Kajian Potensi Pisang Liar Indonesia dan Pengembangannya untuk Pre-Breeding Perakitan Ketahanan Tanaman terhadap Penyakit Layu Fusarium.
Date
2024Author
Handayani, Tri
Sobir
Witjaksono
Kusumo, Yudiwanti Wahyu Endro
Maharijaya, Awang
Metadata
Show full item recordAbstract
Indonesia diketahui memiliki keragaman genetik yang cukup tinggi baik pada pisang budidaya maupun pisang liar. Spesies pisang liar Musa acuminata, yang merupakan salah satu tetua dari pisang budidaya, dapat ditemukan dari Pulau Sumatra hingga Papua, dengan beragam potensi sifat unggul untuk perbaikan genetik tanaman pisang ke depannya. Pisang liar, terutama dari spesies Musa acuminata, diketahui menjadi salah satu sumber genetik untuk beberapa sifat ketahanan, seperti ketahanan terhadap penyakit layu fusarium yang dapat ditemukan di subspesies malaccensis. Di sisi lain, salah satu penyakit utama pada pisang, yakni penyakit layu fusarium, mengancam produksi pisang komersial.
Berbagai upaya pemuliaan pada tanaman pisang dilakukan untuk mendapatkan varietas tahan sebagai salah satu langkah antisipasi meningkatnya serangan layu fusarium pada tanaman pisang. Penggunaan marka molekuler merupakan salah satu cara untuk mempercepat proses pemuliaan tanaman, dimana penggunaan marka molekuler memungkinkan seleksi tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan pada tahap awal pertumbuhan dan dapat membantu dalam pemetaan gen – gen yang terkait dengan sifat-sifat penting seperti ketahanan terhadap penyakit layu fusarium. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mempelajari keragaman pisang liar, khususnya subspesies dari Musa acuminata yang berasal dari Indonesia, terkait ketahanannya terhadap penyakit layu Fusarium (Foc-TR4) serta potensi pemanfaatannya dalam pra-pemuliaan untuk perakitan varietas baru tahan penyakit layu Fusarium melalui manipulasi sel somatik menggunakan protoplas.
Penelitian dilakukan dalam beberapa kegiatan utama, yaitu: (I) pengembangan marka molekuler MaLRR-RLPs (Musa acuminata Leucine-rich repeat receptor-like protein) untuk identifikasi dan deteksi awal tingkat ketahanan terhadap penyakit layu fusarium pada beberapa aksesi dari subspesies pisang liar dan pisang budidaya; (II) identifikasi potensi embriogenesis serta efisiensi metode induksi dan regenerasi embriogenesis somatik pisang liar baik pada kultur semi-solid (a) maupun melalui kultur suspensi (b); dan (III) efisiensi metode isolasi dan regenerasi protoplas, di mana protoplas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk perbaikan genetik tanaman pisang melalui manipulasi sel somatik.
Materi genetik yang digunakan pada penelitian adalah beberapa subspesies dari pisang liar M. acuminata, di antaranya subspesies malaccensis, microcarpa, sumatrana, breviformis dan beberapa subspesies asal Indonesia lainnya, serta sejumlah kultivar pisang budidaya yang berasal dari kebun koleksi yang ditanam di Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno Cibinong-Bogor.
Hasil penelitian I menunjukkan bahwa satu marka dari gen MaLRR-RLP memiliki potensi sebagai penanda molekuler untuk seleksi (MAS) dalam program pemuliaan pisang. Marka MaLRR-RLP Ma10_p00480.1 dapat digunakan untuk seleksi awal aksesi pisang yang rentan dan tahan fusarium (Foc-TR4) berdasarkan pola pita hasil amplifikasi DNA. Hasil penelitian juga berhasil mengidentifikasi beberapa subspesies dari pisang liar Musa acuminata yang berpotensi dikembangkan lebih lanjut karena sifat ketahanannya terhadap penyakit layu fusarium, di antaranya M. acuminata subspesies malaccensis (MM LIPI-010, MM LIPI-030, MM 104, MM 237), subspesies tomentosa (TM LIPI-172, TM 5E, TM 3C) dan subspesies rutilifes (RT 2C).
