Toleransi Kekeringan pada Talas (Colocasia esculenta (L.)Schott) Diploid, Triploid dan Tetraploid
Date
2024Author
Wulansari, Aida
Purwito, Agus
Sukma, Dewi
Wulandari,, Dyah Retno
Metadata
Show full item recordAbstract
Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) telah lama dikenal masyarakat sebagai salah satu sumber pangan lokal sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif. Pengembangan talas untuk peningkatan produktivitas dan adaptasi terhadap lahan kering sebagai dampak perubahan iklim dan pemanasan global perlu dilakukan guna mendukung ketahananan pangan nasional. Poliploidisasi dapat menjadi salah satu metode untuk pemuliaan talas yang terkendala oleh pembungaan untuk hibridisasi talas. Klon-klon talas tetraploid hasil induksi poliploidisasi berpeluang besar untuk dilepas sebagai varietas unggul. Perubahan jumlah kromosom berpengaruh terhadap karakteristik morfologi, anatomi, fisiologi, dan molekuler tanaman. Poliploid menunjukkan efek gigas melalui peningkatan ukuran sel akibat tambahan salinan gen yang mengarah pada peningkatan produksi, perubahan kandungan metabolit sekunder, peningkatan karakter agronomi serta toleransi terhadap cekaman lingkungan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi karakter morfologi, anatomi, molekuler, tingkat toleransi serta metabolit klon-klon talas diploid, triploid, dan tetraploid yang terkait toleransi terhadap cekaman kekeringan. Penelitian ini terdiri atas empat percobaan. Percobaan pertama yaitu karakterisasi morfologi, anatomi dan molekuler klon-klon talas diploid, triploid dan tetraploid. Percobaan kedua adalah uji toleransi kekeringan secara in vitro menggunakan PEG (polyethylene glycol). Percobaan ketiga adalah uji toleransi kekeringan secara in vivo di rumah kaca dengan perlakuan interval penyiraman. Percobaan keempat adalah analisis profil metabolit talas pada kondisi cekaman kekeringan di rumah kaca berdasarkan analisis pyrolysis GCMS. Klon-klon talas yang diuji yaitu klon Bentul diploid, Bentul tetraploid, Kaliurang diploid, Kaliurang tetraploid dan Bolang triploid. Klon Bentul tetraploid dan Kaliurang tetraploid merupakan hasil induksi poliploid, sedangkan klon Bolang triploid merupakan hasil mutasi secara alami.
Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa keragaman habitus tanaman, helai daun, petiol dan stolon atau sucker yang terkait dengan tingkat ploidi. Analisis klaster karakter morfologi menghasilkan keragaman sebesar 32 %. Karakterisasi anatomi menunjukkan bahwa perbedaan tingkat ploidi mempengaruhi ketebalan organ dan jaringan tetapi tidak mengubah komposisi jaringan daun, petiol dan akar. Karakterisasi molekuler menggunakan primer ISSR menunjukkan persentase polimorfisme 100 % pada primer UBC-22, UBC-64 dan UBC-65. Analisis keragaman terhadap 91 pita polimorfik menghasilkan keragaman sebesar 20 %. Beberapa fragmen DNA yang spesifik telah dihasilkan dari ketiga primer tersebut yang dapat digunakan untuk pengembangan seleksi molekuler pada talas diploid dan poliploid.
Uji toleransi kekeringan secara in vitro menggunakan PEG menghambat pertumbuhan dan mempengaruhi fisiologi kultur tunas talas. Penurunan relatif 50 % ditunjukkan pada konsentrasi PEG 10 % sebagai ambang batas konsentrasi untuk uji toleransi dan penentuan sensitivitas kekeringan talas secara in vitro. Hasil uji toleransi menunjukkan karakter seleksi yang berkorelasi positif dan kuat adalah panjang petiol, jumlah akar, bobot segar dan bobot kering, kandungan fenolik total, kandungan prolin, kadar air, dan kerusakan membran. Berdasarkan nilai indeks sensitivitas kekeringan, klon diploid termasuk kategori sensitif sedangkan klon tetraploid dan triploid termasuk kategori moderat. Cluster heatmap memisahkan klon-klon talas dalam tiga kelompok sesuai tingkat ploidinya.
