Program Komunikasi dalam Penanganan Tuberkulosis di Kota Bandung
Date
2024Author
Solihin, Olih
Lubis, Djuara P.
Muljono, Pudji
Amanah, Siti
Metadata
Show full item recordAbstract
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah serius di banyak negara di seluruh dunia, karena TB menginfeksi sekitar sepertiga populasi global. Upaya global dalam menangani TB telah dimulai sejak tahun 1993 dengan ditetapkannya keadaan darurat TB oleh WHO (World Health Organization). Langkah ini diputuskan WHO sebagai respon atas banyaknya pasien TB yang sulit disembuhkan saat itu. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia angka kematian harian yang cukup signifikan.
Pendekatan komunikasi kesehatan telah menjadi semakin penting dalam menangani masalah kompleks TB. Sebelumnya, pendekatan komunikasi kesehatan lebih berfokus pada penyampaian informasi, menganggap bahwa kurangnya pengetahuan tentang TB adalah penyebab utama ketidakpatuhan pasien. Namun, sekarang kesadaran akan kompleksitas masalah TB telah mengarah pada permintaan untuk pengembangan teori komunikasi kesehatan yang lebih tinggi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis strategi komnikasi, pola komunikasi (berdasarkan strategi utama teori Social and Behavior Change Communication (SBCC): advokasi, mobilisasi sosial, dan edukasi) dalam penanganan TB di Kota Bandung dan mengukur efektivitas program komunikasi tersebut dengan mengambil sudut pandang Teori Health Belief Model (HBM).
Penelitian ini merupakan perpaduan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian dimulai dengan tahap eksplorasi kualitatif, yang mencakup identifikasi pelaksanaan penanganan TB di Kota Bandung dan analisis program komunikasi dalam konteks TB. Penelitian kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam kepada aktor penyelenggara penanganan TB di Kota Bandung yang terdiri dari Dinas Kesehatan, DPRD, Aisyiyah, LSM Terjang, media Radar Bandung, dan tokoh masyarakat. Data diolah menggunakan aplikasi Nvivo 12. Disisi lain penelitian kuantitatif bertujuan untuk mengukur efektivitas program komunikasi dalam penanganan TB. Penelitian kuantitatif dilakukan melalui wawancara kuesioner kepada 165 responden dari tiga Unit Pelaksana Teknis Tuberkulosis (UPT TB) Garuda, UPT TB Sukahaji, dan UPT TB Cibuntu. Hasil data kuantitatif diolah dengan menggunakan aplikasi SmartPLS 3.0.
Temuan dari penelitian ini sebagai berikut: (1) Strategi komunikasi dalam penanganan TB diwujudkan dalam bentuk kegiatan melacak, mengajak, menjelaskan, mendampingi, dan merekut kader. (2) Pola komunikasi dalam penanganan TB di Kota Bandung melalui tiga strategi utama SBCC, yaitu advokasi, mobilisasi sosial, dan edukasi. Advokasi mencerminkan komitmen politik pemerintah dan pemangku kepentingan terhadap penanganan TB. Fokusnya adalah meningkatkan aksesibilitas layanan TB, partisipasi masyarakat, jaringan sosial, dan perekrutan kader kesehatan TB. Mobilisasi sosial melibatkan berbagai pihak seperti Dinas Kesehatan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Lembaga swadaya masyarakat (LSM), media, dan tokoh masyarakat. Ini termasuk pelacakan suspek TB, edukasi masyarakat tentang TB, dukungan kepada pasien TB, dan perekrutan kader kesehatan. Edukasi penting untuk pasien TB dan masyarakat umum. Pasien TB memerlukan pemahaman tentang pengobatan dan cara mengatasi stigma. Masyarakat umum perlu tahu tentang penyebab TB, gejala, peran vaksinasi BCG, dan cara pencegahan. (3) Efektivitas program komunikasi dalam penanganan TB di Kota Bandung menunjukan pengaruh kuat, dimana pengaruh karakteristik individu (X1) terhadap persepsi pasien (Y1) kuat (R-square: 77,5persen). Hubungan X1-Y1 signifikan (T-statistic: 2,504, loading factor: 0,133). Keterpaparan program (X2) memengaruhi persepsi pasien (Y1) positif (R-square: 24,1 persen, loading factor: 0,804). Persepsi diri (Y1) berpengaruh kuat terhadap perubahan priaku (Y2) (R-square: 87,6 persen, loading factor: 0,420). Advokasi (X3) berpengaruh positif terhadap perubahan prilaku (Y2) (R-square: 79,1 persen, T-statistic: 2,678, loading factor: 0,464).
Implikasi praktis penelitian ini: Pertama, meningkatkan komunikasi kesehatan, dimana informasi yang jelas dan akurat tersedia untuk pasien TB dan masyarakat umum. Kedua, meningkatkan palatihan kader kesehatan, karena kader merupakan kunci dalam upaya penanganan TB. Kader kesehatan harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mendukung pasien dan masyarakat dalam menghadapi TB.
Penelitian lebih lanjut dapat mengevaluasi efektivitas berbagai jenis intervensi dalam penanganan TB, termasuk program advokasi, mobilisasi sosial, dan edukasi. Analisis lebih dalam lagi tentang persepsi pasien dengan mengeksplorasi lebih dalam faktor-faktor yang memengaruhi persepsi pasien TB dan bagaimana faktor-faktor ini dapat diperbaiki untuk meningkatkan hasil pengobatan dan pencegahan penyebaran TB. penelitian lanjut juga dapat memeriksa efektivitas kebijakan kesehatan yang ada dalam penanganan TB, dan apakah ada perubahan yang diperlukan untuk meningkatkan hasil penanganan TB di tingkat lokal, nasional, dan global.
Collections
- DT - Human Ecology [567]