Dinamika Sistem Karbonat Laut di Kepulauan Indonesia
Date
2024Author
Afdal
Bengen, Dietriech Geoffrey
Koropitan, Alan Frendy
Wahyudi, Aan Johan
Rastina
Metadata
Show full item recordAbstract
Penyerapan karbondioksida (CO2) oleh laut akibat peningkatan konsentrasi CO2 atmosfer diketahui menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi air laut yaitu peningkatan total CO2, bikarbonat (HCO3-), dan ion H+, dan menurunkan konsentrasi karbonat (CO32-) dan pH, yang disebut sebagai pengasaman laut. Hal ini menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap ekosistem pesisir, organisme laut dan jutaan orang yang bergantung pada perlindungan pesisir, perikanan, dan budidaya perairan. Dampak pengasaman laut terhadap perairan pesisir Indonesia, dan respons ekosistem pesisir seperti terumbu karang dan lamun terhadap pertukaran CO2 laut-udara di Kepulauan Indonesia, masih belum diketahui. Wilayah Indonesia yang luas dan terdiri dari banyak pulau yang dikelilingi oleh kedalaman laut yang bervariasi mengakibatkan kondisi hidro oseanografi yang dinamis di perairan pesisir dan laut baik secara spasial maupun temporal. Keanekaragaman ini memainkan peran penting dalam menentukan kerentanan ekosistem pesisir terhadap pengasaman laut. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengestimasi saturasi aragonit (Oarag) dan mengkaji variasi spatio-temporalnya di perairan pesisir Kepulauan Indonesia; 2) mengidentifikasi proses kalsifikasi dan nilai Produktivitas Ekosistem Bersih padang lamun dan terumbu karang, serta mengkaji hubungannya dengan pertukaran CO2 laut-udara; dan 3) mengkaji pengaruh antropogenik terhadap dampak pengasaman laut di perairan wilayah pesisir Kepulauan Indonesia.
Pengambilan sampel air laut dan pengukuran in-situ untuk kajian spasial dilakukan pada tujuh lokasi perairan pesisir Kepulauan Indonesia (Weh, Pulo Aceh, Pari, Lombok, Selayar, Flores dan Sorong Papua) dalam rentang waktu 2015 dan 2021. Kajian temporal difokuskan di perairan sekitar ekosistem lamun dan terumbu karang Teluk Sire Lombok pada bulan April dan Oktober 2018 dengan pengamatan 2 x 24 jam, sedangkan kajian pengaruh antopogenik difokuskan di perairan pesisir Pulau Pari dan Lombok masing-masing pada bulan Februari dan Maret 2021 dengan pengamatan 1 x 24 jam. Parameter yang diukur terdiri dari parameter fisika kimia perairan yaitu suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), fosfat, nitrat, silikat, dan klorofil-a, serta system karbonat laut yaitu pH, alkalinitas total (TA), karbon anorganik terlarut (DIC), tekanan parsial CO2 (pCO2), dan saturasi aragonit (Oarag). Parameter fisikokimia perairan seperti suhu, salinitas, dan DO diukur dengan menggunakan alat Conductivity Temperature Depth SeaBird Electronic (CTD SBE) 19plus dan DO meter Hanna HI 9146. Keasaman air laut (pH) diukur dengan pH meter Portabel Mettler Toledo Single Chanel dan secara spektrofotometri menggunakan indikator pewarna m-cresol purple (mCP) dan spektrofotometer Shimadzu UV-1800. Pengukuran pCO2 air laut menggunakan sensor Mini CO2 Pro Oceanus dan program CO2SYS. Alkalinitas total dianalisis dengan metode titrasi dan menggunakan alat alkalinity titrator. Konsentrasi karbon anorganik terlarut dan kondisi saturasi aragonite dihitung dengan menggunakan program CO2SYS. Produksi ekosistem bersih (NEP) dihitung berdasarkan perubahan konsentrasi DIC, sedangkan kalsifikasi ekosistem bersih (NEC) dihitung berdasarkan perubahan TA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan pesisir Kepulauan Indonesia umumnya mengalami kejenuhan kalsium karbonat, ditandai dengan nilai Oarag yang lebih besar dari satu. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar perairan pesisir Kepulauan Indonesia mendukung proses kalsifikasi. Secara spasial, perairan pesisir di bagian timur Indonesia, terutama di Pulau Selayar dan Flores, memiliki nilai Oarag yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya, berkisar antara 3,75 hingga 5,87 dengan rata-rata 4,96 ± 0,48. Sebaliknya, perairan pesisir Pulau Pari menunjukkan nilai Oarag yang paling rendah, berkisar antara 1,57–3,30 dengan rata-rata 2,49 ± 0,50. Rendahnya saturasi aragonite di perairan pesisir pulau Pari disebabkan oleh dominasi perairan dengan salinitas rendah dan kedalaman dangkal di bagian barat Indonesia. Analisis multivariat menunjukkan bahwa salinitas memiliki pengaruh paling besar terhadap Oarag di sebagian besar lokasi, dengan persentase pengaruh berkisar antara 24,13 hingga 52,92%, Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa selain salinitas, saturasi aragonit di perairan pesisir Kepulauan Indonesia juga berkaitan erat (p<0,05) dengan suhu permukaan laut, sistem karbonat air laut, PO4, dan klorofil a. Keadaan saturasi aragonit berkorelasi positif dengan pH, salinitas, dan TA serta berkorelasi negatif dengan pCO2, DIC, suhu permukaan laut, PO4, dan klorofil.
