Pengembangan Model Peringatan Dini Demam Dengue Berbasis Iklim di Wilayah Endemis - Indonesia/The Development of Dengue Fever Early Warning Model Based on Climate Parameter in Endemic Areas - Indonesia
Date
2024Author
Mamenun
Koesmaryono, Yonny
Hidayati, Rini
Sopaheluwakan, Ardhasena
Dasanto, Bambang Dwi
Metadata
Show full item recordAbstract
Demam dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui nyamuk. Penyakit ini dapat menyebabkan risiko kesehatan yang fatal terhadap manusia. Di Indonesia, jumlah kasus demam dengue terus meningkat sejak pertama kali ditemukan hingga saat ini. Iklim merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kejadian demam dengue. Iklim memiliki peran signifikan dalam mendukung ketersediaan lingkungan yang cocok untuk perkembangan hidup nyamuk, mulai dari telur, larva, pupa, hingga nyamuk dewasa. Penelitian hubungan antara model prediksi demam dengue dengan parameter iklim telah banyak dilakukan di Indonesia, namun penelitian tersebut masih bersifat sporadis dan hanya dilakukan pada lokasi tertentu. Penelitian komprehensif yang mencakup wilayah luas (skala nasional) dalam menentukan parameter iklim dominan terhadap kejadian kasus demam dengue belum dilakukan. Pada skala nasional, identifikasi wilayah endemis demam dengue sangat krusial untuk memetakan wilayah prioritas pengendalian penyakit ini.
Penelitian ini dimulai dengan melakukan orientasi penelitian yang dituangkan pada Bab 1 dan Bab 2. Penelusuran tinjauan pustaka sistematis dirinci secara detil pada Bab 2 untuk menentukan state of the art dan gap penelitian terkait hubungan kejadian demam dengue dan parameter iklim untuk wilayah Indonesia selama 10 tahun terakhir. Penelitian keterkaitan antara kasus demam dengue terhadap iklim pada wilayah yang luas, tingkat kekeringan, ketinggian tempat, pola hujan, mobilisasi manusia, iklim regional, pola spasial-temporal, serta analisis risiko kejadian demam dengue di masa depan belum banyak terungkap di Indonesia.
Pada Bab 3, penentuan wilayah endemis demam dengue secara nasional dilakukan dengan menggunakan teknik clustering berdasarkan angka kejadian atau Incidence Rate/IR dan kepadatan kasus. Teknik clustering tersebut menghasilkan pembagian kelompok wilayah dalam cluster 1, 2, 3 dan 4. Cluster 1 dan 2 merupakan wilayah dengan prioritas tinggi untuk pencegahan dan pengendalian kejadian demam dengue. Wilayah yang termasuk dalam cluster 1 berjumlah 11 kabupaten/kota dengan kepadatan kasus tinggi, angka kejadian menengah hingga tinggi, dan memiliki luas wilayah yang relatif kecil. Cluster 2 terdiri atas 25 kabupaten/kota dengan wilayah relatif lebih luas dengan kepadatan kasus rendah dan angka kejadian tinggi. Wilayah yang termasuk dalam cluster 3 merupakan wilayah dengan prioritas menengah yang terdiri atas 117 kabupaten/kota. Cluster 4 termasuk wilayah dengan prioritas rendah yang terdiri atas 344 kabupaten/kota.
Analisis spasial dan temporal kejadian demam dengue dan penentuan parameter iklim secara nasional menggunakan teknik dekomposisi data berpasangan, Singular Value Decomposition (SVD), dijelaskan secara detil pada Bab 4. Hasil SVD menunjukkan bahwa kelembapan udara memiliki nilai kovarian paling tinggi pada mode pertama di semua cluster wilayah endemis. Pada cluster 1 diperoleh nilai korelasi tertinggi antara mode pertama iklim dan mode pertama IR terdapat pada kelembapan udara. Pada cluster 2 dan cluster 3 diperoleh pada curah hujan dan suhu rata-rata, sedangkan pada cluster 4 nilai korelasi tertinggi terdapat pada curah hujan. Pada mode 1 IR di seluruh cluster menunjukkan pola temporal demam dengue lebih jelas mengikuti pola mode 1 curah hujan dan kelembapan, sedangkan suhu mempunyai pola sebaliknya.
