Kebijakan Pengelolaan Perikanan Skala Kecil Berbasis Pantai dan Pulau: Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara
Date
2024Author
Ariston, Muhamad
Adrianto, Luky
Bengen, Dietriech Geoffrey
Susanto, Handoko Adi
Metadata
Show full item recordAbstract
Perikanan skala kecil merupakan kegiatan perikanan yang paling dominan dilakukan oleh pelaku perikanan di seluruh dunia. Perikanan ini sangat berperan penting dalam memberikan konstribusi bagi penyediaan pangan secara global serta hampir 90 persen pelaku perikanan menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki potensi perikanan yang sangat besar di mana sembilan puluh persen dari kegiatan perikanannya berasal dari perikanan skala kecil. Namun, saat ini perikanan skala kecil di Indonesia menghadapi berbagai tekanan yang disebabkan oleh perubahan iklim, penurunan sumber daya ikan akibat praktik perikanan yang merusak (Destructive Fishing), penangkapan ikan ilegal (Illegal Fishing), dan penangkapan ikan yang berlebihan (Over Eksploitasi). Hal ini berdampak pada penurunan pendapatan nelayan, peningkatan kemiskinan dan berbagai permasalahan sosial lainnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, salah satunya adalah Pengelolaan Perikanan berbasis Hak Akses. Pengelolaan ini telah lama dikenal dengan istilah Territorial Use Rights in Fisheries (TURFs) di berbagai belahan dunia. Dalam perkembangannya, para ahli perikanan telah mengkombinasikan pengelolaan perikanan berbasis hak dengan kawasan konservasi atau zona larang ambil yang dikenal sebagai TURF-reserves. Praktek pengelolaan perikanan berbasis hak yang dikombinasikan dengan kawasan konservasi atau zona larang ambil ini telah diterapkan di beberapa negara seperti Chili, Brasil, dan Meksiko. Di Indonesia, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi salah satu pionir dalam mengimplementasikan program TURFs-Reserve. Inisiasi program TURFs-Reserve ini dimulai sejak tahun 2015 dan dikenal dengan istilah Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP), yang dilaksanakan melalui kerja sama dengan berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun non-pemerintah. Program ini kemudian diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2019 tentang PAAP. Pergub ini bertujuan mendorong terbentuknya kawasan perikanan yang menjadi akses bersama masyarakat, serta melindungi kawasan sebagai wilayah pemulihan sumber daya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan perikanan skala kecil di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan menganalisis perbandingan dua unit Social-Ecological System (SES) berdasarkan karakteristik nelayan yang berbasis pantai dan berbasis pulau. Analisis dilakukan menggunakan pendekatan Social-Ecological Network Analysis (SENA) untuk mendeteksi elemen kunci dan hubungan antar elemen dalam jejaring SES, Historical Policy Analysis untuk melihat sejarah perkembangan kebijakan perikanan di Provinsi Sulawesi Tenggara, serta Qualitative Network Models (QNMs) untuk mengkaji skenario terbaik dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan di kawasan perikanan berbasis pantai dan berbasis pulau. Penelitian ini dilakukan di dua kawasan: Kabupaten Konawe Utara untuk perikanan berbasis pantai dan Kabupaten Konawe Kepulauan untuk perikanan berbasis pulau. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan karakteristik sosial-ekologi antara kedua kawasan tersebut, terutama pada tingkat pendidikan nelayan, ukuran kapal, frekuensi perjalanan melaut, dan pendapatan nelayan. Berdasarkan tingkat pendidikan, nelayan di Kabupaten Konawe Utara memiliki latar belakang pendidikan mulai dari tidak bersekolah hingga sarjana, sementara nelayan di Kabupaten Konawe Kepulauan umumnya telah menyelesaikan pendidikan menengah. Dari segi ukuran kapal, nelayan di Kabupaten Konawe Utara umumnya menggunakan kapal berukuran 1-5 GT, sementara nelayan di Kabupaten Konawe Kepulauan menggunakan kapal berukuran 3-10 GT. Frekuensi perjalanan melaut lebih tinggi di Kabupaten Konawe Utara dibandingkan dengan Kabupaten Konawe Kepulauan. Berdasarkan tingkat pendapatan, nelayan di Kabupaten Konawe Kepulauan memiliki pendapatan rata-rata berkisar antara Rp 500 ribu hingga lebih dari Rp 4 juta, sedangkan nelayan di Kabupaten Konawe Utara memiliki pendapatan rata-rata antara Rp 2 juta hingga Rp 4 juta.
