Performa Model Hujan CORDEX-SEA pada Aspek Spatial-Temporal dan Implementasi Faktor Bobot pada Rata-rata Ansambel
Date
2024Author
Aminoto, Tugiyo
Koesmaryono, Yonny
Dasanto, Bambang Dwi
Perdinan
Faqih, Akhmad
Metadata
Show full item recordAbstract
Simulasi multi-model CORDEX-SEA (Coordinated Regional climate
Downscaling Experiment – Southeast Asia) merupakan sekumpulan model iklim
regional beresolusi tinggi (25 km) yang paling komprehensif di wilayah Asia
Tenggara saat ini. Ada beberapa kesenjangan dalam literatur penelitian terkait
evaluasi performa model hujan pada simulasi CORDEX-SEA, pertama, umumnya
berfokus pada aspek spasial sedangkan kedalaman aspek temporalnya masih
terbatas. Kedua, dalam membandingkan pola hujan antar sub wilayah tertentu
umumnya masih menggunakan batas wilayah berupa garis persegi sebagai
aproksimasi sedangkan batas wilayah tersebut lebih akurat jika ditentukan dengan
metode klasterisasi. Ketiga, belum diselidikinya kemampuan model dalam
menangkap telekoneksi ENSO/IOD terhadap anomali hujan di Asia Tenggara.
Keempat, rata-rata ansambel yang digunakan belum memperhitungkan faktor bobot
dari performa tiap model penyusunnya.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi secara sistematis dan
komprehensif performa sembilan model hujan dalam database CORDEX-SEA
pada aspek spasial, temporal, klasterisasi pola hujan, telekoneksi ENSO/IOD dan
penerapan faktor bobot pada rata-rata ansambelnya. Instrumen analisis data dalam
penelitian ini menggunakan pemograman Python hasil adopsi dan modifikasi dari
aplikasi open source RCMES (Regional Climate Models Evaluation System) pada
laman https://rcmes.jpl.nasa.gov. Modifikasi yang dilakukan berupa penyesuaian
berorientasi kebutuhan dan penambahan beberapa aspek evaluasi yang belum ada
yaitu: korelasi pada tiap titik grid domain, klasterisasi pola hujan menggunakan
metode hierarchical dan non-hierarchical (k-means) clustering, rata-rata ansambel
dengan faktor bobot, analisis wavelet, Fast Fourier Transform (FFT), Empirical
Orthogonal Function (EOF). Hasil pengembangan sistem evaluasi model hujan
untuk Asia Tenggara tersebut diunggah dan dapat diunduh pada laman
https://github.com/tugiyo523/RCMES_CORDEX-SEA.
Hasil evaluasi performa model pada aspek spasial menunjukkan bahwa, pada
musim hujan (DJF), over-estimate yang tinggi terjadi pada model ECE-RegCM4-3
dan GFDL-RegCM4-3 khususnya pada wilayah Indonesia dan model IPSLRegCM4-3 di wilayah Myanmar dan sekitarnya sedangkan pada musim kemarau
(JJA) terjadi hal yang sama namun cenderung pada wilayah yang berkebalikan. Di
antara 9 model CORDEX-SEA yang diperbandingkan, CNRM-RCA4 memiliki
performa terbaik (rata-rata skor = 0.83) sedangkan rata-rata ansambelnya
mengungguli semua model (0.91). Pada aspek temporal, semua model di wilayah
sekitar Laut Cina Selatan dan separuh model di wilayah Indonesia memiliki
performa rendah, model dengan skor performa tertinggi adalah CNRM-RCA4
(0.31) diikuti oleh HadGEM2-RCA4 (0.30) sedangkan rata-rata ansambelnya
(Multi Model Ensembel atau MME) mengungguli semua model tunggal (0.39).
Hasil klasterisasi pola hujan berdasarkan data reanalisis ERA5 menggunakan
metode k-means clustering dengan jumlah klaster optimalnya ditentukan dari grafik dendogram menunjukkan bahwa jumlah klaster yang diperoleh untuk domain Asia
Tenggara, Indonesia dan Sumatera yaitu masing-masing 6, 4 dan 3. Hasil ini
teramati berbeda-berbeda terhadap hasil klasterisasi pada 6 data observasi yang
ditinjau. Penentuan jumlah klaster optimal dengan metode dendogram hasilnya
lebih sesuai dibanding menggunakan 5 metrik berbasis statistik yang digunakan.
Sensitivitas metrik tersebut rendah pada domain Asia Tenggara dan Indonesia
(ukuran domain besar) namun untuk Sumatera (domain lebih kecil) hasil jumlah
klasternya cukup sesuai. Selain itu, pada kebanyakan data model dan juga ERA5
teramati pola hujan tinggi di sepanjang wilayah pantai barat dan Bukit Barisan
Sumatera namun hal ini tidak terdeteksi pada semua data observasi yang digunakan.
Perbedaan ini kemungkinan akibat data observasi di daerah pegunungan umumnya
memiliki jumlah stasiun pengukur hujan yang jumlahnya sedikit dan/atau
sebaranya tidak merata. Terkait klaster pola hujan, mayoritas model menghasilkan
kemiripan yang sangat kurang terhadap data referensi (ERA5) sedangkan model
IPSL-RegCM4-3 similaritasnya cukup baik. Tipe hujan monsunal dan equatorial di
Sumatera tertangkap dengan baik oleh model IPSL-RegCM4-3 namun tidak
tertangkap model lainya. Hasil dari metode klasterisasi dengan k-means clustering
ini berimplikasi dalam upaya meningkatan presisi dalam penentuan batas-batas
klaster dan kepraktisan dalam mengkarakterisasi variabilitas temporal pada suatu
klaster serta perlunya perspektif klaster pola hujan sebagai salah satu indikator
dalam evaluasi performa model hujan.
Terkait pengaruh telekoneksi ENSO/IOD, hasil korelasi spasial indek
Niño3.4 dengan data anomali hujan observasi di Asia Tenggara menunjukkan
bahwa model yang memiliki kemiripan tertinggi (terhadap data observasi) adalah
GFDL-RegCM4-3 (0,57) diikuti oleh CNRM-RCA4 (0,40) sedangkan terkait indek
IOD skor tertinggi juga dimiliki dua model tersebut (dengan skor 0,63 dan 0,76).
Hasil penerapan faktor bobot pada rata-rata ansambel menunjukkan bahwa
ansambel terbobot WE-Rand memiliki performa yang sedikit lebih baik (0,93)
dibanding ansambel tanpa faktor bobot (0,90) dan model lainnya. Untuk model
tunggal,skor performa model CNRM-RCA4 lebih tinggi (0,83) dari model individu
lainnya (berkisar 0,50-0,73). Pada aspek temporal, tidak ada rata-rata ansambel
yang secara konsisten memiliki performa tertinggi di setiap wilayah demikian juga
untuk model tunggal.
Hasil evaluasi model hujan yang sistematis dan komprehensif tersebut
diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih model hujan dan
tipe ansambel terbaiknya sebagai upaya mendapatkan analisa dan proyeksi iklim
yang lebih akurat di wilayah Asia Tenggara. Selain itu, sistem evaluasi model
berbasis Python yang dikembangkan dan digunakan dalam penelitian ini dapat
menjadi sistem evaluasi model hujan untuk wilayah Asia Tenggara. Sistem ini
sangat bermanfaat seiring dengan banyaknya dan meningkatnya jumlah model
iklim di masa yang akan datang.