dc.description.abstract | Hubungan pembangunan dengan agama mengalami pasang surut. Tomalin
(2013), membagi hubungan tersebut dalam tiga fase. Pertama, fase pra-sekuler
dimana agama dan pembangunan saling terkait erat. Kedua, fase sekuler,
memisahkan agama dari kehidupan publik dan negara. Ketiga, fase pasca-sekuler
yang mengembalikan agama sebagai wacana pembangunan. Pada fase kedua,
paham sekularisme menganggap agama sebagai tabu dan terbelakang (Ver Beek
2000; Lunn, 2009), sebagaimana pendapat Marx bahwa agama sebagai candu
masyarakat, yang menyebabkan masyarakat tidak termotivasi untuk maju (Willis,
2005). Namun pada pertengahan abad 20, bersamaan dengan globalisasi, muncul
kebangkitan agama sebagai faktor publik (Taylor, 2007; Marshall 2013). Organisasi
berbasis agama (Faith-based organizations FBO) banyak melakukan kerjasama
dengan para pelaku pembangunan. Tahun 2002, United State Agency for
International Development (USAID) mendirikan Center for Faith Based and
Community Initiatives. Demikian juga di Arab Saudi, FBO (faith based
organization) hadir dengan bentuk yang berbeda. Rist (2008) menyebut
pembangunan sebagai “sebuah elemen agama modern”.
Peran lembaga berbasis agama bagi pembangunan juga dirasakan di
Indonesia. BAZNAS, LAZ, Dompet Dhuafa, merupakan contoh lembaga berbasis
agama yang berperan dalam membantu pengentasan kemiskinan melalui
(pengumpulan dan) pendistribusian zakat, infak dan shodaqoh (ZIS). ZIS juga
membantu menyediakan modal usaha beserta pendampingannya bagi masyarakat
kelas bawah (Maulana dan Laksamana 2023).
Pembangunan manusia melalui penyediaan fasilitas pendidikan dan
kesehatan, banyak didukung oleh organisasi keagamaan seperti
sekolah/universitas/rumahsakit Muhammadyah, Kristen (Stella Duce, Tarakanita
dll). Penelitian Fitrijanto et al. (2021) mengungkapkan bahwa dana wakaf memiliki
peran penting dalam pengadaan sarana pendidikan di Provinsi Banten. ... | id |