Hasil analisis jejaring SES menunjukkan bahwa elemen kunci di Kabupaten Konawe Utara adalah Kelompok Nelayan PAAP, dengan konektivitas SES yang didominasi oleh hubungan antara Kelompok PAAP dan Non-Anggota PAAP. Di Kabupaten Konawe Kepulauan, elemen kunci jejaring SES adalah Kelompok PAAP, dengan konektivitas SES yang terfokus pada hubungan antara RARE dan Perguruan Tinggi (PT).
Perkembangan kebijakan perikanan di Sulawesi Tenggara telah mengalami perubahan dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Pada masa Orde Lama, kebijakan berfokus pada penyiapan infrastruktur pemerintahan (pilar kebijakan dan tata kelola). Pada masa Orde Baru, terjadi pergeseran menuju pengembangan tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi daerah (pilar inklusi keuangan dan pasar) dengan penekanan pada pendataan potensi sektor unggulan, termasuk pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan (pilar pengelolaan data dan informasi perikanan). Pada masa Reformasi, fokus kebijakan perikanan tetap pada peningkatan produksi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, namun juga dihadapkan pada tantangan seperti penurunan sumber daya perikanan, pencemaran laut, dan perubahan iklim. Pada masa pemerintahan Gubernur Ali Mazi, dikeluarkan Pergub No. 36 Tahun 2019 tentang PAAP sebagai upaya mendorong perikanan berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Analisis QNMs digunakan untuk mengkaji skenario terbaik dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan di kedua kawasan tersebut. Hasil analisis mengembangkan empat skenario kebijakan yang mempertimbangkan keberlanjutan sosial-ekologi, aktor, dan kebijakan sesuai dengan Pergub PAAP No. 36 Tahun 2019. Skenario 1 direkomendasikan untuk perikanan berbasis pantai, yang menekankan partisipasi aktif kelompok PAAP dan Non-Anggota PAAP. Skenario 2 menjadi pilihan terbaik untuk perikanan berbasis pulau, dengan penekanan pada peran Pergub PAAP dalam melindungi keberlanjutan sumber daya perikanan di kedua kawasan tersebut. Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan pentingnya regulasi yang didukung oleh berbagai pihak untuk menjaga keberlanjutan perikanan
Kata kunci: Perikanan Skala Kecil, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hak Akses, Karakteristik Sosial-Ekologi, Kebijakan Perikanan.Provinsi Sulawesi Tenggara Small-scale fisheries are the most dominant type of fishing activity carried out by fishers worldwide. These fisheries play a crucial role in contributing to global food security, with nearly 90 percent of fishers depending on this sector for their livelihoods. As the largest archipelagic country in the world, Indonesia possesses significant fisheries potential, where 90 percent of its fishing activities come from small-scale fisheries. However, small-scale fisheries in Indonesia are currently facing various pressures, including climate change, declining fish stocks due to destructive fishing practices, illegal fishing, and overexploitation. These issues have led to decreased fishers’ incomes, increased poverty, and other social problems. To address these challenges, the government has undertaken various efforts, one of which is the implementation of Rights-based Fisheries Management. This management approach has long been known as Territorial Use Rights in Fisheries (TURFs) in various parts of the world. Over time, fisheries experts have combined rights-based fisheries management with conservation areas or no-take zones, known as TURF-reserves. This practice has been implemented in several countries, such as Chile, Brazil, and Mexico. In Indonesia, the Southeast Sulawesi Provincial Government has been a pioneer in implementing the TURFs-Reserve program. The initiative began in 2015 and is known as the Fisheries Area Access Management (PAAP) program, carried out in collaboration with various governmental and non-governmental partners. The program is regulated by the Governor’s Regulation No. 36 of 2019 concerning PAAP, which aims to establish