Uji toleransi kekeringan secara in vivo di rumah kaca menggunakan perlakuan interval penyiraman menunjukkan pertumbuhan tanaman yang terhambat dan mempengaruhi respon fisiologinya. Penurunan relatif 50 % ditunjukkan oleh interval penyiraman tujuh hari sekali sebagai ambang batas interval penyiraman untuk uji toleransi dan penentuan sensitivitas kekeringan talas secara in vivo di rumah kaca. Karakter seleksi yang berkorelasi positif dan kuat adalah jumlah daun, jumlah anakan, diameter pangkal petiol, bobot segar dan bobot kering tanaman, tajuk, umbi, jumlah akar, panjang akar dan bobot kering akar. Berdasarkan nilai indeks sensitivitas kekeringan, klon diploid termasuk kategori sensitif sedangkan klon tetraploid dan triploid termasuk kategori moderat. Cluster heatmap membagi lima klon talas dalam tiga kelompok sesuai tingkat ploidinya.
Uji toleransi secara in vivo dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil uji toleransi secara in vitro, sehingga untuk mengetahui signifikansi antara kedua metode uji toleransi tersebut, maka dilakukan uji t-independent. Uji t-independent menghasilkan p-value: 0,2971 yang artinya tidak ada perbedaan antara uji toleransi secara in vitro dan secara in vivo. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menilai korelasi antara kedua metode uji. Analisis korelasi Pearson menghasilkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,82 yang artinya kedua metode uji memiliki korelasi positif dan kuat. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka uji toleransi secara in vitro dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat toleransi atau sensitivitas talas terhadap cekaman kekeringan. Uji toleransi secara in vitro dapat memberikan informasi awal tentang respon tanaman terhadap cekaman lingkungan.
Analisis metabolomik menggunakan py-GCMS berhasil mendeteksi 205 metabolit tanaman talas pada kondisi kontrol dan cekaman. Perbedaan tingkat ploidi mempengaruhi tingkat toleransi setiap klon talas yang diuji serta perlakuan cekaman kekeringan mempengaruhi komposisi metabolit yang terdeteksi. Terdapat 21 metabolit yang terkait dengan toleransi tanaman talas terhadap perlakuan cekaman kekeringan, tiga metabolit diantaranya (glycolaldehyde dimer, neophytadiene dan diethyl oxalate) menunjukkan korelasi yang kuat terhadap karakter jumlah daun, panjang akar, jumlah akar, dan diameter pangkal petiol. Glycolaldeyde dimer berkorelasi positif dengan jumlah daun (r=0,94), neophytadiene berkorelasi positif dengan panjang akar (r= 0,84), sedangkan diethyl oxalate berkorelasi negatif dengan diameter pangkal petiol (r= -0,98) dan jumlah akar (r= -0,82). Berdasarkan data metabolit yang telah diperoleh, maka metabolit glycolaldehyde dimer dan neophytadiene dapat digunakan sebagai kontrol positif sedangkan metabolit diethyl oxalate dapat digunakan sebagai kontrol negatif untuk seleksi talas toleran cekaman kekeringan. Taro (Colocasia esculenta (L.) Schott) has long been recognized by the community as a local food source, and thus has the potential to be developed as an alternative food. To increase productivity and adaptation to drylands because of climate change and global warming, taro development must be undertaken to support national food security. Polyploidization represents a potential method for taro breeding, although it is constrained by the requirement for flowering in taro hybridization. Tetraploid taro clones resulting from polyploidization induction have the potential to be released as superior varieties. Changes in chromosome number have been demonstrated to affect the morphological, anatomical, physiological, and molecular characteristics of plants. Polyploids exhibit a gigas effect, characterized by increased cell size due to the presence of additional gene copies, which results in enhanced production, alterations in secondary metabolite content, improvements in agronomic traits, and tolerance to environmental stress.
