Ekspresi Gen-Gen Biosintesis Kumarin pada Kunyit (Curcuma longa L.) pada Kondisi Cekaman Kekeringan 
Abstract
Cekaman kekeringan yang semakin intens dikarenakan pemanasan global yang semakin meningkat menjadi pusat perhatian berbagai pihak. Cekaman kekeringan memberikan dampak negatif dalam berbagai aspek. Salah satu yang paling berdampak adalah pada bidang pertanian. Di beberapa daerah terjadi perubahan cuaca dan iklim yang menyebabkan kekeringan yang ekstrem. Hal itu berdampak pada kekeringan dan kematian pada tanaman. Namun di sisi lain, ternyata cekaman kekeringan mampu untuk meningkatkan senyawa metabolit sekunder pada tanaman. Hal ini terjadi karena tanaman melakukan proses penyesuaian dalam sel tanaman agar bisa mengatasi cekaman kekeringan yang dihadapi. Ketika cekaman kekeringan terjadi, pada sel tanaman terbentuk senyawa Reactive Oxygen Species (ROS) sehingga tanaman menanggapi ROS tersebut sebagai suatu sinyal untuk memproduksi hormon seperti asam jasmonat dan abscisic acid, mengaktifkan faktor transkripsi (WRKY), dan atau protein kinase (MAPK) yang akan mengaktifkan enzim superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT), peroksidase (POD) dan meningkatkan biosintesis metabolit sekunder seperti flavonoid dan kumarin. Hal inilah yang mendasari peningkatan kandungan kumarin ketika diberikan perlakuan cekaman kekeringan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan morfo-fisiologis, biokimia, dan molekuler untuk mendapatkan pola hubungan antar peubah dalam mempengaruhi kandungan kumarin serta menemukan periode optimal dari perlakuan cekaman kekeringan pada tanaman untuk mendapatkan senyawa kumarin tertinggi. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 ulangan, dan menggunakan kunyit sebagai bahan penelitian. Penanaman kunyit dilakukan di rumah kaca dengan suhu sekitar 30±2°C selama 4 bulan. Setelah tanaman berumur 4 bulan diberikan tiga perlakuan cekaman kekeringan, yaitu perlakuan penyiraman dua hari sekali sebagai kontrol (KO), perlakuan cekaman kekeringan dengan penyiraman ulang setiap tujuh hari sekali (CKA) dan perlakuan cekaman kekeringan tanpa penyiraman ulang (CKB). Pada hari ke-10, 20 dan 30 dilakukan sampling daun, rimpang, akar dan kandungan air tanah untuk analisis morfo-fisiologi, sementara itu rimpang digunakan sebagai bahan untuk analisis biokimia dan molekuler.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa cekaman kekeringan memberikan efek negatif pada hampir seluruh peubah uji. Analisis morfologi memperlihatkan bahwa semakin mendekati hari ke-30, cekaman kekeringan memberikan efek negatif yang signifikan. Hal ini didasari pada beberapa peubah pertumbuhan tidak menunjukkan kenaikan dan sebagian lagi menunjukkan penurunan secara signifikan. Pada perlakuan cekaman kekeringan tanpa penyiraman ulang (CKB) terjadi penurunan sebesar 31,37% pada panjang daun dibandingkan dengan kondisi perlakuan penyiraman kontrol (KO). Selain itu, pada bobot basah batang semu terjadi penurunan 81,84% dibanding bobot basah batang semu pada kondisi perlakuan penyiraman kontrol (KO). Hal ini terlihat juga pada analisis fisiologi yaitu pada peubah laju fotosintesis dan nilai kandungan klorofil daun (SPAD) pada kondisi CKA dan CKB. Laju fotosintesis berturut-turut menurun sebesar 24,65 dan 30,74% pada kondisi CKA dan CKB. Kandungan klorofil daun berdasarkan nilai SPAD juga menunjukkan penurunan sebesar 41,88% pada kondisi CKA dan 79,40% pada kondisi CKB.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada hari ke-10 setelah cekaman tanaman belum mengalami penurunan secara signifikan pada peubah morfo-fisiologi, tetapi mengalami peningkatan yang signifikan pada ekspresi gen dan kandungan kumarin. Respon tersebut menjadi dasar penentuan periode optimal cekaman kekeringan yang diikuti dengan peningkatan senyawa kumarin. Pada hari ke-10 setelah cekaman, kandungan kumarin pada tanaman yang mendapat perlakuan CKB sebesar 2,21 ppm atau meningkat sebesar 28% dibanding kandungan kumarin pada tanaman yang mendapat perlakuan KO. Meskipun terdapat peningkatan level ekspresi gen BGA dan PAL pada perlakuan CKB yang berturut-turut sebesar 1,98 kali dan 3,04 kali dari perlakuan KO, tetapi pola ekspresi kedua gen pada hari ke 20 dan 30 setelah cekaman tidak berkorelasi dengan perbedadaan kandungan kumarin pada hari dan kondisi yang sama. Data tersebut menunjukka bahwa cekaman kekeringan 10 hari mampu meningkatkan ekspresi gen biosintesis kumarin sejalan dengan kandungan kumarin.
Analisis matriks korelasi, PCA, dan k-means clustering menambahkan informasi dan visualisasi yang lebih jelas. Analisis matriks korelasi memberikan informasi yang jelas hubungan antara perlakuan cekaman kekeringan dan peningkatan kandungan kumarin. Terlihat bahwa hubungan peubah cekaman kekeringan seperti kelembaban air tanah (KAT), laju fotosintesis (Pn), kandungan klorofil daun (SPAD) dengan peubah kandungan kumarin memiliki nilai negatif (-0,51, -0,38, -0,41). Nilai negatif ini menunjukkan bahwa semakin kecil nilai KAT, Pn dan SPAD maka nilai kandungan kumarin akan semakin tinggi. Analisis PCA dan k-means clustering mampu mengelompokkan sampel ke beberapa klaster. Meskipun cekaman kekeringan dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan dan hasil panen, penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi kekeringan yang terkontrol dapat mengoptimalkan produksi senyawa metabolit sekunder seperti kumarin dengan tidak mengorbankan peubah lainya.