Teknik SVD juga menggambarkan keterkaitan kejadian demam dengue terhadap parameter iklim dominan di setiap cluster yang ditentukan dari nilai korelasi heterogen antara mode setiap parameter iklim dan angka IR. Pola spasial korelasi heterogen antara mode pertama kelembapan dan mode pertama curah hujan terhadap IR mempunyai nilai yang lebih tinggi dan dominan diperoleh di setiap cluster dibandingkan mode pertama suhu udara. Hasil tersebut menunjukkan bahwa curah hujan dan kelembapan udara merupakan parameter iklim paling dominan dalam memengaruhi kejadian demam dengue di wilayah Indonesia. Korelasi heterogen curah hujan dan kelembapan udara dominan positif tersebut diperoleh di pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatera bagian timur, Kalimantan bagian selatan dan beberapa kabupaten/kota di Sulawesi bagian tenggara dan utara.
Pada Bab 5, pemodelan prediksi demam dengue dilakukan pada perwakilan wilayah dengan prioritas tinggi dan pola hujan monsunal, ekuatorial, dan lokal. Kriteria pemilihan model menggunakan nilai p-value <0,05 untuk setiap prediktor model. Penentuan model terbaik menggunakan kombinasi kriteria nilai Akaike terendah, koefisien determinasi tertinggi atau nilai bias terendah. Hasil pemilihan model terbaik menunjukkan kelembapan udara dan jumlah kasus pada satu bulan sebelumnya merupakan prediktor penyusunan model yang memenuhi kriteria tersebut. Jeda waktu kelembapan udara yang digunakan bervariasi di setiap lokasi antara 1 hingga 3 bulan. Jumlah kasus demam dengue menggunakan jeda waktu 1 bulan sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ketersediaan virus di alam masih berpotensi ditularkan pada manusia.
Hasil perbandingan seluruh model terpilih di semua lokasi menunjukkan bahwa wilayah dengan pola hujan monsunal memiliki nilai koefisien determinasi lebih tinggi dan nilai bias lebih rendah dibandingkan dengan wilayah pola ekuatorial dan lokal. Dengan demikian, kasus demam dengue lebih mudah diprediksi di wilayah dengan pola hujan monsunal. Hasil verifikasi model prediksi terbaik ditunjukkan dengan pola jumlah kasus hasil model mengikuti jumlah kasus aktual dengan nilai bias cukup rendah.
Kebaruan yang diunggulkan pada penelitian ini, yaitu (1) pemetaan wilayah endemis demam dengue secara nasional dengan prioritas tinggi, menengah, dan rendah untuk pencegahan demam dengue, (2) karakteristik spasial – temporal kejadian demam dengue serta parameter iklim dominan di seluruh wilayah Indonesia, dimana kelembapan udara dan curah hujan menjadi parameter iklim dominan dalam memengaruhi kejadian demam dengue, dan (3) pengembangan model prediksi demam dengue di wilayah prioritas tinggi dan pola hujan berbeda, dimana pada wilayah dengan pola hujan monsunal kejadian demam dengue lebih mudah diprediksi. Kebaruan ini dapat dimanfaatkan dalam mendukung pencapaian penyediaan informasi iklim berbasis dampak (impact-based forecast) untuk sektor kesehatan serta pengembangan sistem peringatan dini demam dengue. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan untuk aksi pencegahan kejadian luar biasa demam dengue oleh instansi pemerintah dan nonpemerintah.
Kata kunci: demam dengue, iklim, incidence rate, Indonesia, wilayah endemis Dengue fever is a vector-borne disease caused by a virus and transmitted by mosquitoes. This disease poses significant health risk to human life. In Indonesia, dengue fever cases have increased since firstly found in 1968 until recent years. Climate has a significant role in supporting a suitable environment for vector’s life cycle, from egg, larva, pupa, until adult. Research on the relationship and prediction model for dengue fever using climate parameters has been widely conducted in Indonesia. However, this research is still sporadic and only carried out in specific locations. Research that includes macro or national scales to determine the dominant climate parameters influencing dengue fever has never been carried out. Identifying endemic areas for dengue fever on a national scale is crucial for mapping priority areas to control this disease.
