Agroforestri vs Non Agroforestri: Nilai Ekonomi Jasa Penyerbukan dan Jasa Pengendalian Hayati pada Perkebunan Kopi Robusta
Abstract
Kopi merupakan salah satu komoditas keempat sebagai penghasil devisa negara setelah minyak sawit, karet, dan kakao. Ekspor kopi Indonesia mencakup Benua Asia, Afrika, Australia, Amerika, dan Eropa dengan pangsa utama ialah Benua Eropa. Negara-negara Uni Eropa (UE) yang menjadi tujuan utama ekspor kopi Indonesia diantaranya adalah Jerman, Italia, Spanyol, Belgia, dan Prancis. Tahun 2023 muncul kebijakan baru yaitu European Union Deforestation Regulation (EUDR) terkait impor komoditas pertanian termasuk kopi, kebijakan ini memberlakukan prinsip legality, traceability, dan sustainability. Adanya EUDR menjadikan sistem pangan di Indonesia dihadapkan pada sebuah tantangan yang harus lebih memperhatikan faktor lingkungan, keanekaragaman hayati, praktik pertanian berkelanjutan, dan aspek kesehatan petani. Petani kopi di Indonesia khususnya di Kabupaten Tanggamus Lampung dihadapkan dengan sebuah permasalahan yaitu penurunan produksi kopi akibat serangan hama penggerek buah kopi (PBKo) dan cuaca yang tidak stabil. Penurunan produksi kopi juga terjadi karena adanya penurunan jumlah serangga penyerbuk akibat penggunaan petisida kimia dan adanya perubahan iklim. Keberadaan serangga penyerbuk memiliki peran penting dan sangat dibutuhkan pada proses penyerbukan tanaman kopi robusta. Penyerbukan tanpa adanya bantuan serangga memiliki tingkat keberhasilan penyerbukan tidak melebihi 60% atau bahkan tidak dapat terjadi penyerbukan. Hal tersebut akan berimplikasi terhadap kualitas dan kuantitas produk kopi yang dihasilkan. Studi ini mengestimasi nilai ekonomi jasa penyerbukan dan jasa pengendalian hayati pada perkebunan kopi robusta sistem agroforestri dan non agroforestri. Guna mengetahui nilai ekonomi jasa penyerbukan dan jasa pengendalian hayati, penelitian ini menggunakan Contingent Valuation Method (CVM) dan Substitute Cost Method dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Studi ini menjawab empat tujuan. Pertama, nilai ekonomi jasa penyerbukan dari sistem agroforestri ialah Rp21.097.686 ha/tahun. Responden agroforestri memiliki nilai WTP lebih tinggi jika dibandingkan dengan responden non agroforestri, karena sistem pertanian agroforestri dapat meningkatkan pendapatan petani melalui diversifikasi tanaman. Kedua, nilai ekonomi jasa penyerbukan sistem non agroforestri ialah Rp8.978.355 ha/tahun, lebih rendah 42,55% dari sistem agroforestri. Mayoritas responden non agroforestri tidak tertarik terhadap program peningkatan layanan penyerbukan. WTP yang lebih rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendidikan, usia, jumlah tanggungan keluarga, dan pendapatan. Akan tetapi, secara umum tidak ada hubungan yang jelas antara variabel sosial ekonomi terhadap WTP. Ketiga, nilai ekonomi jasa pengendalian hayati dari sistem agroforestri ialah Rp3.985.025 ha/tahun. Responden agroforestri memiliki nilai ekonomi lebih tinggi jika dibandingkan dengan responden non agroforestri, karena responden agroforestri cenderung lebih terbuka terhadap metode pengendalian hama secara alami dan cenderung memahami manfaat jangka panjang terhadap kesehatan tanah dan tanaman. Keempat, nilai ekonomi jasa pengendalian hayati sistem non agroforestri ialah Rp3.259.726 ha/tahun, lebih rendah 18,21% dari sistem agroforestri. Akan tetapi, keduanya memiliki tingkat partisipasi yang tinggi untuk mencoba program pengaplikasian cendawan. Penelitian ini menawarkan dua strategi agar Pemerintah Kabupaten Tanggamus dapat menghasilkan kopi yang memenuhi standar EUDR. Pertama, memberikan penyuluhan secara rutin terkait pentingnya peran penyerbuk serta membuat program kebun percontohan dengan menerapkan konsep agroforestri dengan sistem land sharing. Dalam jangka panjang, pemerintah juga dapat menyediakan bibit tanaman untuk pelaksanaan program secara gratis serta dapat memberikan ketersediaan pasar untuk mamfasilitasi produk hasil panen dari pelaksanaan program. Kedua, Memberikan pelatihan terkait penggunaan cendawan serta menyediakan starter Beuvaria bassiana secara gratis untuk memberikan akses yang mudah bagi petani dalam mengurangi penggunaan pestisida kimia. