Kajian Relevansi Aplikasi Vaksinasi Dosis Kedua Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Feedlot Sapi Potong
Date
2024Author
Satrija, Esdinawan Carakantara
Wibawan, I Wayan Teguh
Poetri, Okti Nadia
Metadata
Show full item recordAbstract
Masuknya kembali penyakit mulut dan kuku (PMK) ke Indonesia pada tahun
2022 memicu pelaksanaan berbagai upaya pengendalian oleh pemerintah, termasuk
vaksinasi massal. Protokol vaksinasi yang direkomendasikan mencakup pemberian
dosis vaksin kedua dengan interval 4 – 5 minggu setelah vaksinasi pertama dan
booster setiap 6 bulan. Meskipun pendekatan ini efektif untuk sapi perah yang
memiliki masa pemeliharaan yang panjang, pendekatan ini belum tentu efektif
untuk sapi penggemukan yang masa pemeliharaannya lebih pendek, yaitu sekitar
90 – 150 hari. Penelitian kami bertujuan untuk menilai kemanjuran vaksinasi PMK
dua dosis dalam memicu respon imun pada sapi penggemukan serta kelayakan
ekonomi dari pola vaksinasi ini. Dalam penelitian ini, 30 ekor sapi penggemukan
dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing berjumlah 15 ekor. Kelompok
pertama mendapat dua dosis vaksin PMK, sedangkan kelompok kedua mendapat
satu dosis. Variabel respon imun, termasuk profil sel darah putih (white blood
cell/WBC) dan titer antibodi PMK, diukur menggunakan enzim-linked
immunosorbent assay (ELISA). Selain itu, bobot badan juga diukur pada hari ke 0
dan 60 hari pasca vaksinasi pertama (days post first vaccination/DPFV) untuk
menghitung pertambahan bobot badan harian rata-rata (average daily gain/ADG)
sapi. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan dalam
profil WBC, yaitu populasi limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil antara
kedua kelompok pada 60 DPFV. Hasil perhitungan rasio neutrofil terhadap limfosit
(neutrophil-to-lymphocyte ratio/NLR) menunjukkan bahwa populasi sapi di lokasi
penelitian ini telah mengalami stres sebelum dilakukan pengambilan sampel akibat
perbedaan iklim dan pola pemeliharaan, proses transportasi laut dan darat, serta
penanganan di peternakan. Titer antibodi PMK sedikit lebih tinggi pada kelompok
dua dosis dibandingkan dengan kelompok satu dosis pada 30 dan 60 DPFV tetapi
perbedaannya tidak signifikan secara statistik. Namun, terdapat variasi titer antibodi
PMK yang lebih tinggi pada kelompok vaksinasi satu dosis yang mengindikasikan
risiko kekebalan kelompok yang tidak seragam. Mempertimbangkan hasil di atas,
pelaksanaan vaksinasi PMK tanpa pengulangan di feedlot dengan sapi asal negara
bebas PMK dapat dilakukan tetapi harus disertai dengan penerapan sistem
biosekuriti yang ketat untuk mengurangi risiko masuknya virus PMK ke feedlot.
Analisis ekonomi berdasarkan perhitungan ADG menunjukkan bahwa pemberian
vaksin PMK dosis kedua dapat menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih
tinggi dibandingkan vaksinasi tanpa pengulangan. Namun hal ini perlu dikaji lebih
lanjut secara komprehensif mengingat sifat proses vaksinasi sebagai stressor serta
keterbatasan penelitian ini dalam mengevaluasi perawatan harian ternak. The re-emergence of foot-and-mouth disease (FMD) in Indonesia in 2022
led the government to implement various control measures, including mass
vaccination. The recommended protocol involves two doses of the vaccine at a 4
– 5-week interval and a booster every 6 months. While this approach may be
effective for dairy cattle with a long lifespan, it may not be as effective for
fattening cattle with a shorter rearing period of 90 – 150 days. Our study aims to
assess the efficacy of a two-dose FMD vaccination in eliciting an immune
response in fattening cattle as well as the economic viability of this vaccination
regimen. In this study, 30 fattening cattle were divided into two groups of 15. The
first group received two doses of the FMD vaccine, while the second group
received a single dose. Immune response variables, including white blood cell
(WBC) profiles and FMD antibody titers, were measured using enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA). Additionally, body weight was also measured on
0 and 60 days post-first vaccination (DPFV) to calculate cattle’s average daily
gain (ADG). Our results revealed no significant differences in WBC profiles,
including lymphocytes, monocytes, neutrophils, eosinophils, and basophils, at 60
DPFV between the two groups. The results of the neutrophil to lymphocyte ratio
(NLR) calculation indicate that the population of cattle shipments at this research
location had been exposed to stress before sampling was carried out due to
differences in environmental climate and rearing patterns, sea and land
transportation processes, as well as handling on the farm. FMD antibody titer was
slightly higher in the two-dose group compared to the single-dose group at both
30 and 60 DPFV but the difference was not statistically significant. However,
there is a higher FMD antibody titer variation in the single-dose vaccination group
indicating a risk of non-uniform herd immunity. Considering these results,
implementation of single-dose FMD vaccination in feedlots with cattle originating
from FMD-free countries can be carried out but must be accompanied by the
implementation of a strict biosecurity system to reduce the risk of the FMD virus
entering the feedlot. Economic analysis based on ADG calculation shows that
administering the second FMD vaccine dose could result in higher economic
profits than single-dose vaccination. However, this needs to be reviewed further
in a comprehensive manner considering the nature of the vaccination process as a
stressor as well as the limitations of this study in evaluating the livestock's daily
care.
Collections
- MT - Veterinary Science [922]