Permodelan Spasial Prediksi Perubahan Ruang Terbuka Hijau Kota Depok
Date
2024Author
Gunadi, Syahbani Putra
Syartinilia
Pravitasari, Andrea Emma
Metadata
Show full item recordAbstract
Pentingnya ruang terbuka hijau (RTH) kota dalam mendukung keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem kota adalah tanggung jawab bersama. Mempertahankan keseimbangan ekosistem kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan melalui mekanisme pemeliharaan ruang terbuka hijau tidaklah mudah. Hal ini memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, baik pemerintah, pihak swasta yang memiliki kepentingan, maupun masyarakat kota.
Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007, setiap kota harus memiliki minimal 30% RTH dari luas wilayahnya. Namun, di Kota Depok dengan luas wilayah sebesar 199,91 km2, proporsi RTH terus menurun. Penurunan ini terutama disebabkan oleh ekspansi dari kota-kota sekitar, terutama Jakarta, yang mempercepat perubahan lahan di Depok akibat tingginya nilai lahan, meningkatnya kebutuhan lahan, aksesibilitas yang baik, serta perluasan kawasan industri, perdagangan, dan jasa di Jakarta. Akibatnya terjadi konversi lahan RTH dan urban sprawl di Kota Depok.
Penelitian mengenai RTH di Depok selama ini terbatas pada citra resolusi rendah hingga sedang, sehingga tingkat presisi rendah mempengaruhi akurasi dalam inventarisasi RTH. Untuk memantau penurunan RTH perkotaan, diperlukan alat yang tepat, andal, dan hemat biaya. Analisis data pengindraan jauh bergantung pada metode dan resolusi citra yang digunakan, karena resolusi gambar menentukan kualitas detail dalam pixel gambar. Citra resolusi rendah seperti Landsat digunakan untuk area luas, namun kesulitan mengidentifikasi objek pada koridor. Untuk wilayah sempit, sebaiknya digunakan data resolusi tinggi.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pemulihan RTH di Kota Depok yang mendukung ekologi perkotaan. Oleh karena itu, kajian dengan citra beresolusi tinggi diperlukan untuk menganalisis perubahan, faktor-faktor yang mempengaruhi, serta memprediksi RTH hingga tahun 2042, berdasarkan laju pertumbuhan penduduk dan rencana tata ruang (RTRW). Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis tren perubahan ruang terbuka hijau di Kota Depok selama 10 tahun terakhir, 2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peluang perubahan, dan 3) memprediksi peluang perubahan ruang terbuka hijau dalam 20 tahun mendatang melalui pemodelan spasial.
Analisis konversi ruang terbuka hijau dilakukan dengan perangkat lunak ArcGIS 10.8, regresi logistik biner, dan Cellular Automata untuk menentukan tren, faktor dominan, dan memprediksi peluang konversi ruang terbuka hijau di Kota Depok pada tahun 2042.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ruang terbuka hijau di Kota Depok dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2021 telah mengalami penurunan sebesar 40,39 km². Dari sebelas kecamatan yang ada, hampir seluruh kecamatan mengalami perubahan ruang terbuka hijau. Kecamatan yang mengalami penurunan ruang terbuka hijau dengan luas terbesar di Kota Depok adalah Kecamatan Sawangan. Kecamatan ini mengalami penurunan sebesar 7,3 km² atau 39% dari total luas ruang terbuka hijau tahun 2013 seluas 18,6 km² menjadi 11,3 km² pada tahun 2021.
Sedangkan kecamatan yang mengalami laju penurunan ruang terbuka hijau tertinggi adalah Kecamatan Limo dengan penurunan sebesar 49% dari luas ruang terbuka hijau tahun 2013 seluas 4,5 km² menjadi 2,3 km² pada tahun 2021. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik biner, variabel jarak dari pemukiman memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap ruang terbuka hijau di Kota Depok dengan nilai koefisien negatif sebesar -1235.665.
Model prediksi perubahan ruang terbuka hijau di Kota Depok diperoleh melalui algoritma Artificial Neural Networks (ANN) menggunakan perangkat lunak Quantum GIS dengan plugin molusce. Validasi hasil model dilakukan dengan membandingkan peta prediksi tutupan lahan tahun 2021 dengan peta tutupan lahan eksisting tahun 2021. Uji validasi dilakukan menggunakan overall kappa, dan hasilnya menunjukkan tingkat keakuratan sebesar 88%. Untuk membuat model prediksi, dibuat dua skenario, skenario 1 variabel kepadatan penduduk disesuaikan dengan prediksi jumlah penduduk pada tahun 2042, sementara variabel lain tetap, skenario 2 variabel kepadatan penduduk disesuaikan dengan prediksi jumlah penduduk pada tahun 2042 dan variabel peruntukan lahan disesuaikan dengan peta
rencana pola ruang RTRW Kota Depok tahun 2022-2042.
Hasil prediksi skenario 1 menunjukkan bahwa selisih jumlah penduduk dalam kurun waktu 21 tahun, dari tahun 2021 hingga 2042, meningkat sebesar 1.195.240 jiwa. Selisih luas RTH antara prediksi awal dan prediksi skenario 1 adalah sebesar 2,71 km² atau setara dengan 2.710.000 m². Sedangkan selisih penurunan luas RTH antara tahun eksisting dan prediksi skenario 1 adalah sebesar 23,48 km² atau setara dengan 23.480.000 m². Jika perubahan luas tersebut dibagi dengan jumlah proyeksi pertumbuhan penduduk tahun 2042 sebanyak 1.195.240 jiwa, maka dapat diasumsikan bahwa setiap penduduk akan membutuhkan lahan sekitar 19,6 m².
