Arahan Penetapan Lahan Sawah Berkelanjutan di Kabupaten Majalengka dengan Model Spasial dan Dinamik
Date
2024Author
Adrian
Widiatmaka
Munibah, Khursatul
Firmansyah, Irman
Metadata
Show full item recordAbstract
Perubahan penggunaan lahan untuk pertanian merupakan dampak dari pertumbuhan penduduk, yakni lahan pertanian berubah menjadi lahan lahan terbangun. Di Jawa Barat, hal ini terjadi terutama di sekitar kota-kota besar seperti Bandung, Cirebon, Garut dan beberapa kota lain. Hingga tahun 2023, pertumbuhan penduduk di Kabupaten Majalengka tercatat mencapai 1,34% per tahun ada periode 2011 sampai 2021, sedangkan luas lahan yang tersedia relatif tetap. Salah satu area di Jawa Barat yang dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah Rebana (Cirebon–Patimban–Kertajati). Area pengembangan ini sebagian besar terdiri atas daerah utara Jawa Barat seperti Subang, Majalengka, Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan Sumedang. Pembentukan KEK seringkali melibatkan konversi lahan pertanian. Pengembangan KEK dapat menyebabkan lahan pertanian terkonversi menjadi area industri, infrastruktur, atau kawasan perkotaan. Sebaliknya, KEK yang direncanakan dengan baik dapat mendorong inisiatif pertanian berkelanjutan. Hal ini dapat mencakup peningkatan produktivitas pertanian, diversifikasi tanaman, atau perencanaan penggunaan lahan kedepan. Oleh karena itu, dalam penerapan dan pengembangan KEK, efeknya terhadap lingkungan dan keberlanjutan lahan pertanian penting untuk dipertimbangkan.
Tujuan utama studi ini adalah untuk arahan penetapan lahan sawah berkelanjutan di kabupaten majalengka dengan model spasial dan dinamik. Untuk mencapai tujuan utama penelitian, beberapa tujuan harus dicapai, diantaranya: (i); perubahan tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka serta faktor-faktor yang mempengaruhi, pada periode 2011-2021 (ii); mendelineasi dan menganalisis lahan yang sesuai dan tersedia untuk padi sawah (iii); mengkategorikan struktur landskap dan ketertarikanya terhadap perubahan di Kabupaten Majalengka (iv); mengkategorikan prioritas pelindungan lahan sawah yang berkelanjutan (v); membangun model spasial proyeksi ketersediaan pangan dan kebutuhan lahan sawah di Kabupaten Majalengka pada tahun 2045 dan (vi); merancang model dinamik ketersediaan pangan beras dan kebutuhan lahan sawah di Kabupaten Majalengka pada tahun 2045.
Untuk membuat proyeksi penggunaan lahan di masa mendatang dinamika perubahan penggunaan/tutupan lahan dari waktu ke waktu dapat digunakan sebagai parameter yang dimasukkan ke dalam model. Dalam penelitian ini, analisis penggunaan/tutupan lahan dilakukan dengan perangkat lunak Google Earth Engine (GEE) dengan citra Sentinel-2A selama sepuluh tahun (2011-2021) dengan menggunakan machine learning dengan pendekatan random forest dengan analisa Normalized Difference Built-Up Index (NDBI), Normalized Difference Water Index (NDWI) dan peta lahan baku sawah untuk menghasilkan peta tutupan/penggunaan lahan. Metode Multi Criteria Evaluation (MCE) berbasis GIS digunakan untuk menghasilkan analisis kesesuaian lahan dan ketersediaan lahan wilayah penelitian. Pengkategorian persil lahan sawah terhadap ketertarikan terkonversi dianalisis dengan menghitung ketertarikan suatu lahan (attractiveness) secara kuantitatif terhadap jumlah penduduk. Persil lahan sawah dikaitkan dengan ketertarikan dengan fasilitas umum di sekitarnya (point of interest). Selanjutnya, dilakukan pemodelan lahan yang dapat digunakan sebagai kandidat untuk lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan menggunakan algoritma cellular automata, menggunakan perangkat lunak LanduseSim v 2.3.1. Proyeksi ketersediaan pangan di masa mendatang lakukan dengan menggunakan perangkat lunak Powersim 10.
