dc.description.abstract | Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan dunia
saat ini. Prevalensi PGK di Indonesia pada tahun 2018 sebesar 0,38%, sedangkan
prevalensi PGK di Jawa barat sebesar 0,48%. Pada tahun 2040 PGK diperkirakan
menjadi penyebab kematian no 5 di dunia. Diet memegang peran dalam pengaturan
inflamasi kronik pada ginjal. Zat gizi yang bersifat anti-inflamasi seperti asam
lemak omega-3, serat dan berbagai vitamin terbukti berhubungan dengan fungsi
ginjal yang lebih baik, menurunkan risiko albuminuria dan memperlambat
penurunan fungsi ginjal. Sebaliknya zat gizi yang diperkirakan bersifat pro inflamasi seperi lemak jenuh dan gula dihubungkan dengan semakin memburuknya
fungsi ginjal. Ditemukan sebuah metode untuk menilai tingkat inflamasi yang
disebabkan oleh diet yaitu Dietary Inflammatory Index (DII). DII skor
dikembangkan dari studi literatur dengan menganalisis 1943 artikel ilmiah yang
meneliti hubungan antara 45 parameter zat gizi dan makanan dengan 6 penanda
inflamasi. Di Indonesia belum ada penelitian yang mengkaji DII skor pada pasien
PGK, sehingga penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara skor DII,
status gizi dan derajat keparahan penyakit pada pasien PGK.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan pasien PGK
berusia = 18 tahun yang melakukan kunjungan ke RSUD Kota Bogor pada periode
April – Mei 2023. Penelitian telah mendapat persetujuan etik dari Komite Etik
Penelitian Kesehatan RSUD Kota Bogor. Data konsumsi pangan didapat melalui
metode Semi- Quantitative Food Frequency Questionaire (SQ-FFQ). Skor DII
dihitung berdasarkan 40 parameter gizi. Individu yang mengkonsumsi lebih banyak
parameter makanan yang tinggi komponen pro-inflamasi akan memiliki skor DII
positif ( lebih dari 0), sedangkan yang mengkonsumsi lebih banyak komponen anti inflamasi akan memiliki skor DII negatif (kurang dari 0). Derajat keparahan
penyakit dinilai dari nilai serum kreatinin dan nilai eGFR yang didapat dari
persamaan CKD-EPI. Data yang digunakan dalam perhitungan eGFR diperoleh
dari rekam medis.
Subjek penelitian ini berusia 25 – 72 tahun, sebagian besar berjenis kelamin
perempuan (67,5%). Sebanyak 67,2% subjek memiliki riwayat penyakit hipertensi
dan 28,1% menderita DM. Sebagian besar subjek tidak merokok (62,5%) dan
hampir semua subjek merupakan pasien PGK stage 5 (95,3%).
Sebagian besar subjek memiliki asupan rata-rata zat gizi dan makanan ( yang
terdapat dalam komponen skor DII) berada di bawah asupan rata-rata harian global,
kecuali kunyit, vitamin A dan isoflavon. Status gizi subjek sebagian besar (59,4%)
kategori normal, sementara 18,7% mengalami obesitas, 14,1% memiliki BB kurus
dan 7,8% mengalami BB lebih. Tidak terdapat hubungan bermakna antara status
gizi dan derajat keparahan PGK (kreatinin dan eGFR). Hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan nilai rata-rata kreatinin subjek 8,89 ± 3,78 mg/dl dan
rata-rata eGFR subjek 7,29 ± 4,86 ml/min/1,73 m2
. Terdapat hubungan signifikan
antara usia dan kreatinin (p=0,006; r=-0,340). Ditemukan perbedaan bermakna
nilai kreatinin pada kategori jenis kelamin (p = 0,045), dimana nilai kreatinin laki-
laki lebih tinggi dari perempuan. Ditemukan perbedaan bermakna nilai kreatinin
pada kebiasaan merokok (p = 0,006), subjek yang merokok memiliki nilai kreatinin
lebih tinggi dari subjek yang pernah merokok, dan subjek yang pernah merokok
memiliki nilai kreatini lebih tinggi dari subjek yang tidak merokok. Ditemukan
perbedaan nilai kreatinin pada kategori kelompok riwayat DM ( p =0,028), subjek
yang tidak memiliki riwayat DM memiliki nilai kreatinin yang lebih tinggi.
Terdapat perbedaan bermakna nilai eGFR pada kategori riwayat DM, subjek yang
memiliki riwayat DM, memiliki nilai eGFR yang lebih tinggi dari subjek tanpa
riwayat DM.
Skor DII subjek berada pada rentang 0,79 sampai 7,90 dengan nilai rata-rata
4,79 ± 1,5. Skor DII semua subjek lebih dari 0 (positif) menunjukkan bahwa seluruh
subjek pada penelitian ini lebih banyak mengkonsumsi makanan yang bersifat pro inflamasi yang dapat memperberat inflamasi dan perburukan penyakit. Subjek
penelitian dan pasien-pasien PGK lainnya perlu diberikan edukasi mengenai
pentingnya mengonsumsi makanan yang bersifat anti-inflamasi. Perlu
dikembangkan rekomendasi makanan anti-inflamasi yang sesuai untuk pasien
PGK. | |