Konflik Generasi, Lingkungan Kerja Dan Literasi Teknologi Informasi Dan Komunikasi Pegawai Milenial; Studi Kasus Di Badan Pengawas Obat Dan Makanan
View/Open
Date
2019Author
Irhamahayati
Hubeis, Musa
Hermawan, Aji
Djohar, Setiadi
Metadata
Show full item recordAbstract
Saat ini pegawai di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mulai
didominasi oleh generasi milenial, di mana pada tahun 2017 sekitar 41% pegawai
merupakan milenial, sisanya adalah baby boomers (15%), dan generasi X (44%).
Milenial merupakan generasi yang terpapar dengan teknologi informasi dan
memiliki tingkat literasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tinggi, sehingga
menjadi kelompok yang diandalkan untuk menghadapi tantangan era digital.
Masing-masing generasi memiliki karakter berbeda, sehingga memerlukan
lingkungan kerja berbeda dan model pengelolaan sumber daya manusia (SDM)
berbeda. Sektor swasta sudah banyak mengakomodir penyesuaian untuk ini, namun
instansi pemerintah masih sedikit.
Penelitian ini bertujuan mengkaji isu-isu terkait milenial di tengah pembauran
pekerja multi generasi di instansi pemerintah. Tiga isu utama yang diteliti adalah
konflik generasi, lingkungan kerja, dan literasi TIK. Pertama, penelitian bertujuan
menggali perbedaan generasi yang menimbulkan konflik di tempat kerja antara
milenial dengan non milenial (baby boomers dan generasi X), menginvestigasi
keberadaan konflik tersebut, serta menilai pengaruhnya terhadap kinerja. Kedua,
penelitian ini menelaah lingkungan kerja yang sesuai karakter milenial yang
dikombinasikan dengan karakter organisasi pemerintah, dan menguji pengaruhnya
terhadap kinerja. Ketiga, penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat gambaran
literasi TIK pegawai milenial dan pengaruhnya terhadap kinerja.
Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara dan diskusi
kelompok (focus group discussion, FGD) kepada pegawai dari kedua kelompok
generasi. Sebanyak sembilan orang milenial dan tujuh orang non milenial terlibat
dalam FGD, dan sembilan orang informan dari kedua kelompok kohor
berpartisipasi dalam wawancara mendalam. Pengumpulan data kuantitatif
dilakukan melalui survei kepada pegawai milenial (kelahiran tahun 1982-2000)
yang telah bekerja di BPOM setidaknya dua tahun, di tujuh lokasi kantor BPOM
yang dipilih secara purposive, yaitu Jakarta, Surabaya, Pangkalpinang, Makassar,
Samarinda, Palu, dan Banda Aceh, di mana sebanyak 210 responden terjaring
dalam pengisian kuesioner tertulis.
Kuesioner berisi pernyataan kesetujuan responden terhadap isu-isu yang
diteliti. Konflik generasi diukur menggunakan indikator yang diturunkan dari
empat tema perbedaan, yaitu komunikasi, pandangan terhadap work-values/ethics,
pandangan terhadap aturan dan otoritas/hirarki, dan penguasaan teknologi.
Lingkungan kerja dinilai melalui aspek keseimbangan kehidupan dan bekerja
(work-life Balance), fleksibilitas dalam bekerja, tantangan pekerjaan, kesempatan
pengembangan diri, fasilitas TIK, kebijakan, dan dukungan manajemen. Literasi
TIK dinilai melalui aspek pengetahuan, keterampilan dan pemanfaatan terhadap
perangkat TIK seperti komputer, telepon seluler dan internet. Data dianalisis
menggunakan teknik kualitatif dan kuantitatif dengan Structural Equation
Modeling (SEM).
Temuan empiris menunjukkan bahwa konflik generasi terutama menyangkut
kesenjangan dalam penguasaan teknologi. Secara keseluruhan, model interaksi
semua peubah membuktikan konflik tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja,
namun pengujian hubungan berbagai tingkat konflik terhadap berbagai tingkat
kinerja membuktikan bahwa konflik tingkat sedang dan tingkat tinggi terbukti nyata
berhubungan negatif terhadap kinerja. Artinya konflik yang meninggi perlu
diwaspadai mengganggu pencapaian kinerja.
Hasil studi menemukan aspek-aspek lingkungan kerja yang berkontribusi
besar pada pembentukan kinerja milenial adalah kesempatan pengembangan diri,
kebijakan kerja, work-life balance, dan dukungan manajemen. Penilaian terhadap
kondisi saat ini menunjukkan work-life balance memiliki nilai terendah. Dengan
demikian, manajemen perlu lebih memerhatikan work-life balance untuk
mendukung pencapaian kinerja. Lingkungan kerja juga berpengaruh besar terhadap
motivasi kerja, di mana faktor-faktor motivasi yang paling dominan di kalangan
milenial adalah penguasaan pekerjaan (mastery), pengembangan diri (growth) dan
pengakuan (recognition).
Analisis terhadap literasi TIK menunjukkan ada perbedaan nyata antara
literasi pegawai yang bekerja di kantor pusat (Jakarta) dengan pegawai yang bekerja
di kantor daerah, di mana literasi pegawai di pusat dengan rataan lebih tinggi.
Literasi TIK paling tinggi adalah pada aspek “keterampilan” dan paling rendah pada
aspek “pemanfaatan”. Tiga indikator literasi TIK yang paling tinggi adalah
“keterampilan penggunaan telepon seluler”, “pengetahuan tentang telepon seluler”,
dan “pengetahuan tentang internet”. Secara keseluruhan literasi TIK belum menjadi
faktor pembentuk kinerja yang nyata. Hal ini disebabkan pemanfaatan TIK yang
masih rendah, sehingga belum memberi dampak berarti bagi pembentukan kinerja.
Disarankan untuk penelitian lebih lanjut tentang work-life balance dan
fleksibilitas kerja di lembaga pemerintah, sehingga dapat memberikan solusi yang
lebih konkrit untuk mengatasi masalah lingkungan kerja. Mengenai rendahnya
kontribusi literasi TIK dalam membentuk kinerja di era digital saat ini, maka
direkomendasikan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang literasi TIK di
lembaga pemerintah lain yang telah menggunakan TIK lebih intensif.
Collections
- DT - Business [349]