belum memenuhi target yang ditetapkan. Persentase penduduk miskin (69%) dan persentase rata-rata lama sekolah (44%) di Jawa Barat belum memenuhi target yang telah ditetapkan. Sedangkan persentase kepemilikan jaminan kesehatan, kepemilikan buku KIA dan pernikahan dini hampir seluruh wilayahnya belum memenuhi target yang telah ditetapkan. Faktor yang berpengaruh terhadap prevalensi stunting yaitu prevalensi diare, persenatse kepemilikan jaminan kesehatan nasional, persentase partisipasi KB, persentase kepemilikan air bersih, persentase kepemilikan jamban, prevalence of undernourished, protein bersumber dari ternak, pernikahan dini dan kemiskinan.
Pada penelitian ini persentase kepemilikan jaminan kesehatan dan prevalensi diare merupakan faktor yang paling berhubungan dari prevalensi stunting. Persentase kepemilikan jaminan kesehatan sebagai faktor protektif dimana wilayah yang memiliki jaminan kesehatan memiliki penurunan risiko terkena stunting sebesar 38,2% (OR= 0,933 95% CI: 0,879-0,990). Prevalensi diare merupakan faktor risiko terhadap prevalensi stunting , wilayah yang mengalami prevalensi diare memiliki peluang terkena stunting 1,481 kali (OR= 1,841 95% CI: 1,091-3,106). Rendahnya akses terhadap air bersih dan sanitasi layak berhubungan erat dengan peningkatan risiko infeksi seperti diare, yang memperburuk status gizi anak. Selain itu, pernikahan dini juga ditemukan memiliki dampak signifikan terhadap stunting, karena remaja putri yang menikah dan hamil pada usia muda berisiko lebih tinggi melahirkan anak dengan status gizi buruk. Faktor lain yang turut berperan adalah rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif, yang secara langsung memengaruhi perkembangan fisik dan kognitif anak pada masa awal kehidupannya. Kondisi sosial ekonomi yang rendah, seperti tingginya tingkat kemiskinan, juga memperburuk ketahanan pangan dan akses terhadap layanan kesehatan, sehingga meningkatkan risiko stunting di berbagai wilayah. | |