Upaya Peningkatan Kualitas Bibit Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.): Identifikasi Pohon Induk, Poliploidisasi dan Perbanyakan Tanaman.
Date
2024Author
Riastiwi, Indira
Ratnadewi, Yuliana Maria Diah
Witjaksono
Siregar, Ulfah Juniarti
Metadata
Show full item recordAbstract
Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) adalah tanaman yang berasal dari India yang terkenal dengan kayu berkualitas tinggi setara dengan kayu jati, digunakan dalam industri mebel kelas atas, serta memiliki ketahanan terhadap serangan rayap dan jamur. Populasi alami sonokeling di Indonesia menurun secara drastis karena pemanenan berlebihan dan pada IUCN sonokeling tergolong rentan. Hal ini mendorong upaya perlindungan melalui regulasi perdagangan CITES sejak 2017 untuk membatasi kuota. Meskipun pembatasan pemanenan dan perdagangan oleh CITES menyebabkan mahalnya harga kayu sonokeling, budidaya sonokeling masih sporadis di lakukan oleh masyarakat.
Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengembangkan suatu program perbaikan kualitas dan kuantitas bibit sonokeling dalam upaya budidaya dan produksi kayu sonokeling yang berkelanjutan melalui produksi bibit unggul skala besar secara vegetatif. Penelitian dilakukan dalam beberapa kegiatan utama, yaitu: (1) Pemuliaan pohon sonokeling melalui seleksi pohon plus secara konvensional berdasarkan karakter morfologi didukung studi keragaman genetik molekular di DI Yogyakarta; (2) upaya manipulasi jumlah kromosom melalui induksi poliploidi sonokeling menggunakan orizalin untuk mendapatkan bibit sonokeling tetraploid; (3) pengembangan metode vegetatif ex vitro sonokeling dengan setek akar yang efektif dan efisien, dan (4) Pengembangan metode perbanyakan in vitro sonokeling dengan kultur tunas maupun kultur suspensi sel.
Pada penelitian pertama, identifikasi dan seleksi pohon plus dilakukan di empat kabupaten DI Yogyakarta, yaitu Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo, dan Sleman. Identifikasi pohon plus dilakukan dengan skoring morfologi pohon terpilih yang dibandingkan dengan 5 pohon di sekitarnya. Dari empat kabupaten yang disurvey diidentifikasi 61 kandidat pohon plus. Keragaman genetik populasi pohon tersebut dianalisa menggunakan marka molekuler ISSR dengan 10 primer. Pengelompokan populasi berdasarkan jarak genetik dan PCA menunjukkan bahwa populasi membentuk 3 klaster yaitu Kulon Progo, Sleman, dan Bantul yang bersatu dengan Gunungkidul. Seleksi pohon plus dilakukan mengambil pohon terbaik dari data distribusi frekuensi skoring pada persentil 90%, dan diperoleh 8 pohon plus terbaik.
Dengan mempertimbangkan hasil studi keragaman genetik dan dendrogram jarak genetik, proses seleksi dari 8 pohon plus menghasilkan 6 pohon plus yang mewakili morfologi terbaik dari masing-masing empat kabupaten di DI Yogyakarta. Pohon plus yang telah diseleksi ini dapat dijadikan pohon induk, atau sumber perbanyakan vegetatif bibit sonokeling dan dapat disertifikasi oleh pihak yang berwenang seperti Dinas kehutanan dan PEMDA setempat.
