Analisis Model Keyakinan Kesehtan Untuk Pencegahan Seks Bebas Pada Remaja
Date
2024Author
Sovianti, Rina
Sarwoprasodjo, Sarwititi
Hubeis, Aida Vitayala Sjafri
Herawati, Tin
Metadata
Show full item recordAbstract
Di Indonesia masalah seks masih menjadi suatu hal yang tabu. Masyarakat masih memandang hal-hal yang membahas tentang pendidikan seks dan kesehatan reproduksi harus diperbincangkan secara terbatas (Angie et al. 2021). Komunikasi orang tua dan remaja layaknya di negara berkembang biasanya terjadi secara tertutup disebabkan situasi dan kondisi sistem sosial di dalam masyarakat (Sumandiyar et al. 2020). Di Indonesia, status kesehatan seks pada remaja masih memprihatinkan. Angka indeks pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja masih rendah, yakni sebesar 58,1 persen (BKKBN dan BPS 2023). Di Indonesia, sampai saat ini masih ada pihak yang tidak menyetujui pendidikan seks diajarkan pada usia dini karena mereka beranggapan bahwa pendidikan seks memberitahu tentang bagaimana melakukan hubungan seks (Nurhayati 2021). Orang Indonesia melakukan seks bebas tanpa menggunakan alat kontrasepsi sehingga memicu tingginya angka kehamilan di luar nikah serta meningkatkan risiko penularan penyakit seksual. Angka penggunaan kontrasepsi ini cukup mengkhawatirkan, angka kehamilan remaja Indonesia di luar nikah meningkat lebih dari 500 kasus setiap tahun (Sidabutar et al. 2019). Untuk memahami tingkat kesadaran remaja terhadap risiko melakukan kegiatan seks bebas dilakukan melalui Health Belief Model. Health belief model menggambarkan bahwa seseorang akan mengubah perilakunya untuk menghindari penyakit berdasarkan persepsi mereka terhadap risiko dan ancaman, serta pertimbangan manfaat dan hambatan dari tindakan tersebut, yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kontrol individu.
Berdasarkan latar belakang di atas penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis persepsi kerentanan, keparahan, manfaat, hambatan, efikasi diri, petunjuk untuk bertindak, dan aksi pencegahan seks bebas; (2) Menganalisis pengaruh variabel persepsi kerentanan, keparahan, manfaat, efikasi diri, hambatan, dan petunjuk untuk bertindak pada perubahan perilaku remaja dalam pencegahan seks bebas; (3) Merumuskan model pencegahan seks bebas pada remaja. (4) Merumuskan strategi pencegahan seks bebas pada remaja.
Desain penelitian adalah cross-sectional studi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Lokasi penelitian sekolah SMA/sederajat di Wilayah Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Lokasi dipilih dengan pertimbangan Kecamatan Cibinong mempunyai jumlah pernikahan anak tertinggi di Kabupaten Bogor (BPS 2023) yang mengindikasikan bahwa tingginya perilaku seks bebas diduga sebagai penyebab angka pernikahan anak tinggi (Ningsi 2022). Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari 2024. Pengambilan contoh penelitian menggunakan cluster sampling. Jumlah contoh dalam penelitian adalah 202 remaja. Variabel penelitian ditransformasi dalam bentuk indeks dan dikelompokkan dengan cut off pengkategorian yaitu rendah (< 60,00), sedang (60,00-80,00), dan tinggi (>80,00) (Saaty 2002). Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel, SPSS, dan Smart Partial Least Square (SmartPLS) 3.