Berbeda dengan skenario 1, hasil skenario 2 menunjukkan perubahan signifikan pada RTH dari tahun 2021 hingga 2042. Prediksi skenario 2 memperkirakan luas RTH pada tahun 2042 sebesar 44,08 km², dibandingkan dengan luas RTH eksisting sebesar 62,39 km² pada tahun 2021. Ini menunjukkan penurunan luas RTH sebesar 18,31 km² pada tahun 2042 dibandingkan tahun 2021. Ketika peruntukan lahan RTH dalam peta pola ruang RTRW 2022-2042 diuji dengan peta hasil skenario 2, hasil menunjukkan bahwa peruntukan RTH dalam peta pola ruang RTRW untuk tahun 2042 direncanakan mencapai 14,36 km². Dari jumlah tersebut, 59% atau sekitar 8,53 km² sesuai dengan prediksi tutupan lahan skenario 2 tahun 2042. Sisanya, sebesar 41% atau sekitar 5,83 km², tidak sesuai dengan perencanaan dalam RTRW. The importance of urban green open spaces (GOS) in supporting the balance and sustainability of urban ecosystems is a shared responsibility. Maintaining the balance of urban ecosystems to improve environmental quality through green open space management is not easy. It requires cooperation from various stakeholders, including the government, private sectors, and urban communities.
According to Law No. 26 of 2007, every city must allocate at least 30% of its total area for GOS. However, in Depok City, with a total area of 199.91 km², the proportion of GOS has continued to decline. This decline is primarily caused by the expansion of surrounding cities, especially Jakarta, which accelerates land-use changes in Depok due to high land values, increased land demand, good accessibility, and the expansion of industrial, commercial, and service areas in Jakarta. As a result, GOS conversion and urban sprawl have occurred in Depok.
Previous research on GOS in Depok has been limited to low to mediumresolution imagery, resulting in lower precision and accuracy in GOS inventory. To monitor the reduction of urban GOS, appropriate, reliable, and cost-effective tools are required. Remote sensing data analysis depends on the method and resolution of the imagery used, as image resolution determines the level of detail within the image pixels. Low-resolution images, such as Landsat, are typically used for large areas, but they struggle to identify objects in narrow corridors. For smaller areas, high-resolution data is recommended.
To address this issue, restoring GOS in Depok City to support urban ecology is necessary. Therefore, a study using high-resolution imagery is required to analyze changes, influencing factors, and predict GOS up to 2042, based on population growth rates and spatial planning (SP). This study aims to: 1) analyze trends in green open space changes in Depok City over the past 10 years, 2) analyze factors influencing the likelihood of changes, and 3) predict green open space changes over the next 20 years through spatial modeling.
The analysis of green open space conversion was conducted using ArcGIS 10.8 software, binary logistic regression, and Cellular Automata to determine trends, dominant factors, and predict the conversion of green open space in Depok City by 2042.
The results showed that GOS in Depok City decreased by 40.39 km² from 2013 to 2021. Of the eleven districts, almost all experienced changes in GOS. The district with the largest reduction in green open space was Sawangan, which saw a decrease of 7.3 km² or 39% from 18.6 km² in 2013 to 11.3 km² in 2021. Meanwhile, the district with the highest rate of green open space reduction was Limo, with a 49% decrease from 4.5 km² in 2013 to 2.3 km² in 2021. According to binary logistic regression analysis, the distance from residential areas had the most significant impact on GOS in Depok, with a negative coefficient of -1235.665.
The model for predicting green open space changes in Depok City was developed using the Artificial Neural Networks (ANN) algorithm with thevi QuantumGIS software and the Molusce plugin. Model validation was carried out by comparing the predicted land cover map for 2021 with the existing land cover map for 2021. The validation test used overall kappa, showing an accuracy rate of 88%. Two scenarios were created for the prediction model: in Scenario 1, population density variables were adjusted to match population predictions for 2042, while other variables remained constant. In Scenario 2, both population density variable is adjusted according to the predicted population for 2042, and the land-use variable is aligned with the spatial planning map SP of Depok City for 2022-2042.
The prediction results for Scenario 1 indicated that the population increase over 21 years, from 2021 to 2042, would be 1,195,240 people. The difference in RTH area between the initial prediction and Scenario 1 was 2.71 km² or 2,710,000 m². The difference in GOS reduction between the existing year and Scenario 1 was 23.48 km² or 23,480,000 m². Dividing this change in area by the projected population growth of 1,195,240 people in 2042 suggests that each resident would require approximately 19.6 m² of land.
In contrast, Scenario 2 showed significant changes in GOS from 2021 to 2042. The prediction in Scenario 2 estimated that GOS in 2042 would cover 44.08 km², compared to 62.39 km² in 2021. This indicates a reduction of 18.31 km² by 2042. When the land allocation for GOS in the SP 2022-2042 spatial plan was tested against the predicted land cover map for Scenario 2, it was found that the planned GOS allocation for 2042 was 14.36 km². Of this, 59%, or about 8.53 km², aligned with the Scenario 2 prediction for 2042, while the remaining 41%, or approximately 5.83 km², did not match the spatial planning.