Pada kegiatan penelitian IIa, berhasil dikembangkan protokol yang komprehensif untuk menginduksi embriogenesis somatik dan regenerasinya pada subspesies pisang liar malaccensis. Protokol ini menggunakan eksplan embrio zigotik muda yang dikultur pada medium semi-solid. Induksi embriogenesis berhasil dikembangkan pada medium MS yang dimodifikasi dengan penambahan ZPT 2,4-D sebanyak 1 mg L-1 atau picloram sebanyak 5 mg L-1. Tingkat proliferasi kultur embriogenik tertinggi dicapai dengan kombinasi 2,4-D dan picloram masing-masing sebesar 1 mg L-1. Frekuensi peningkatan daya regenerasi embrio somatik menjadi tunas didapatkan dengan penambahan 0,5 mg L-1 BA dan 0,5 mg L-1 GA3 ke dalam medium regenerasi.
Dari hasil penelitian IIb didapatkan informasi bahwa subspesies M. acuminata yang berbeda menunjukkan respons embriogenesis somatik yang bervariasi, mulai dari induksi, proliferasi sel suspensi, hingga pembentukan plantlet. Subspesies malaccensis menunjukkan kompetensi tertinggi dalam regenerasi tanaman, diikuti oleh subspesies microcarpa, sumatrana, dan breviformis. Melalui kultur suspensi, proliferasi embrio somatik pisang liar dapat dipertahankan pada media cair dengan komposisi media yang telah dimodifikasi. Pertumbuhan kultur suspensi yang optimal dilakukan melalui subkultur agregat sel embriogenik berukuran sedang (300 – 1000 µm), dengan kepadatan inokulum 0,3 g per 30 mL media (1% w/v). Kultur embriogenik dari suspensi subspesies malaccensis dan microcarpa mampu membentuk embrio somatik setelah dipindahkan ke media semi-solid untuk diferensiasi embrio somatik dan kemudian membentuk tunas pada media regenerasi tunas.
Pada penelitian III, dengan memanfaatkan sumber materi kultur embriogenesis hasil percobaan sebelumnya, berhasil dilakukan efisiensi isolasi dan regenerasi protoplas pisang liar dari jaringan embriogenik dan non-embriogenik. Sumber protoplas dari jaringan embriogenik didapatkan dari biak embriogenik semi-solid dan kultur suspensi serta dari jaringan non-embriogenik yakni dari jaringan batang semu tunas pedang (ex vitro). Protoplas berhasil diisolasi dengan kisaran hasil 1,0 – 15 x 106 protoplas per gram berat segar. Protoplas yang berasal dari kultur embriogenik berkembang menjadi massa mikrokalus dan proembriogenik dalam waktu 30 hari ketika dikultur dalam media cair yang dimodifikasi.
Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi subspesies M. acuminata lainnya, terutama terkait dengan protokol regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik yang dapat digunakan untuk manipulasi sel somatik dalam kegiatan pra-pemuliaan atau perbaikan genetik pisang ke depannya. Selain itu, hasil penelitian ini juga memberikan alternatif penggunaan marka molekuler MaLRR-RLP Ma10_p00480.1 dalam identifikasi awal tingkat ketahanan tanaman terhadap fusarium sehingga dapat mempercepat kegiatan pemuliaan pada tanaman pisang. Indonesia is known to have high genetic diversity in both cultivated and wild bananas. Species of wild banana Musa acuminata, one of the progenitors of cultivated bananas, can be found from Sumatra to Papua, with a wide range of superior traits for future banana crop improvement. Wild bananas, especially from the species of Musa acuminata, are known to be a genetic source for several resistance traits, such as resistance to fusarium wilt disease found in the subspecies malaccensis. On the other hand, one of the main diseases in bananas, fusarium wilt, threatens commercial banana production.
Various breeding efforts on banana plants are being undertaken to develop resistant varieties as a proactive measure against the increasing incidence of Fusarium wilt. The use of molecular markers is one approach to accelerating plant breeding activities, as it allows for the early selection of plants with desired traits and facilitates the mapping of genes related to important characteristics, such as resistance to Fusarium wilt. Therefore, this research was conducted to study the diversity of wild bananas, particularly from the species Musa acuminata originating from Indonesia, in relation to their resistance to Fusarium wilt (Foc-TR4) and their potential utilization in pre-breeding for the development of new Fusarium wilt-resistant varieties through somatic cell manipulation using protoplasts.