Hipotesis yang diterima (mempunyai T-statistic = 1.96 dan p-value = 0.05) dalam penelitian ini adalah: Pertama, Persepsi Hambatan berpengaruh positif signifikan terhadap aksi pencegahan seks bebas remaja. Kedua, Petunjuk untuk bertindak berpengaruh signifikan terhadap aksi pencegahan seks bebas remaja. Ketiga, Persepsi kerentanan dimediasi oleh Persepsi Manfaat dan Persepsi Efikasi Diri berpengaruh signifikan terhadap aksi pencegahan seks bebas remaja. Keempat, Petunjuk untuk Bertindak dimediasi oleh Persepsi Manfaat dan Persepsi Efikasi Diri berpengaruh signifikan terhadap aksi pencegahan seks bebas remaja di Kabupaten Bogor dengan arah positif.
Hasil penelitian ini menunjukkan persepsi kerentanan, keparahan, manfaat, dan efikasi diri mempunyai kategori tinggi dalam pencegahan seks bebas. Namun, hasil temuan dalam penelitian ini persepsi hambatan, petunjuk untuk bertindak, dan aksi perubahan perilaku pencegahan seks bebas termasuk dalam kategori rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manfaat dan efikasi diri ditemukan sebagai mediator dari persepsi kerentanan, persepsi keparahan, hambatan, dan petunjuk untuk bertindak terhadap aksi pencegahan seks bebas. Dalam penelitian ini menemukan bahwa persepsi kerentanan dan keparahan mempunyai hubungan yang negatif terhadap aksi perubahan perilaku seks bebas. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi kerentanan, persepsi keparahan, hambatan, dan petunjuk untuk bertindak tidak mempengaruhi perubahan perilaku kecuali jika dikaitkan dengan manfaat dan efikasi diri.
Temuan dari penelitian ini informasi-informasi dari keluarga, guru, dan teman sebaya mengenai pencegahan seks bebas menjadi referensi remaja dalam pengambilan keputusan remaja. Konsep bahwa petunjuk untuk bertindak berhubungan dengan dorongan menjalankan sebuah tindakan. Oleh karena itu, sinyal untuk bertindak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pelaksanaan tindakan kesehatan. Variabel manfaat dan efikasi diri memediasi variabel seperti kerentanan, keparahan, hambatan di dalam penelitian mempunyai pengaruh terhadap aksi pencegahan seks bebas.
Strategi komunikasi untuk perubahan perilaku dalam pencegahan seks bebas adalah sebagai berikut: (1) Strategi Mempertahankan Persepsi Efikasi Diri: menekankan kepada siswa setingkat SMA bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku dan membuat keputusan yang sehat terkait seksualitas. (2) Strategi Mengatasi Hambatan: mengidentifikasi dan mengurangi hambatan-hambatan yang mungkin menghalangi individu untuk mencegah perilaku seks bebas. (3) Strategi Mempertahankan Manfaat: mengkomunikasikan manfaat dari menghindari seks bebas, seperti mengurangi risiko terhadap penyakit menular seksual, kehamilan remaja, dan dampak negatif lainnya. (4) Strategi Meningkatkan Persepsi Keparahan: mengurangi persepsi tentang keparahan konsekuensi negatif dari perilaku seks bebas. (5) Strategi Meningkatkan Persepsi Kerentanan: meningkatkan pemahaman individu tentang risiko dan kerentanan mereka terhadap penyakit menular seksual dan kehamilan remaja. (6) Strategi Memberikan Petunjuk untuk Bertindak: memberikan informasi yang jelas dan praktis tentang langkah-langkah yang dapat diambil untuk menghindari seks bebas. In Indonesia, issues related to sex are still considered taboo. Society generally views topics concerning sex education and reproductive health as matters that should be discussed in limited contexts (Angie et al. 2021). Parent-teen communication in developing countries usually happens in private due to the social system and conditions within the community (Sumandiyar et al. 2020). In Indonesia, the sexual health status of adolescents is still concerning. The knowledge index about adolescent reproductive health remains low, at 58.1 percent (BKKBN and BPS 2023). In Indonesia, there are still groups who oppose teaching sex education at an early age because they believe that sex education explains how to engage in sexual activities (Nurhayati 2021). About two-thirds of Indonesians engage in unprotected sex, leading to a high rate of premarital pregnancies and an increased risk of sexually transmitted infections. The rate of contraceptive use is worryingly low, with teenage pregnancies outside of marriage increasing by more than 500 cases each year (Sidabutar et al. 2019). To understand adolescents' awareness of the risks of engaging in free sex, the Health Belief Model is applied. This model illustrates that an individual will change their behavior to avoid disease based on their perceptions of risk and threat, as well as the perceived benefits and barriers of taking action, influenced by environmental factors and individual control.
