dc.description.abstract | Indonesia merupakan peringkat ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia pada tahun 2017, di bawah China, India dan Amerika Serikat. Menurut IMF dan World Bank, Indonesia juga berada pada peringkat ke-16 negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar, sebesar lebih dari USD1 triliun. Dengan nilai PDB serta jumlah peneduduk yang demikian besar, Indonesia menjadi sasaran pasar yang sangat potensial bagi negara-negara tetangga dan negara-negara besar lainnya. Apabila tidak memiliki daya saing yang kuat, maka Indonesia tidak akan dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Berdasarkan data World Bank, Indonesia berhasil meningkatkan inklusi keuangan, yaitu persentase kepemilikan rekening dari 36.06% (2014) menjadi 48.86% (2017), masih di bawah rerata inklusi keuangan dunia sebesar 68.52%. Tingkat inklusi keuangan menunjukkan akses terhadap jasa pada lembaga keuangan formal, khususnya bagi masyarakat berpendapatan rendah. Pemerintah terus mendorong inklusi keuangan melalui beberapa program, antara lain: (1) penyaluran pinjaman KUR Mikro, KUR Kecil dan KUR TKI, (2) gerakan nasional non tunai (GNNT) dan penyaluran bantuan pangan non tunai (BPNT), (3) mendorong BI dan OJK meluncurkan program layanan keuangan digital (LKD) dan lanyanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Lakupandai).
Sebagai salah satu BUMN, Bank BNI memiliki kewajiban berperan sebagai agen pembangunan. Peran tersebut telah dilaksanakan bersama bank-bank BUMN lainnya. Namun ditengarai masih terdapat hal-hal yang dapat ditingkatkan. Pandangan sebagian pihak yang menganggap bahwa dengan menjalankan peran sebagai agen pembangunan bank tidak akan menghasilkan keuntungan, perlu diluruskan. Bila model bisnis yang digunakan sesuai, bisnis inklusi keuangan mampu menghasilkan laba yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model bisnis yang tepat bagi Bank BNI dalam mendukung inklusi keuangan bagi segmen mikro dan kecil. Dalam proses menemukan model bisnis tersebut, dilakukan langkah-langkah pemetaan dan penilaian model bisnis eksisting. Data dihimpun dari sumber internal dan benchmark eksternal melalui laporan, jurnal dan sumber lain. Penelitian ini dilakukan dengan kerangka kerja soft system methodology (SSM), yang berisi tujuh langkah mulai dari menemukan masalah sampai ke saran perbaikan. Model bisnis Bank BNI dipetakan menggunakan 9 blocks business model canvas (BMC), sehingga dapat diidentifikasi kondisi pada masing-masing blok. Proses pengembangan model bisnis ini banyak mengandalkan keilmuanan, pengetahuan dan pengalaman para pakar melalui focus group discussion dan expert judgement. Output dan analisis meliputi: rich picture, root definition, diagram input-output, analisis situasional, analisis interpretive structural modeling (ISM), strategic assumption surfacing and testing (SAST), model bisnis operasional, dan analytic network process (ANP). Rich picture menghasilkan gambaran permasalahan secara lebih jelas, diteruskan dengan root definition yang mendefinisikan akar permasalahan lebih terarah. Melalui analisis situasional diketahui permasalahan dan perbaikan yang dapat dilakukan dari masing-masing blok BMC, antara lain: penyaluran kredit di segmen mikro yang rendah, channel distribution yang terbatas dan tidak menyebar, relationship yang terbatas, layanan customer yang kurang mengena, visi dan kolaborasi yang kurang selaras, partner yang perlu dikelola dengan lebih baik, pengelolaan pendapatan dan biaya yang perlu pengembangan. Analisis ISM dan SAST menghasilkan model bisnis konseptual, yang selanjutnya dilakukan perbandingan dengan dunia nyata. Di samping itu analisis ISM menghasilkan sub-elemen kunci, dan menjadi titik ungkit utama di dalam model bisnis, yaitu: (1) kesamaan visi dan kolaborasi antar Unit, (2) kesempatan benchmark dan pengetahuan dan ide yang relevan, (3) dukungan IT dari sisi dana, kredit, dan transaksi, (4) memenuhi harapan customer–mudah, murah, cepat, dan tidak ribet, (5) SOP pengakuan kinerja yang adil, (6) eliminasi mentalitas silo, (7) direksi bank, (8) customer. Hasil perbandingan model konseptual dengan dunia nyata adalah model bisnis operasional. Model ini dianalisis dengan ANP untuk mendapatkan perubahan yang desireable dan feasible. Selain melakukan prioritisasi klaster dan sub-elemen di dalam model bisnis operasional, ANP juga menghasilkan pilihan strategi eksekusinya. Di antara empat blok BMC, “Infrastructure Management” (29.26%) sebagai bobot tertinggi, dengan rater agreement (WT)=0.531. Pada klaster Customer Relationship bobot tertinggi “Memperluas pasar kredit ke segmen mikro” (22.99%), disusul “Memperluas channel distribution” (19.09%) dengan WT=0.277. Pada klaster Value Proposition bobot tertinggi “Mudah, user friendly, aplikasi sesuai HP customer” (24.03%) disusul “Proses kredit elektronis atau melalui agen” (14.04%) dengan WT= 0.429. Pada klaster Infrastructure Management bobot tertinggi “Penyamaan Visi, dan kolaborasi Unit” (20.61%), disusul “Dukungan IT” (16.37%) dengan WT=0.500. Pada klaster Financial Aspects bobot tertinggi “Menggeser biaya tetap ke variabel” (29.58) dengan WT=0.620. Strategi eksekusi yang dipilih dari Alternatif Strategi adalah “Membentuk divisi pengelola inklusi keuangan” (33.03%) dengan WT = 0.652. Penelitian ini menghasilkan model bisnis dengan karakteristik, sebagai berikut: (1) mengintegrasikan solusi pinjaman, simpanan dan jasa transaksi pembayaran dalam suatu konsep closeloop, (2) layanan murah, mudah, dan tidak ribet dibangun dari pemahaman atas customer journey, (3) agen bank berperan sebagai inti dari sel komunitas cashless, (4) pengembangan dilakukan melalui perluasan sasaran pasar ke segmen mikro, (5) aplikasi hi-tech yang dapat diakses HP customer untuk mengembangkan faceless, paperless, dengan stickiness tinggi, (6) visi, kolaborasi dan koordinasi yang didorong Direksi menjadi energi implementasi, dan (7) dibentuk Divisi khusus yang menangani inklusi keuangan. | |