fisheries areas as shared access zones for local communities and protected areas for resource recovery.Based on this context, this research aims to examine small-scale fisheries policies in Southeast Sulawesi Province by analyzing the comparison of two Social-Ecological System (SES) units based on the characteristics of coastal and island-based fishers. The analysis employs a Social-Ecological Network Analysis (SENA) approach to detect key elements and relationships within the SES network, a Historical Policy Analysis to trace the evolution of fisheries policy in Southeast Sulawesi Province, and Qualitative Network Models (QNMs) to assess the best scenarios for sustainable fisheries management in coastal and island-based areas.The study was conducted in two areas: North Konawe Regency for coastal-based fisheries and Konawe Islands Regency for island-based fisheries. The results show differences in the socio-ecological characteristics between the two areas, particularly in fishers’ education levels, boat sizes, fishing trip frequencies, and incomes. Regarding education levels, fishers in North Konawe Regency have educational backgrounds ranging from no formal education to bachelor’s degrees, whereas most fishers in Konawe Islands Regency have completed secondary education. In terms of boat sizes, fishers in North Konawe Regency typically use boats ranging from 1 to 5 GT, while those in Konawe Islands Regency use larger boats, ranging from 3 to 10 GT. Fishing trip frequencies are higher in North Konawe Regency compared to Konawe Islands Regency. Based on income levels, fishermen in Konawe Islands Regency have an average income ranging from Rp 500 thousand to over Rp 4 million, while fishermen in North Konawe Regency have an average income ranging from Rp 2 million to Rp 4 million.
The SES network analysis reveals that the key element in North Konawe Regency is the PAAP Fisher Group, with SES connectivity primarily characterized by the relationship between PAAP and Non-PAAP members. In Konawe Islands Regency, the key SES network element is also the PAAP Group, with SES connectivity focusing on the relationship between RARE and Higher Education Institutions (PT).
The evolution of fisheries policy in Southeast Sulawesi has undergone changes from the Old Order, New Order, to the Reform Era. During the Old Order, policies focused on preparing government infrastructure (policy and governance pillars). In the New Order, there was a shift toward developing governance and regional economic growth (financial inclusion and market pillars), with an emphasis on identifying key sectoral potentials, including agriculture, plantations, forestry, and fisheries (fisheries data and information management pillar). In the Reform Era, fisheries policy remained focused on increasing production to support economic growth, but also faced challenges such as declining fishery resources, marine pollution, and climate change. During the administration of Governor Ali Mazi, Governor’s Regulation No. 36 of 2019 concerning PAAP was issued as an effort to promote sustainable fisheries in Southeast Sulawesi Province.
QNMs were used to assess the best scenarios for sustainable fisheries management in the two study areas. The analysis developed four policy scenarios that consider socio-ecological sustainability, actors, and policies in accordance with Governor’s Regulation PAAP No. 36 of 2019. Scenario 1 is recommended for coastal-based fisheries, emphasizing active participation by PAAP and Non-PAAP groups. Scenario 2 is the best option for island-based fisheries, highlighting the role of Governor’s Regulation PAAP in protecting fishery resource sustainability in both areas. Overall, this study emphasizes the importance of regulations supported by various stakeholders to ensure sustainable fisheries.
Keywords: Small-Scale Fisheries, Rights-Based Fisheries Management, Socio-Ecological Characteristics, Fisheries Policy, Southeast Sulawesi.
Collections
- DT - Fisheries [726]