Based on the background mentioned above, this study aims to: (1) Analyze perceptions of susceptibility, severity, benefits, barriers, self-efficacy, cues to action, and prevention actions against free sex. (2) Analyze the influence of perceptions of susceptibility, severity, benefits, self-efficacy, barriers, and cues to action on behavior changes in adolescents to prevent free sex. (3) Formulate a prevention model for free sex among adolescents. (4) Develop strategies for preventing free sex among adolescents.
The research design is a cross-sectional study using a questionnaire as a data collection tool. The study location is high schools or equivalent in the Cibinong District, Bogor Regency. This location was chosen because Cibinong District has the highest number of child marriages in Bogor Regency (BPS 2023), indicating a potential cause of free sex (Ningsi 2022). Data collection was conducted in February 2024. The research sample was obtained using cluster sampling, with a total of 202 adolescents participating. Research variables were transformed into index form and categorized with cut-off points: low (< 60.00), medium (60.00-80.00), and high (>80.00) (Saaty 2002). Data processing used Microsoft Excel, SPSS, and Smart Partial Least Square (SmartPLS) 3.
The hypotheses accepted in this study are: (1) Perceived barriers significantly positively affect adolescents' actions to prevent free sex. (2) Cues to action significantly affect adolescents' actions to prevent free sex. (3) Perceived susceptibility through perceived benefits and perceived self-efficacy significantly affects adolescents' actions to prevent free sex. (4) Cues to action through perceived benefits and perceived self-efficacy significantly affect adolescents' actions to prevent free sex in Bogor Regency, positively.
The results of this study show that perceptions of susceptibility, severity, benefits, and self-efficacy are high in preventing free sex. However, the study findings indicate that perceptions of barriers, cues to action, and behavior change actions to prevent free sex are in the low category. The study found that benefits and self-efficacy serve as mediators between perceived susceptibility, severity, barriers, and cues to action and actions to prevent free sex. It was found that perceived susceptibility and severity negatively relate to behavior change actions to prevent free sex. The data from this study show that perceived susceptibility, severity, barriers, and cues to action do not affect behavior change unless associated with benefits and self-efficacy.
Findings from this study highlight that information from family, teachers, and peers about preventing free sex serves as a reference for adolescents in decision-making. The concept that cues to action are related to the drive to perform an action is essential. Therefore, cues to action have a significant impact on implementing health actions. Variables such as benefits and self-efficacy mediate variables like susceptibility, severity, and barriers in influencing actions to prevent free sex.
Behavior changes communication strategies to prevent free sex are as follows: (1) Maintaining Self-Efficacy Perception Strategy: emphasize to high school students that they have the ability to control their behavior and make healthy decisions regarding sexuality. (2) Overcoming Barriers Strategy: identify and reduce barriers that may prevent individuals from avoiding free sex. (3) Maintaining Benefits Strategy: communicate the benefits of avoiding free sex, such as reducing the risk of sexually transmitted infections, teenage pregnancies, and other negative impacts. (4) Increasing Perceived Severity Strategy: reduce perceptions of the severity of the negative consequences of free sex. (5) Increasing Perceived Susceptibility Strategy: enhance individuals' understanding of their risk and vulnerability to sexually transmitted infections and teenage pregnancies. (6) Providing Cues to Action Strategy: give clear and practical information about steps that can be taken to avoid free sex.
Collections
- DT - Human Ecology [567]