Pada penelitian kedua, induksi poliploidi dilakukan dengan merendam kecambah dari benih sonokeling yang berasal dari Ngawi, dalam larutan orizalin dengan konsentrasi 0, 3,75, 7,5, 15, 30, 45 dan 120 µM dan lama perendaman 12 dan 24 jam. Perendaman kecambah selama 12 dan 24 jam dalam 15 µM orizalin, menghasilkan 2 bibit tetraploid dan 7 bibit mixoploid sonokeling. Status ploidi dari tanaman tetraploid dan mixoploid telah dikonfirmasi dengan flow cytometer. Tanaman tetraploid tersebut juga memiliki daun yang lebih tebal, ukuran stomata yang lebih besar, dan kerapatan stomata yang lebih rendah dibandingkan tanaman diploidnya. Sampai umur pengamatan terakhir 18 bulan, tanaman tetraploid tidak menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dari tanaman diploid dan morfologi gigantisme seperti yang diharapkan. Kemungkinan penyebabnya adalah genotipe bibit yang dipakai dalam percobaan belum diketahui mutu dan superioritasnya, karena berasal dari biji hasil perkawinan acak pada populasi sonokeling di daerah Ngawi. Bila gen-gen dalam kromosom inferior maka meskipun diperbanyak tidak akan menghasilkan fenotipe yang superior. Selain itu, pertumbuhan kecambah dan tanaman juvenil sonokeling yang lambat mungkin belum dapat mengekspresikan pertumbuhan cepat dan sifat gigantisme pada tanaman tetraploid. Pemeliharaan optimal untuk pertumbuhan dan pengamatan morfologi lebih lanjut terhadap bibit poliploid perlu dilakukan.
Penelitian ketiga, yaitu penelitian optimasi teknik pembibitan dengan setek akar yang berasal dari DI Yogyakarta. Beberapa percobaan untuk mendapatkan efisiensi yang lebih tinggi yang meliputi ukuran setek 5 dan 10 cm, pelukaan dan tanpa pelukaan pada setek akar, penggunaan zat pengatur tumbuh, serta kombinasi komposisi medium sekam: pasir: cocopeat: tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setek dengan ukuran 10 cm panjang dan diameter 2–5 cm berhasil tumbuh menjadi bibit sonokeling dengan tingkat keberhasilan sebesar 73%. Medium tanam setek dengan komposisi sekam: pasir: cocopeat: tanah dengan perbandingan 1:2:1:1 merupakan komposisi media terbaik yang menghasilkan pertumbuhan tunas tertinggi.
Penelitian keempat, yaitu percobaan optimasi pertumbuhan tunas dengan berbagai formulasi garam makro menunjukkan bahwa pertumbuhan tunas sonokeling terbaik diperoleh pada medium dengan formulasi MS 3:1, yaitu modifikasi dari media MS dengan rasio nitrat:amonium 3:1 yang diperoleh dengan menurunkan konsentrasi NH4NO3 dari 1,6 g/L menjadi 1,2 g/L dan meningkatkan konsentrasi KNO3 dari 1,9 menjadi 3 g/L. Selanjutnya menginduksi embriogenesis somatik dan regenerasi pada sonokeling. Tingkat proliferasi kultur suspensi tertinggi berhasil dilakukan pada medium modifikasi MS 3:1 dengan penambahan ZPT 2,4-D sebanyak 5 mg/L dan picloram sebanyak 3 mg/L. Suspensi sel terdiri dari sel parenkim memanjang, sel bulat, dan kumpulan sel yang menyerupai massa pro embrionik. Protokol ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perbanyakan in vitro sonokeling.
Secara keseluruhan penelitian yang dilakukan dapat menjadi referensi atau dasar perbaikan kualitas dan kuantitas produksi bibit unggul sonokeling yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi kayu untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, juga membantu upaya konservasi tanaman sonokeling di Indonesia. Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) is a plant native to India, renowned for its high-quality wood comparable to teak, used in the high-end furniture industry, and resistant to termite and fungal attacks. The natural population of sonokeling in Indonesia has drastically declined due to overharvesting, and it is classified as vulnerable by the IUCN. This has prompted protective measures through CITES trade regulations since 2017 to limit quotas. Although CITES restrictions on harvesting and trade have driven up the price of sonokeling wood, its cultivation is still sporadically practiced by the community.
