Model Prediksi Kegagalan Bpr/Bprs Berbasis Tata Kelola
View/ Open
Date
2019Author
Suwandi
Achsani, Noer Azam
Hakim, Budiman
Alamsyah, Halim
Metadata
Show full item recordAbstract
Penelitian mengenai analisis prediksi kegagalan BPR/BPRS dilatarbelakangi
karena tingginya jumlah BPR/BPRS yang masuk ke dalam status Bank Dalam
Status Pengawasan (BDPK). Terhadap BPR/BPRS dalam status BDPK yang tidak
lagi dapat disehatkan oleh lembaga pengawas perbankan (saat ini OJK, sebelumnya
Bank Indonesia), kemudian diserahkan sebagai bank gagal kepada LPS. Setelah
dilakukan analisis pemenuhan persyaratan untuk dapat diselamatkan, tidak ada
satupun BPR/BPRS gagal yang dapat diselamatkan. Hal ini berarti seluruh
BPR/BPRS tersebut dilikuidasi. Sejak LPS beroperasi tahun 2005 hingga saat ini,
tercatat dari total 1.915 BPR/BPRS yang pernah beroperasi sampai dengan 31
Desember 2017, sejumlah 184 bank masuk ke dalam status BDPK, dan 84 bank
(45%) telah dicabut izin usahanya oleh BI/OJK, tidak termasuk self liquidation.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh LPS pada tahun 2016,
penyebab utama dari banyaknya BPR/BPRS yang dilikuidasi tersebut adalah karena
disebabkan tindakan penyimpangan (fraud) yang dilakukan baik oleh pemilik,
pengurus maupun karyawan bank. Temuan dari LPS atas tindakan penyimpangan
tersebut antara lain penyaluran kredit fiktif, angsuran kredit yang tidak dicatat
dalam pembukuan bank, pencairan deposito tanpa sepengetahuan nasabah, dan
kredit yang tidak didukung dengan agunan yang memadai.
Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) digunakan sebagai
pertimbangan utama OJK untuk menetapkan BPR/BPRS dalam status BDPK.
Apabila bank yang bermasalah memiliki CAR kurang dari 4% (empat persen),
lembaga pengawas perbankan menetapkan status bank tersebut sebagai BDPK.
Tujuan penelitian ini adalah pertama untuk menguji analisis rasio keuangan
yaitu CAR yang dihitung berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan
BPR/BPRS adalah andal untuk memprediksi kegagalan. Kedua, untuk menyusun
model kegagalan BPR/BPRS berbasis implementasi tata kelola. Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan bagi LPS dalam mengembangkan analisis
prediksi kegagalan bank khususnya BPR/BPRS. Bagi OJK, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan dalam melakukan tindakan penyehatan bank
khususnya BPR/BPRS misalnya keharusan dilakukan audit laporan keuangan oleh
Akuntan Publik tanpa melihat jumlah aset yang dimiliki BPR/BPRS, ketentuan
mengenai perangkapan jabatan antara pemegang saham, komisaris dan/atau direksi.
Penelitian ini dilakukan dengan membuat forecasting terhadap data CAR
BPR/BPRS yang dipublikasikan sebelum ditetapkan BDPK untuk menguji apakah
data CAR tersebut dapat digunakan untuk memprediksi bank akan ditetapkan
sebagai BDPK. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik forecasting ARIMA,
trend analysis dan pengujian signifikansinya dengan sign test.
Fraud terjadi karena lemahnya implementasi tata kelola yang baik (good
corporate governance). Penelitian ini menguji beberapa variabel sebagai proxy
kelemahan implementasi tata kelola yaitu (1) ketidaklengkapan surat pernyataan
tanggung jawab apabila menjadi bank gagal dari komisaris; (2) ketidaklengkapan
surat pernyataan tanggung jawab apabila bank menjadi bank gagal dari direksi; (3) Penelitian mengenai analisis prediksi kegagalan BPR/BPRS dilatarbelakangi
karena tingginya jumlah BPR/BPRS yang masuk ke dalam status Bank Dalam
Status Pengawasan (BDPK). Terhadap BPR/BPRS dalam status BDPK yang tidak
lagi dapat disehatkan oleh lembaga pengawas perbankan (saat ini OJK, sebelumnya
Bank Indonesia), kemudian diserahkan sebagai bank gagal kepada LPS. Setelah
dilakukan analisis pemenuhan persyaratan untuk dapat diselamatkan, tidak ada
satupun BPR/BPRS gagal yang dapat diselamatkan. Hal ini berarti seluruh
BPR/BPRS tersebut dilikuidasi. Sejak LPS beroperasi tahun 2005 hingga saat ini,
tercatat dari total 1.915 BPR/BPRS yang pernah beroperasi sampai dengan 31
Desember 2017, sejumlah 184 bank masuk ke dalam status BDPK, dan 84 bank
(45%) telah dicabut izin usahanya oleh BI/OJK, tidak termasuk self liquidation.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh LPS pada tahun 2016,
penyebab utama dari banyaknya BPR/BPRS yang dilikuidasi tersebut adalah karena
disebabkan tindakan penyimpangan (fraud) yang dilakukan baik oleh pemilik,
pengurus maupun karyawan bank. Temuan dari LPS atas tindakan penyimpangan
tersebut antara lain penyaluran kredit fiktif, angsuran kredit yang tidak dicatat
dalam pembukuan bank, pencairan deposito tanpa sepengetahuan nasabah, dan
kredit yang tidak didukung dengan agunan yang memadai.
Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) digunakan sebagai
pertimbangan utama OJK untuk menetapkan BPR/BPRS dalam status BDPK.
Apabila bank yang bermasalah memiliki CAR kurang dari 4% (empat persen),
lembaga pengawas perbankan menetapkan status bank tersebut sebagai BDPK.
Tujuan penelitian ini adalah pertama untuk menguji analisis rasio keuangan
yaitu CAR yang dihitung berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan
BPR/BPRS adalah andal untuk memprediksi kegagalan. Kedua, untuk menyusun
model kegagalan BPR/BPRS berbasis implementasi tata kelola. Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan bagi LPS dalam mengembangkan analisis
prediksi kegagalan bank khususnya BPR/BPRS. Bagi OJK, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan dalam melakukan tindakan penyehatan bank
khususnya BPR/BPRS misalnya keharusan dilakukan audit laporan keuangan oleh
Akuntan Publik tanpa melihat jumlah aset yang dimiliki BPR/BPRS, ketentuan
mengenai perangkapan jabatan antara pemegang saham, komisaris dan/atau direksi.
Penelitian ini dilakukan dengan membuat forecasting terhadap data CAR
BPR/BPRS yang dipublikasikan sebelum ditetapkan BDPK untuk menguji apakah
data CAR tersebut dapat digunakan untuk memprediksi bank akan ditetapkan
sebagai BDPK. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik forecasting ARIMA,
trend analysis dan pengujian signifikansinya dengan sign test.
Fraud terjadi karena lemahnya implementasi tata kelola yang baik (good
corporate governance). Penelitian ini menguji beberapa variabel sebagai proxy
kelemahan implementasi tata kelola yaitu (1) ketidaklengkapan surat pernyataan
tanggung jawab apabila menjadi bank gagal dari komisaris; (2) ketidaklengkapan
surat pernyataan tanggung jawab apabila bank menjadi bank gagal dari direksi; (3)
v
adanya perangkapan peran antara pemegang saham dan anggota direksi; (4) kondisi
status BPR/BPRS yang sebelumnya pernah ditetapkan sebagai BDPK; (5) tingkat
kepatuhan BPR/BPRS dalam membayar premi dengan jumlah yang tepat, memiliki
pengaruh terhadap probabilitas kegagalan BPR/BPRS. Selanjutnya berdasarkan
hasil pengujian, dengan menggunakan analisis stepwise dan regresi logistik dibuat
permodelannya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa CAR BPR/BPRS yang dihitung
berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan BPR/BPRS setiap triwulan
adalah tidak andal untuk memprediksi kegagalan BPR/BPRS. Selain itu, hasil
penelitian juga membuktikan terdapat pengaruh signifikan atas kelemahan
implementasi tata kelola terhadap kegagalan BPR/BPRS, yaitu (1) adanya
perangkapan peran antara pemegang saham dan anggota direksi; (2) kepatuhan
BPR/BPRS dalam membayar premi dengan jumlah yang tepat; (3) kelengkapan
surat pernyataan dari direksi; (4) kelengkapan surat pernyataan dari komisaris; dan
(5) kondisi status BPR/BPRS sebelumnya apakah pernah ditetapkan sebagai BDPK.
Berdasarkan hasil penelitian, model prediksi kegagalan BPR/BPRS
berdasarkan implementasi tata kelola, adalah sebagai berikut:
���� =
��
(�� + ��−(��.������������−��.������������+��.������������+��.������������ + ��.������������ −��.��������))
dimana:
Pi : Probabilitas BPR/BPRS gagal
X1 : Perangkapan peran pemegang saham dan anggota direksi
X3 : Kepatuhan bank dalam membayar premi dengan jumlah yang tepat
X5 : Ketidaklengkapan surat pernyataan dari direksi
X6 : Ketidaklengkapan surat pernyataan dari pemegang saham pengendali
X8 : Bank telah ditetapkan sebagai BDPK
Implikasi manajerial terhadap hasil penelitian ini adalah perlunya perbaikan
tata kelola BPR/BPRS, yaitu (1) kebijakan mengenai larangan perangkapan peran
pemegang saham dan anggota direksi BPR/BPRS; (2) menghilangkan pengecualian
bagi BPR/BPRS untuk tidak dilakukan audit laporan keuangan oleh akuntan publik;
(3) penerapan sanksi bagi pemegang saham pengendali atau anggota direksi
BPR/BPRS yang tidak menyampaikan surat pernyataan kepada LPS untuk
mematuhi seluruh ketentuan program penjaminan LPS dan bertanggung jawab
secara pribadi atas kelalaian dan/atau perbuatan yang melanggar hukum yang
mengakibatkan kerugian atau membahayakan kelangsungan usaha bank; dan (4)
peningkatan pengawasan oleh OJK dengan lebih difokuskan pada implementasi tata
kelola bank yang baik (Good Corporate Governance).
Collections
- DT - Business [312]