In this study, we start to conduct the research orientation which had been described in Chapter 1 and 2. A systematic literature review in Chapter 2 has been conducted to assess the current status of research and identify any existing gaps. Our focus was on studies related to the relationship between dengue incidence and climate factors, and dengue model predictions in Indonesia over the past decade. By comparing this research with global studies, we highlighted areas in Indonesia that require further development. The systematic literature review resulted several key insights, which could be significant findings. The comparison with global research emphasized several areas that have not been extensively explored in Indonesia. These include studies on the relationship between dengue cases and climate parameters on a macro scale, level of drought, elevation, human mobilization, regional climate, spatial-temporal pattern, and also the analysis of dengue incidence risk.
In Chapter 3, the identification of dengue endemic areas on a national scale has been conducted by using the utilization of clustering techniques based on the incidence rate or IR and dengue case density. This method leads to the classification of the dengue endemic areas into cluster 1, 2, 3 and 4. Cluster 1 and 2 are given as high priority areas for dengue prevention and control. Cluster 1 comprises 11 districts and cities characterized by high case density, medium to high incidence rates, and relatively have small areas. Cluster 2 encompasses a broader area with low case density and high incidence rates, consisting of 25 districts and cities. Cluster 3 includes 117 medium-priority districts and cities. Lastly, Cluster 4 comprises 344 low-priority districts and cities.
The study conducted a national-scale spatial and temporal analysis of dengue incidence and its relationship with climate parameters using Singular Value Decomposition (SVD) paired data decomposition techniques (Chapter 3). The results of SVD showed that air humidity had the highest covariance value in the first mode across all endemic clusters. The first mode revealed the highest correlation between air humidity and incidence rate in cluster 1. In clusters 2 and 3, the highest correlation in the first mode was found between the incidence rate and climate parameters like rainfall and average temperature, while in cluster 4, the highest correlation was associated with rainfall. The SVD technique also identified the dominant temporal pattern of dengue incidence. It was observed that the first mode of incidence rate in all clusters aligned with the first mode of rainfall and air humidity, while the first mode of temperature displayed a different pattern.
The SVD highlighted the heterogeneous correlations between the modes of each climate parameter and incidence rate in each cluster, describing the dependence of dengue incidence on dominant climate factors. The spatial patterns of correlations also indicated that rainfall and air humidity were the dominant climate parameters influencing dengue incidence in Indonesia, with the highest and dominant correlations found in Java, Bali, Nusa Tenggara, Eastern part of Sumatra, Southern part of Kalimantan, and several regencies/cities in Southeastern and Northern part of Sulawesi.
In Chapter 5, dengue fever prediction modeling was conducted on representatives of high-priority areas with different rainfall patterns (monsoonal, equatorial, and local). The model selection criteria use a p-value < 0,05 for each predictor included in the model. We employ a combination of criteria including the lowest Akaike value, the highest coefficient of determination, and the lowest bias value, to determine the best dengue’s model prediction. The result of the best model selection shows that air humidity and the number of cases in the previous month serve as predictors in constructing a model that aligns with these criteria. Notably, the time lag for air humidity varies between 1, 2, and 3 months at each location. Furthermore, the number of dengue fever cases exhibits a time lag of 1 month, indicating the virus still has the potential to be transmitted to human. The comparison results of all selected models across various locations indicate that regions with monsoonal patterns exhibit higher coefficients of determination and lower bias values compared to regions with equatorial and local patterns. Therefore, it is easier to predict dengue fever cases in areas with monsoonal patterns.
This research has produced novelties that can serve as a foundation for implementing dengue fever prevention and control programs by policymakers, health workers, and community. The key findings include : (1) mapping of dengue fever endemic areas across the nation, categorizing them into high, medium, and low priority for dengue fever control, (2) identification of the spatial-temporal patterns of dengue fever incidence, as well as the dominant climate parameters throughout Indonesia, which resulted humidity and rainfall are the primary climate parameters influencing the incidence of dengue fever, (3) development of a prediction model for dengue fever in high priority areas under different rainfall patterns. The model shows that in areas with monsoonal rainfall patterns, the incidence of dengue fever is more predictable. These findings can be leveraged to support the provision of impact-based climate information (impact-based forecast) for the health sector and to develop dengue early warning system. The information obtained from this system can be used by government and non-government agencies to prevent the outbreak of dengue.
Keywords: climate, dengue, endemic area, incidence rate, Indonesia