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah petani melakukan ekspansi lahan menuju hutan untuk membuka perkebunan baru. Coffee is one of the fourth commodities as a foreign exchange earner after palm oil, rubber, and cocoa. Indonesia's coffee exports cover the continents of Asia, Africa, Australia, the Americas, and Europe with the main share being Europe. European Union (EU) countries that are the main destinations for Indonesian coffee exports include Germany, Italy, Spain, Belgium and France. In 2023, a new policy emerged, namely the European Union Deforestation Regulation (EUDR) related to the import of agricultural commodities including coffee, this policy applies the principles of legality, traceability, and sustainability. The existence of EUDR makes the food system in Indonesia faced with a challenge that must pay more attention to environmental factors, biodiversity, sustainable agricultural practices, and aspects of farmer health. Coffee farmers in Indonesia, especially in Tanggamus Regency Lampung, are faced with a problem, namely a decrease in coffee production due to the attack of coffee fruit borer pests (PBKo) and unstable weather. The decline in coffee production also occurred due to a decrease in the number of pollinating insects due to the use of chemical peticides and climate change. The existence of pollinating insects has an important role and is needed in the process of pollinating robusta coffee plants. Pollination without the help of insects has a pollination success rate not exceeding 60% or even no pollination can occur. This will have implications for the quality and quantity of coffee products produced. This study estimates the economic value of pollination services and biological control services in robusta coffee plantations in agroforestry and non-agroforestry systems. To determine the economic value of pollination services and biological control services, this study used the Contingent Valuation Method (CVM) and Substitute Cost Method using primary and secondary data. This study addressed four objectives. First, the economic value of pollination services from agroforestry systems was IDR 21,097,686 ha/year. Agroforestry respondents have a higher WTP value when compared to non-agroforestry respondents, because agroforestry farming systems can increase farmers' income through crop diversification. Second, the economic value of pollination services in the non-agroforestry system is IDR 8,978,355 ha/year, 42.55% lower than the agroforestry system. The majority of non-agroforestry respondents were not interested in the pollination service improvement program. Lower WTP is influenced by several factors, namely education, age, number of family dependents, and income. However, in general, there was no clear relationship between socioeconomic variables and WTP Third, the economic value of biological control services from agroforestry systems is Rp3,985,025 ha/year. Agroforestry respondents have a higher economic value when compared to non-agroforestry respondents, because agroforestry respondents tend to be more open to natural pest control methods and tend to understand the long-term benefits to soil and plant health. Fourth, the economic value of biological control services of non-agroforestry systems is Rp3,259,726 ha/year, 18.21% lower than agroforestry systems. However, both have a high level of participation to try the fungus application program. This study provides two strategies for the Tanggamus Regency Government to produce coffee that meets the EUDR standard. First, to provide regular counseling regarding the importance of the role of pollinators and to establish a demonstration plot (demplot) program by applying the concept of agroforestry with a land sharing system. In the long term, the government can also provide free plant seeds during program implementation and create market to facilitate harvested products from program implementation. Second, provide training related to the use of fungi and provide Beuvaria bassiana starters to provide easy access for farmers to reduce the use of chemical pesticides. This is crucial to prevent farmers from expanding their land into the forest to open new plantations.
Collections
- MT - Economic and Management [2971]