| dc.description.abstract | Implementasi kebijakan outsourcing dan sistem Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) saat ini masih banyak terjadi perubahan institusional yang
berdampak terhadap perubahan struktur organisasi dan personalia. Dalam
hubungan pribadi dan organisasional dapat berpotensi menimbulkan konflik
sistem hubungan industrial. Kondisi ini akibat implementasi kebijakan
outsourcing dan sistem PKWT yang tidak sesuai ketentuan perundang-undangan,
khususnya UU No 13 Tahun 2003. Bentuk penyimpangan penerapan kebijakan
outsourcing dan sistem PKWT diantaranya yaitu: (1) perusahaan belum
melakukan klasifikasi core dan noncore bussiness; (2) pekerja outsourcing dan
pekerja kontrak tidak diikutsertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja;
(3) pekerja outsourcing tidak ada job security, jaminan karier, dan kelangsungan
kerja; serta (4) kecenderungan Perusahaan Pemborongan Kerjaan (PPK) dan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerjaan (PPJP) membayar upah lebih rendah dari
UMK (Upah Minimum Kabupaten).
Penyimpangan dan kontroversi implementasi kebijakan outsourcing tersebut
menimbulkan konflik kepentingan antara pekerja dan manajemen. Kepentingan
para pekerja untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraannya
seringkali berbenturan dengan kepentingan pihak perusahaan untuk meningkatkan
keuntungan dan keberlanjutan usaha. Komunikasi organisasi yang kurang
harmonis dan timbulnya rasa tidak percaya antara pekerja dengan manajemen
mempersulit tercapai kesepakatan dan keselarasan kepentingan. Hal ini, memicu
timbulnya unjuk rasa dan mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja. Di sisi lain,
pengawasan dan pembinaan dari pemerintah daerah belum efektif.
Tujuan penelitian adalah merancang bangun model kebijakan outsourcing
dalam perspektif sistem hubungan industrial yang harmonis untuk meningkatkan
kesejahteraan pekerja dan iklim kerja bagi industri yang kondusif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem melalui System of System
Methodology (SOSM) dengan tahapan, yaitu: observasi lapang dengan metode indepth
interview (IDI), focus group discussion (FGD); survai pakar; serta analisis
dengan metode Business Process Management (BPM), CATWOE, Analytical
Network Process (ANP), dan Strategic Assumption Surfacing and Testing
(SAST). Perancangan dan uji model dilakukan dengan logical thinking process
dan face validity. Pemodelan kebijakan outsourcing dengan pendekatan sistem
melalui system of system methodology dan konsep flexicurity dapat dihasilkan
model konseptual implementasi kebijakan yang komprehensif.
Hasil analisis kebijakan menunjukkan adanya ketidakpatuhan dari
partisipasi tripartit dalam menerapkan perundang-undangan yang ada, sehingga
mengalami kesulitan pencapaian tujuan Trilogi Sistem Hubungan Industrial
(kesejahteraan, keamanan dan keberlanjutan). Analisis prioritas alternatif faktor
yang mempengaruhi kebijakan telah dilakukan secara hirarki pengambilan
keputusan manajemen. Pada tingkat strategik, diperlukan panduan dalam membangun sistem kemitraan harmonis diantara semua elemen yang terkait
implementasi kebijakan outsourcing. Pada tingkat taktikal, diperlukan upaya
menciptakan mekanisme penerimaan kerja dan pengembangan pekerja, termasuk
pemberian jaminan sosial yang adil dan layak. Pada tingkat operasional
diperlukan kebijakan yang adil terkait dengan mekanisme penyaluran aspirasi,
status pekerja, sistem pengupahan, dan kompensasi.
Perundingan bipartit maupun tripartit dibangun melalui azas musyawarah
dan saling percaya (trust) untuk membangun kesepakatan sebagai pedoman tata
kelola organisasi. Kesepakatan dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) yang harus dipatuhi oleh perusahaan maupun pekerja. Pengembangan
kelembagaan mempunyai fungsi dan peran yang jelas bagi pelaksana sistem
hubungan industrial yang harmonis, memiliki daya dorong tinggi dalam
pencapaian tujuannya.
Model kebijakan didukung asumsi strategis sebagai penggerak keberhasilan
kebijakan mencakup sistem pengawasan dan penindakan, sistem informasi dan
basis data, adanya LKS bipartit, perundingan dalam penyelesaian konflik serta
pemahaman sistem hubungan industrial pra kerja dan pekerja.
Penelitian ini menghasilkan rancangan model konseptual kebijakan
outsourcing dalam perspektif sistem hubungan industrial, yaitu Model Integrasi
Kelembagaan Kebijakan Outsourcing (MIKKO) yang merupakan model
pengintegrasian fungsi dan peran kelembagaan sebagai sinergitas hubungan
industrial untuk mencapai manfaat bersama dalam sistem hubungan industrial
yang harmonis. Model Integrasi Manajemen Kebijakan Outsourcing (MIMKO)
sebagai sistem manajemen outsourcing terpadu yang melibatkan pemangku
kepentingan dalam perencanaan yaitu pengawasan, pembinaan dan penindakan
untuk minimalisasi konflik.
Kedua model ditekankan pada upaya pencegahan konflik daripada
penindakan, menghilangkan fenomena diskriminatif yang terjadi pada
implementasi sistem outsourcing saat ini sebagai konsekuensi pasar tenaga kerja
flexibility. Model mengarahkan sistem pasar tenaga kerja pada konsep sistem
flexicurity yang memberikan keleluasan terhadap perusahaan namun tetap
memberikan jaminan keamanan yang cukup terhadap karyawan. Model juga
secara sinergi membangun pendidikan karakter pada setiap aktor dalam sistem
hubungan industrial.
Implikasi model kebijakan outsourcing dalam perspektif sistem hubungan
industrial memerlukan pemahaman yang komprehensif terhadap perundangundangan
yang terkait ketenagakerjaan. Para pemangku kepentingan membangun
konsep keterbukaan dan komplementer melalui komunikasi, koordinasi serta
bersama-sama membangun trilogi sistem hubungan industrial yang sinergi. | |