Secara temporal, sistem karbonat laut menunjukkan variasi yang signifikan, dengan hampir semua parameter menunjukkan perbedaan yang mencolok (p<0,05) antara bulan April dan Oktober. Saturasi aragonit (Oarag) lebih tinggi pada bulan April (4,75 ± 0,75 pada ekosistem lamun dan 4,25 ± 0,63 pada ekosistem terumbu karang) dibandingkan pada bulan Oktober (3,61 ± 0,28 pada ekosistem lamun dan 3,34 ± 0,19 pada ekosistem terumbu karang). Temuan ini juga menunjukkan bahwa Oarag cenderung meningkat seiring dengan peningkatan NEP, dimana ekosistem lamun memiliki dampak yang lebih besar dalam memodifikasi dinamika kimia karbonat di perairan dangkal dibandingkan ekosistem terumbu karang. Namun, tingginya tingkat NEP di ekosistem lamun dan terumbu karang pada siang hari tidak cukup untuk mencegah pelepasan CO2 ke atmosfer selama 24 jam.
Dampak antropogenik terhadap pengasaman laut di perairan pesisir Pulau Pari sangat jelas terlihat, dengan nilai pH berkisar antara 7,60 hingga 8,00 dan tingkat Oarag antara 1,04 hingga 2,54. Nilai rata-rata Oarag di perairan Pulau Pari berada di bawah kisaran optimal bagi pertumbuhan terumbu karang tropis. Rendahnya pH dan Oarag ini dipengaruhi oleh penurunan suhu dan salinitas, serta terbatasnya kapasitas ekosistem bentik untuk menurunkan kadar CO2. Perbedaan yang signifikan dalam parameter sistem karbonat diamati antara wilayah pesisir Teluk Sire, Lombok, dan Pulau Pari (p<0,05). Teluk Sire dicirikan oleh pH, TA, dan Oarag yang lebih tinggi, sedangkan pesisir Pulau Pari menunjukkan tekanan parsial CO2 (pCO2) yang tinggi, yang menyebabkan emisi CO2 terus menerus selama periode pengamatan. Fluks CO2 paling tinggi terjadi pada malam hari di ekosistem lamun akibat respirasi. The sea's absorption of carbon dioxide (CO2) is recognized for altering seawater chemistry, leading to increased concentrations of CO2, bicarbonate (HCO3-), and H+ ions, along with decreased levels of carbonate (CO32-) and pH—a phenomenon referred to as ocean acidification. This poses a significant threat to coastal ecosystems, impacting marine organisms and millions of people reliant on coastal protection, fisheries, and aquaculture. The effects of ocean acidification on Indonesia's coastal waters, as well as how coastal ecosystems like coral reefs and seagrasses respond to CO2 exchange between the sea and air on small islands, remain uncertain. Indonesia's extensive area, composed of numerous islands with diverse sea depths, leads to dynamic hydro-oceanographic conditions in its coastal and marine waters, varying both spatially and temporally. This diversity plays a crucial role in determining the vulnerability of coastal ecosystems to ocean acidification. This research aims to: 1) assess aragonite saturation (Oarag) and its spatio-temporal variations in the coastal waters of small Indonesian islands; 2) identify calcification processes and Net Ecosystem Productivity (NEP) of seagrass and coral reefs, examining their relationship with air-sea CO2 exchange; and 3) investigate the effects of human activities on the impact of ocean acidification in coastal waters.
