Show simple item record

dc.contributor.advisorKesumawati, Upik
dc.contributor.advisorSoviana, Susi
dc.contributor.advisorTiuria, Risa
dc.contributor.authorKermelita, Deri
dc.date.accessioned2024-11-21T06:02:49Z
dc.date.available2024-11-21T06:02:49Z
dc.date.issued2024
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/159513
dc.description.abstractFilariasis merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang serius, terutama bagi individu dan keluarga berpenghasilan rendah yang berdampak terhadap kesehatan, seperti penurunan produktivitas kerja, kecacatan permanen, beban ekonomi bagi keluarga, dan kerugian ekonomi bagi negara. Nyamuk bertindak sebagai vektor yang mentransimisikan tiga spesies cacing filaria yang menyebabkan filariasis pada manusia yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Terdapat 8742 kasus filariasis kronis yang dilaporkan tersebar di 34 provinsi di Indonesia, dan Provinsi Bengkulu sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang mencatat 66 kasus kronis filariasis. Provinsi Bengkulu terdiri atas 9 kabupaten dan 1 kota, dengan 5 kabupaten yang diklasifikasikan sebagai daerah endemis filariasis dengan angka mikrofilaria rate > 1. Transmisi filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk manusia sebagai penderita dan sumber infeksi, nyamuk sebagai vektor, hewan sebagai reservoir, serta lingkungan yang mendukung interaksi. Di Indonesia, pengendalian filariasis dilakukan melalui program pemberian obat pencegahan massal (POPM), yang telah terbukti efektif dalam mengurangi prevalensi penyakit. Namun, meskipun terdapat penurunan kasus pada manusia, deteksi mikrofilaria pada nyamuk vektor menunjukkan bahwa penularan masih terjadi pada tingkat tertentu setelah penerapan POPM. W. bancrofti dan B. malayi telah ditemukan pada beberapa spesies nyamuk di berbagai kabupaten di Indonesia. Dalam konteks filariasis, beberapa hewan seperti kucing (Felis catus), lutung (Presbytis cristata), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kucing hutan (Felis silvestris), dan anjing (Canis familiaris) dapat bertindak sebagai reservoir bagi nematoda filaria. Mereka berperan penting dalam menjaga siklus hidup parasit dan mempertahankan penularannya di daerah endemis. Penelitian ini merupakan penelitian komprehensif tentang kajian vektor dan deteksi mikrofilaria sebagai dasar penyusunan strategi pengendalian filariasis di daerah endemis dan non-endemis di Provinsi Bengkulu, yang mencakup Kabupaten Seluma sebagai daerah endemis dan Kabupaten Bengkulu Tengah sebagai daerah non-endemis. Penelitian ini terdiri atas 5 tahapan sebagai berikut: (1) kajian epidemiologi dan capaian program eliminasi filariasis di Provinsi Bengkulu, (2) deteksi mikrofilaria dan profil eosinofil darah dari masyarakat daerah non-endemis filariasis di Provinsi Bengkulu, (3) keragaman dan potensi vektor pada nyamuk yang dikoleksi dari daerah endemis dan non-endemis filariasis di Provinsi Bengkulu, (4) deteksi mikrofilaria pada nyamuk dan reservoir yang dikoleksi dari daerah endemis dan non-endemis filariasis di Provinsi Bengkulu, (5) karakteristik habitat larva dan model distribusi spesies di daerah endemis dan non-endemis filariasis di Provinsi Bengkulu. Distribusi kasus filariasis di Provinsi Bengkulu memperlihatkan dominasi pada jenis kelamin perempuan dan kelompok usia produktif. Sejak tahun 2011 hingga tahun 2020, penyebaran kasus filariasis mengalami fluktuasi dan peningkatan jumlah kabupaten yang terdampak. Implementasi program pemberian obat pencegahan massal (POPM) menunjukkan angka cakupan pengobatan dan tingkat keberhasilan yang melampaui target nasional. Pemeriksaan terhadap 262 sampel darah jari (SDJ) yang diperiksa dari masyarakat Kabupaten Bengkulu Tengah (non endemis) di