The objective of this study was to evaluate the morphological, anatomical, molecular, tolerance level, and metabolites of diploid, triploid, and tetraploid taro clones associated with tolerance to drought stress. The research was conducted in four experiments. The first experiment of the study involved the morphological, anatomical, and molecular characterization of diploid, triploid, and tetraploid taro clones. The second experiment of the experiment involved a drought tolerance test in vitro using polyethylene glycol (PEG). The third experiment was the in vivo drought tolerance test in the greenhouse with a watering interval treatment. The fourth experiment was the analysis of taro metabolite profiles under drought stress conditions in the greenhouse based on pyrolysis GCMS analysis.
The results of the characterization study indicate that the diversity of plant habitus, leaf blade, petiole, and stolon or sucker was related to the level of ploidy. A cluster analysis of the morphological characters yielded a diversity of 32 %. Anatomical characterization revealed that different levels of ploidy affected organ and tissue thickness, but did not alter leaf, petiole, and root tissue composition. Molecular characterization using ISSR primers revealed a 100 % polymorphism rate for primers UBC-22, UBC-64, and UBC-65. The analysis of 91 polymorphic bands yielded a diversity index of 20 %. Several specific DNA fragments have been generated from the three primers, which can be employed in the development of molecular selection in diploid and polyploid taro.
The in vitro drought tolerance test using PEG inhibits growth and affects the physiology of taro shoot culture. A relative decrease of 50 % was shown by a threshold concentration of 10 % PEG as the concentration for a tolerance test and the determination of drought sensitivity of taro in vitro. The results of the tolerance test demonstrated that the selection characters that exhibited a positive and strong correlation were petiole length, number of roots, fresh weight, dry weight, total phenolic content, proline content, moisture content, and membrane damage. The drought sensitivity index value was employed to categorize the clones, with diploid clones classified as sensitive, tetraploid and triploid clones classified as moderate. The cluster heatmap divided the taro clones into three groups according to their ploidy level.
In vivo drought tolerance tests conducted in a greenhouse using watering intervals demonstrated a significant inhibition of plant growth and a corresponding alteration in physiological responses. A relative decrease of 50% was observed in the seven-day watering interval, which was identified as the threshold interval for the tolerance test and determination of drought sensitivity of taro in vivo in the greenhouse. The selection characters that were positively and strongly correlated included the number of leaves, number of tillers, petiole base diameter, fresh weight and dry weight of plants, shoots, tubers, number of roots, root length and root dry weight. The drought sensitivity index value was employed to categorize the clones, with diploid clones classified as sensitive, tetraploid, and triploid clones classified as moderate. The cluster heatmap divided the five taro clones into three groups according to their ploidy level.
The in vivo tolerance test was conducted to confirm the results of the in vitro tolerance test. The objective was to determine the significance between the two tolerance test methods. To this end, an independent t-test was conducted. The t-independent test yielded a p-value of 0.2971, indicating that there is no statistically significant difference between the in vitro and in vivo tolerance tests. Further analysis was conducted to assess the correlation between the two test methods. A Pearson correlation analysis yielded a correlation coefficient value of 0.82, indicating a positive and strong correlation between the two test methods. The results of this analysis indicate that the in vitro tolerance test can be employed to estimate the level of tolerance or sensitivity of taro to drought stress. In vitro tolerance tests can provide preliminary information about the plant responses to environmental stress.
Metabolomic analysis, conducted using py-GCMS, successfully identified 205 metabolites in taro plants subjected to control and stress conditions. The ploidy level of each taro clone exhibited a differential impact on its tolerance level, while the drought stress treatment influenced the composition of the metabolites detected. A total of 21 metabolites have been identified as being associated with the tolerance of taro plants to drought stress treatment. Of these, three (glycolaldehyde dimer, neophytadiene and diethyl oxalate) show a strong correlation with the number of leaves, root length, number of roots, and petiole base diameter. The glycolaldehyde dimer is positively correlated with the number of leaves (r = 0.94), neophytadiene is positively correlated with root length (r = 0.84), while diethyl oxalate is negatively correlated with petiole base diameter (r = -0.98) and number of roots (r = -0.82). The metabolite data obtained can be used to identify glycolaldehyde dimer and neophytadiene as positive controls for drought stress tolerance in taro, while diethyl oxalate can be used as a negative control.
Collections
- DT - Agriculture [752]