Peta hasil klasifikasi tutupan lahan menggunakan algoritma smile-random forest yang di kombinasikan dengan analisa NDBI dan NDWI pada platform GEE menghasilkan nilai overall accuracy sebesar 98,81% dan kappa sebesar 95,91%,. Penggunaan lahan sawah mempunyai proporsi terbesar di antara delapan kelas penggunaan lahan lainnya, yaitu 44,95 % dari keseluruhan luas wilayah. Penggunaan lahan ladang memiliki luas dengan persentase 33,09 %, kebun campuran 32,41 %, semak belukar 1,15 %, hutan 6,69 %, permukiman 14,22 %, badan air 1,64 %, industri 0,26 % dan bandara 0,54%. Selama sepuluh tahun (2011-2021), luas lahan pertanian (sawah, ladang) di Kabupaten Majalengka mengalami penurunan sebesar 4457,36 ha. Perlu dilakukan upaya/strategi perencanaan ke depan untuk mengantisipasi perubahan lahan pertanian yang terjadi secara masif di Kabupaten Majalengka.
Hasil dari analisis kesesuaian lahan secara keseluruhan di Kabupaten Majalengka menunjukkan bahwa lahan yang sangat sesuai (S1) untuk tanaman padi sawah di Kabupaten Majalengka seluas 15.038,49 ha, atau 11,29% dari seluruh lahan yang tersedia; lahan sesuai (S2) seluas 23.744,40 ha, lahan sesuai marjinal (S3) seluas 13.411,33 ha, dan lahan tidak sesuai (N) seluas 80.749,65. Analisis kualitas lahan pertanian (farmland protection) menunjukkan bahwa lahan dengan kualitas sangat baik (excellent quality) memiliki luas sebesar 10.745,63 ha; lahan pertanian dengan kualitas baik (good quality) seluas 15.784,19 ha; lahan pertanian dengan kualitas lahan menengah (medium quality) seluas 13.970,55 ha dan lahan pertanian dengan kualitas rendah (low quality) seluas 92.677,08 ha.
Model proyeksi penggunaan lahan Kabupaten Majalengka dibangun dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan/rutupan lahan yang meliputi: jarak terhadap permukiman kepadatan rendah, jarak terhadap permukiman kepadatan tinggi, jarak terhadap kawasan industri, jarak terhadap fasilitas umum (fasum) jarak terhadap pariwisata, jarak terhadap pusat pemerintahan, jarak terhadap bandara, jarak terhadap stasiun, jarak terhadap terminal, jarak terhadap interchange, jarak terhadap jalan utama, jarak terhadap jalan lingkungan dan jarak terhadap jalur kereta api. Model menghasilkan tiga skenario, yakni skenario Business as Usual, skenario moderat, dan skenario optimis. Pada skenario (Business as Usual), pada tahun 2045 lahan sawah menjadi seluas 40.473 ha, 42.123 ha dan 48.235 ha, masing-masing untuk skenario Business as Usual (BaU), moderat dan optimis.
Model proyeksi ketersediaan pangan di Kabupaten Majalengka dibangun dari sub-model “konsumsi, sub-model penduduk dan sub-model produksi”. Validasi model menunjukkan bahwa nilai Absolute Mean Error (AME) dan Absolute Variance Error (AVE) tidak lebih dari 10% setelah validasi kinerja variabel dalam ketiga sub-model tersebut. Dengan skenario Business as Usual dengan progresif terhadap keberadaan KEK Rebana, swasembada pangan dapat dicapai pada tahun 2033, sedangkan pada skenario moderat, swasembada dapat dicapai pada tahun 2034 dan skenario optimis swasembada dapat dicapai pada tahun 2048. Dengan mempertimbangkan kesesuaian dan ketersediaan lahan sawah saat ini serta keselarasannya dengan Pola Ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), model ketersediaan pangan, dan prediksi penggunaan lahan masa depan, arahan penetapan lahan sawah berkelanjutan dibuat secara spasial. Hasilnya menunjukkan bahwa diperoleh luas lahan sawah berkelanjutan prioritas sebesar 48.235 ha, atau masih di atas luas lahan minimal 39.190 ha yang ditetapkan dalam Perda Nomor 11 tahun 2011 tentang RTRW. The change in land use for agriculture is a consequence of population growth, resulting in agricultural land being converted into developed areas. In West Java, this primarily occurs around major cities such as Bandung, Cirebon, Garut, and others. Until 2023, the population growth in Majalengka Regency was recorded at 1.34% per year from 2011 to 2021, while the available land area remained relatively stable. One area in West Java that has been developed as a Special Economic Zone (SEZ) is Rebana (Cirebon–Patimban–Kertajati). This development zone primarily consists of the northern regions of West Java, such as Subang, Majalengka, Cirebon, Indramayu, Kuningan, and Sumedang. The establishment of SEZs often involves the conversion of agricultural land. Developing SEZs can convert agricultural land into industrial areas, infrastructure, or urban zones. Conversely, well-planned SEZs can promote sustainable agricultural initiatives. This may include enhancing agricultural productivity, diversifying crops, or planning future land use. Therefore, in the implementation and development of SEZs, their impact on the environment and the sustainability of agricultural land is essential to consider.