Provinsi Bengkulu, hasilnya menunjukkan bahwa tidak ditemukan mikrofilaria. Di antara 82 sampel darah yang diperiksa, terjadi peningkatan level eosinofil pada 50 persen dari sampel tersebut, dengan rata-rata level eosinofil mencapai 426 sel/mm3. Sebanyak 17 spesies nyamuk teridentifikasi di daerah endemis dan 18 spesies di daerah non-endemis, yang tertangkap baik di dalam maupun di luar rumah menggunakan metode penangkapan human landing collection (HLC) dan resting collection (RC). Tingkat keanekaragaman spesies nyamuk, baik di daerah endemis maupun non endemis, tergolong sedang. Di daerah endemis, Culex pseudovishnui dan Cx. quinquefasciatus merupakan spesies nyamuk yang paling umum ditemukan baik di dalam maupun di luar rumah, sedangkan di daerah non endemis, spesies yang dominan adalah Ar. subalbatus dan Cx. quinquefasciatus. Pada daerah endemis, terdapat 9 spesies nyamuk yang menggigit baik di dalam maupun di luar rumah, 6 spesies hanya menggigit di luar rumah, dan 2 spesies hanya menggigit di dalam rumah. Sementara itu, di daerah non endemis, tercatat 11 spesies nyamuk yang menghisap baik di dalam maupun di luar rumah, 4 spesies hanya menggigit di luar rumah, dan 3 spesies hanya menggigit di dalam rumah. DNA Wuchereria bancrofti tidak terdeteksi pada seluruh sampel nyamuk yang diperiksa menggunakan metode PCR. Pemeriksaan mikrofilaria pada hewan reservoir juga tidak menemukan W. bancrofti dan Brugia malayi, tetapi ditemukan larva Dirofilaria immitis pada sampel darah anjing, dengan prevalensi 13,3% di daerah endemis dan 20% di daerah non-endemis. D. immitis dikenal sebagai penyakit cacing jantung pada anjing, yang juga dapat ditularkan kepada manusia (zoonosis) dengan manifestasi berupa gangguan paru-paru. Temuan ini memiliki implikasi penting bagi kesehatan masyarakat. Larva Ae. albopictus, Cx. quinquefasciatus, dan Ar. subalbatus adalah larva vektor filariasis yang paling sering dijumpai di berbagai jenis habitat. Di daerah endemis, suhu air bervariasi antara 24,3°C hingga 30,2°C, sementara itu di non-endemis berkisar antara 25,4°C hingga 28,7°C. Parameter lingkungan lainnya, seperti pencahayaan (121–674 lux), pH (7,1–7,9), dan salinitas (0), sama di kedua daerah. Faktor biologis habitat menunjukkan kondisi air yang keruh, bervegetasi, dan tidak adanya predator. Variabel lingkungan yang berperan penting adalah tutupan lahan dan suhu tahunan, dengan nilai AUC 0,938 yang menunjukkan akurasi tinggi dalam memprediksi habitat larva, sehingga model ini dapat diandalkan dalam pengendalian filariasis. Kajian ini merupakan penelitian awal menggunakan pendekatan komprehensif dengan mengintegrasikan data epidemiologi untuk memahami dinamika penularan filariasis, kajian entomologi untuk melakukan inventarisasi terhadap ragam jenis spesies nyamuk vektor, serta mengeksplorasi adaptasi ekologis seperti preferensi habitat, perilaku menggigit, dan waktu aktivitas nyamuk dan melakukan deteksi mikrofilaria pada populasi manusia, nyamuk dan hewan reservoir. Kombinasi hasil analisis ini dapat digunakan sebagai rekomendasi atau pertimbangan dalam membuat strategi pengendalian vektor dan pencegahan penularan penyakit filariasis di Provinsi Bengkulu.
dc.description.sponsorshipKementerian Kesehatan RI
dc.language.isoid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleKajian Vektor dan Deteksi Mikrofilaria Sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengendalian Filariasis di Provinsi Bengkuluid
dc.title.alternative
dc.typeDisertasi
dc.subject.keywordEntomologi Kesehatanid
dc.subject.keywordMikrofilariaid
dc.subject.keywordLimpatik filariasisid
dc.subject.keywordHealth entomology
dc.subject.keywordmicrofilariae
dc.subject.keywordlymphatic filariasis


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record