Seawater sampling and in-situ measurements for spatial studies were carried out at six locations in the coastal waters of small Indonesian islands (Weh, Pulo Aceh, Pari, Lombok, Selayar, and Flores) and one location in the coastal waters of the main mainland (Sorong) in the range 2015 and 2021. The temporal study focused on the waters around the seagrass and coral reef ecosystems of Sire Bay, Lombok in April and October 2018 with 2 x 24-hour observations, while the study on anthropogenic influences was carried out in the coastal waters of Pari Island and Lombok in February and March 2021, respectively, with each observation lasting 24 hours. The parameters measured consist of water physicochemical parameters, namely temperature, salinity, dissolved oxygen (DO), phosphate, nitrate, silicate, and chlorophyll-a, as well as marine carbonate systems, namely pH, total alkalinity (TA), dissolved inorganic carbon (DIC), CO2 partial pressure (pCO2), and aragonite saturation (Oarag). Water physicochemical parameters such as temperature, salinity, and DO were measured using the Conductivity Temperature Depth SeaBird Electronic (CTD SBE) 19plus and DO meter Hanna HI 9146. Seawater acidity (pH) was measured using a Mettler Toledo Single Chanel Portable pH meter and spectrophotometrically using m-cresol purple (mCP) dye indicator and Shimadzu UV-1800 spectrophotometer. Seawater pCO2 measurements using the Mini CO2 Pro Oceanus sensor and the CO2SYS program. Total alkalinity was analyzed using the titration method and using an alkalinity titrator. Dissolved inorganic carbon concentration and aragonite saturation conditions were calculated using the CO2SYS program. Net ecosystem production (NEP) is calculated based on changes in DIC concentration, while net ecosystem calcification (NEC) is calculated based on changes in TA.
The findings of the study reveal that the coastal waters surrounding small islands in Indonesia generally exhibit high levels of calcium carbonate saturation, as indicated by Oarag values surpassing one. This suggests that the majority of these coastal waters support the calcification process. Geographically, the eastern regions of Indonesia, particularly Selayar Island, and Flores, demonstrate higher Oarag values ranging from 3.75 to 5.87, with an average of 4.96 ± 0.48, in comparison to other areas. In contrast, Pari Island's coastal waters exhibit lower Oarag values, ranging from 1.57 to 3.30, averaging 2.49 ± 0.50. This disparity is attributed to the prevalence of low salinity and shallow depth in the western part of Indonesia. The multivariate analysis highlights that salinity exerts the most significant influence on Oarag across most locations, with a percentage impact ranging from 24.13% to 52.92%. The PCA analysis outcomes reveal that, in addition to salinity, aragonite saturation in the coastal waters of small Indonesian islands exhibits a significant (p<0.05) association with sea surface temperature, seawater carbonate system, PO4, and chlorophyll-a. Oarag shows a positive correlation with pH, salinity, and total alkalinity (TA) while displaying a negative correlation with the partial pressure of carbon dioxide (pCO2), dissolved inorganic carbon (DIC), sea surface temperature, PO4, and chlorophyll.
Temporally, the marine carbonate system exhibits significant variations, with almost all parameters showing notable differences (p<0.05) between April and October. Aragonite saturation (Oarag) is higher in April (4.75 ± 0.75 in seagrass ecosystems and 4.25 ± 0.63 in coral reef ecosystems) compared to October (3.61 ± 0.28 in seagrass ecosystems and 3.34 ± 0.19 in coral reef ecosystems). The findings also indicate that aragonite saturation tends to rise with increasing NEP, with seagrass ecosystems having a greater impact on modifying carbonate chemical dynamics in shallow waters than coral reef ecosystems. However, the high NEP rates in seagrass and coral reef ecosystems during the day are insufficient to prevent CO2 release into the atmosphere over 24 hours.
The anthropogenic impact on ocean acidification in the coastal waters of Pari Island is particularly evident, with pH values ranging from 7.60 to 8.00 and Oarag from 1.04 to 2.54. The average Oarag value in Pari Island's waters falls below the optimal range for the growth of tropical coral reefs. This low pH and Oarag are influenced by reduced temperature and salinity, along with the limited capacity of benthic ecosystems to lower CO2 levels. Significant differences in carbonate system parameters are observed between the coastal areas of Sire Bay, Lombok, and Pari Island (p<0.05). Sire Bay is characterized by its pH, TA, and Oarag, whereas Pari Island exhibits high partial pressure of CO2 (pCO2), leading to continuous CO2 emissions during the observation period. CO2 flux is highest at night in seagrass ecosystems due to respiration.
Collections
- DT - Fisheries [725]