The research was conducted through several main activities: (I) developing MaLRR-RLPs (Musa acuminata Leucine-rich repeat receptor-like protein) molecular markers for identifying and early detection of resistance levels to Fusarium wilt disease in various accessions of wild banana subspecies and cultivated bananas; (II) assessing the embryogenesis potential and the efficiency of induction and regeneration methods of somatic embryogenesis in wild bananas, both in semi-solid culture (a) and suspension culture (b); and (III) evaluating the efficiency of protoplast isolation and regeneration methods, with the resulting protoplasts being utilized for the genetic improvement of banana plants through somatic cell manipulation.
The genetic material used in this study includes several subspecies of wild bananas, M. acuminata, including subspesies malaccensis, microcarpa, sumatrana, breviformis, and several other Indonesian subspecies, as well as several cultivars of cultivated bananas from the collection gardens planted at the Soekarno Science and Technology Area in Cibinong-Bogor.
The results of the first experiment showed that one marker from the MaLRR-RLP gene has potential as a molecular marker for selection (MAS) in banana breeding programs. The MaLRR-RLP Ma10_p00480.1 can be used as a marker for early selection of susceptible and resistant banana accessions based on DNA amplification band patterns. Marker Ma10_p00480.1 identified several subspecies of wild bananas from Musa acuminata that have the potential to be further developed due to their gene resistance to Fusarium wilt disease. These include M. acuminata subspecies malaccensis (MM LIPI-010, MM LIPI-030, MM 104, MM237), subspecies tomentosa, and subspecies rutilifes.
In the second research activity, a comprehensive protocol was successfully developed to induce somatic embryogenesis and its regeneration in the wild banana subspecies malaccensis. This protocol uses immature zygotic embryo explants cultured on semi-solid medium. The induction of embryogenesis was successfully developed on modified MS medium with the addition of 1 mg L-1 2,4-D or 5 mg L-1 picloram. The highest proliferation rate of embryogenic culture was achieved with a combination of 1 mg L-1 2,4-D and 1 mg L-1 picloram. The frequency of increased regeneration capability of somatic embryos into shoots was achieved by adding 0.5 mg L-1 BA and 0.5 mg L-1 GA3 to the regeneration medium.
From the second research activity, it was found that different subspecies of M. acuminata showed varying responses to somatic embryogenesis, from induction and suspension cell proliferation to plantlet formation. The malaccensis subspecies showed the highest competence in plant regeneration, followed by the microcarpa, sumatrana, and breviformis subspecies. Through suspension culture, the proliferation of wild banana somatic embryos can be maintained in a liquid medium with a modified composition. Optimal suspension culture growth was achieved through subculture of medium-sized embryogenic cell aggregates (300–1000 µm), with an inoculum density of 0.3 g per 30 mL of medium (1% w/v). Embryogenic cultures from the suspensions of malaccensis and microcarpa subspecies were able to form somatic embryos after being transferred to a semi-solid medium for somatic embryo differentiation and then formed shoots on the regeneration medium.
In the last research activity, utilizing the embryogenesis culture material from previous experiments, efficient isolation and regeneration of wild banana protoplasts from both embryogenic and non-embryogenic tissues were successfully carried out. Protoplasts from embryogenic tissues were obtained from semi-solid embryogenic cultures and suspension cultures, while non-embryogenic tissues were sourced from the pseudostem of sword suckers (ex vitro). Protoplasts were successfully isolated with yields ranging from 1.0 to 15 x 106 protoplasts per gram of fresh weight. Protoplasts derived from embryogenic cultures developed into microcallus and proembryonic masses within 30 days when cultured in modified liquid medium.
These findings can serve as a valuable reference for regeneration protocols through somatic embryogenesis in other M. acuminata subspecies. These protocols can be applied for future somatic cell manipulation in banana pre-breeding or genetic improvement programs. Additionally, the study offers an alternative approach using molecular markers MaLRR-RLP Ma10_p00480.1 for early identification of plant resistance to Fusarium wilt, potentially accelerating banana breeding activities.
Collections
- DT - Agriculture [752]