The primary objective of this study is to design a spatial dynamics model of food availability and develop guidelines for establishing sustainable paddy fields in the Majalengka Regency. To achieve the primary goal of the research, several specific objectives must be met, including (i) analyzing changes in land cover/usage in Majalengka Regency and the factors influencing these changes during the period from 2011 to 2021; (ii) delineating and analyzing land suitable and available for wet rice cultivation; (iii) categorizing landscape structures and their susceptibility to changes in Majalengka Regency; (iv) categorizing priorities for the protection of sustainable paddy fields; (v) constructing a spatial model to project food sufficiency and the needs for paddy fields in Majalengka Regency by 2045; and (vi) designing a dynamic model for rice food availability and the requirements for paddy fields in Majalengka Regency by 2045.
To project future land use, the dynamics of land use/cover changes over time can be used as parameters incorporated into the model. In this study, land use/cover analysis was conducted using Google Earth Engine (GEE) with Sentinel-2A imagery over ten years (2011-2021), utilizing machine learning with a random forest approach combined with the analysis of the Normalized Difference Built-Up Index (NDBI), Normalized Difference Water Index (NDWI), and standard paddy field maps to produce a land cover/use map. The Multi Criteria Evaluation (MCE) method based on GIS was used to analyze land suitability and availability in the research area. The categorization of paddy field parcels concerning their conversion attractiveness was analyzed by quantitatively assessing the attractiveness of a land parcel about population size. Paddy field parcels were linked to their attractiveness to nearby public facilities (points of interest). Subsequently, land modeling was performed to identify candidates for sustainable food agriculture using the cellular automata algorithm, employing LanduseSim v 2.3.1 software. Future food availability projections were carried out using Powersim 10 software.
With an overall accuracy of 98.81% and a kappa value of 95.91%, an accurate land cover map was produced from land use classification using the smile-random forest algorithm on the GEE platform combined with NDWI and NDBI analysis. Paddy fields occupied the most significant proportion among the eight other land use classes, accounting for 44.95% of the total area. Cultivated fields covered 33.09%, mixed gardens 32.41%, shrublands 1.15%, forests 6.69%, residential areas 14.22%, water bodies 1.64%, industrial areas 0.26%, and airports 0.54%. Over the ten years from 2011 to 2021, the area of agricultural land (paddy fields and cultivated fields) in Majalengka Regency decreased by 4,457.36 hectares. Efforts and planning strategies are needed to anticipate the massive changes in agricultural land occurring in the Majalengka Regency.
The results from the overall land suitability analysis in Majalengka Regency show that the land highly suitable (S1) for paddy rice cultivation in Majalengka Regency totals 15,038.49 hectares, or 11.29% of all available land; suitably rated land (S2) amounts to 23,744.40 hectares, marginally suitable land (S3) totals 13,411.33 hectares, and unsuitable land (N) amounts to 80,749.65 hectares. The analysis of agricultural land quality (farmland protection) reveals that land of excellent quality covers an area of 10,745.63 hectares; agricultural land of good quality spans 15,784.19 hectares; agricultural land of medium quality covers 13,970.55 hectares, and agricultural land of low quality extends over 92,677.08 hectares.
The land use projection model for Majalengka Regency is developed by considering various factors that influence changes in land use/cover, including the distance to low-density residential areas, the distance to high-density residential areas, the distance to industrial areas, the distance to public facilities, the distance to tourism areas, the distance to government centers, the distance to the airport, the distance to the station, the distance to the terminal, the distance to the interchange, the distance to main roads, the distance to local roads, and the distance to railway lines. The model produces three scenarios: Business as Usual, Moderate, and Optimistic. In the Business as Usual scenario, by 2045, the area of paddy fields will be 40,473 hectares, 42,123 hectares, and 48,235 hectares for the Business as Usual (BaU), Moderate, and Optimistic scenarios, respectively.
The food availability projection model in Majalengka Regency is built from sub-models of "consumption," "population," and "production." Model validation shows that the Absolute Mean Error (AME) and Absolute Variance Error (AVE) are no more than 10% after validating the performance of variables within these sub-models. Under the Business as Usual scenario, with progressive alignment to the presence of KEK Rebana, food self-sufficiency could be achieved by 2033, while in the Moderate Scenario, it could be achieved by 2034, and in the Optimistic Scenario by 2048. Considering the suitability and availability of current paddy fields and their alignment with the Spatial Plan in the Regional Spatial Plan (RTRW), the food availability model, and future land use predictions, spatial guidelines for setting sustainable paddy fields were created. The results show that a priority sustainable paddy field area of 48,235 hectares was obtained, which is still above the minimum area of 39,190 hectares set by Regional Regulation Number 11 of 2011 concerning RTRW.