The general objective of this research is to develop a program to improve the quality and quantity of sonokeling seedlings to support sustainable cultivation and wood production through large-scale vegetative propagation of superior seedlings. The research is conducted through several main activities: (1) Breeding sonokeling trees through conventional plus tree selection based on morphological characteristics supported by molecular genetic diversity studies in Yogyakarta; (2) manipulating chromosome numbers through the induction of polyploidy in sonokeling using oryzalin to produce tetraploid seedlings; (3) developing an effective and efficient ex vitro vegetative propagation method for sonokeling using root cuttings, and (4) developing an in vitro propagation method for sonokeling through shoot culture and cell suspension culture.
In the first study, identification and selection of plus trees were conducted in four districts of Yogyakarta: Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo, and Sleman. Plus tree identification was done by scoring the morphology of selected trees compared to five surrounding trees. From the surveyed districts, 61 candidate plus trees were identified. The genetic diversity of these tree populations was analyzed using ISSR molecular markers with 10 primers. Population clustering based on genetic distance and PCA showed three clusters: Kulon Progo, Sleman, and Bantul-Gunungkidul. Plus tree selection was based on the best trees from the frequency distribution scoring data at the 90th percentile, resulting in the selection of 10 best plus trees. Considering the results of the genetic diversity study and the genetic distance dendrogram, the selection process reduced the number of plus trees from 8 to 6, representing the best morphology from each of the four districts in Yogyakarta. These selected plus trees can serve as parent trees or sources for vegetative propagation of sonokeling seedlings and can be certified by authorities such as the Forestry Department and local government.
In the second study, polyploidy induction was conducted by soaking sonokeling seedlings from Ngawi seeds in oryzalin solution at concentrations of 0, 3.75, 7.5, 15, 30, 45, and 120 µM for 12 and 24 hours. Soaking seedlings for 12 and 24 hours in 15 µM oryzalin produced 2 tetraploid and 7 mixoploid sonokeling seedlings. The ploidy status of the tetraploid and mixoploid plants was confirmed using a flow cytometer. Tetraploid plants had thicker leaves, larger stomata size, and lower stomata density compared to diploid plants. Up to the last observation at 18 months, tetraploid plants did not show faster growth or gigantism morphology as expected. This might be due to the unknown quality and superiority of the genotypes used in the experiment, as they were from random mating seeds in the Ngawi sonokeling population. If the genes in the chromosomes are inferior, even propagation will not produce superior phenotypes. Additionally, the slow growth of sonokeling seedlings and juvenile plants might not yet express the rapid growth and gigantism traits in tetraploid plants. Optimal maintenance and further morphological observations of polyploid seedlings are necessary.
The third study focused on optimizing root cutting propagation techniques from Yogyakarta. Various experiments to achieve higher efficiency included root cutting sizes of 5 and 10 cm, wounding and non-wounding of root cuttings, the use of growth regulators, and combinations of planting medium compositions (rice husk: sand: cocopeat: soil). Results showed that 10 cm long cuttings with a diameter of 2–5 cm successfully grew into sonokeling seedlings with a 73% success rate. The best planting medium composition for root cuttings was rice husk: sand: cocopeat: soil in a ratio of 1:2:1:1, producing the highest shoot growth.
The fourth study involved optimizing shoot growth using various macro salt formulations, showing the best sonokeling shoot growth in MS 3:1 medium, a modification of MS medium with a nitrate:ammonium ratio of 3:1 achieved by reducing NH4NO3 concentration from 1.6 g/L to 1.2 g/L and increasing KNO3 concentration from 1.9 g/L to 3 g/L. Further steps included inducing somatic embryogenesis and regeneration in sonokeling. The highest proliferation rate in cell suspension culture was achieved in MS 3:1 medium with the addition of 5 mg/L 2,4-D and 3 mg/L picloram. The cell suspension consisted of elongated parenchyma cells, round cells, and clusters resembling proembryonic masses. This protocol is expected to enhance the efficiency and effectiveness of in vitro sonokeling propagation. Overall, this research can serve as a reference or foundation for improving the quality and quantity of superior sonokeling seedlings, ultimately boosting wood production to meet societal needs and aiding in the conservation of sonokeling in Indonesia.