Manajemen Risiko Rantai Pasok di UKM Bawang Merah Goreng

Abstract

Bawang merah merupakan salah satu subsektor hortikultura yang strategis dan bernilai ekonomi tinggi. Bawang merah merupakan salah satu komoditas strategis, karena sebagian besar masyarakat Indonesia membutuhkan terutama untuk bumbu masak sehari-hari. Industri pengolah bawang merah goreng (UKM) dihadapkan pada berbagai risiko berupa kendala bahan baku, kesalahan perencanaan, gangguan mesin operasi, produk cacat, kebijakan pemerintah, komplain dan lain-lain. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis aliran rantai pasok bawang merah di industri pengolah bawang merah goreng skala kecil (UKM), (2) mengidentifikasi risiko yang mungkin terjadi pada rantai pasok bawang merah di industri pengolah bawang merah goreng skala kecil (UKM), (3) menganalisis urutan prioritas risiko dan prioritas preventive action, dan (4) menganalisis faktor kunci dan pola hubungan antar preventive action risiko rantai pasok tersebut. Penelitian ini menggunakan studi kasus di CV. Mito Dua Saudara dengan anggota rantai pasok yang diamati meliputi pengepul, industri pengolah kecil, dan ritel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk menjelaskan aliran rantai pasok, supply chain operation reference (SCOR) untuk mendefinisikan ruang lingkup dan konten dari rantai pasok, house of risk (HOR) untuk menganalisis risiko dan menentukan strategi mitigasi risiko (preventive action), dan decision making trial and evaluation laboratory (DEMATEL) untuk menganalisis pola hubungan antar strategi mitigasi risiko. Hasil analisis deskriptif diketahui bahwa bawang merah didapatkan dari supplier daerah Brebes, Jawa Tengah, diproses di industri pengolah skala kecil dengan kapasitas 1 ton per hari, kemudian dipasarkan sebanyak 40% ke pasar swalayan, 20% dipasarkan ke toko khusus, 20% dipasarkan secara langsung ditempat (offline), dan 20% dipasarkan secara online (ke berbagai daerah di Indonesia). Analisis risiko HOR 1 didasarkan pada nilai Agregate Risk Potential (ARP). Nilai ARP merupakan hasil perhitungan antara risk event, risk agent, occurance, dan severity. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa agen risiko dengan nilai Agregate Risk Potential (ARP) tertinggi di tingkat pengepul adalah petani gagal panen (kode: AP10) dengan skor total ARP 572 sehingga menyumbang 19,8% masalah. Agen risiko dengan skor ARP tertinggi di tingkat industri pengolah adalah kelalaian tenaga kerja (AI9) dengan skor total ARP 591 sehingga menyumbang 12% masalah. Agen risiko dengan nilai ARP tertinggi di tingkat ritel adalah kesalahan perhitungan peramalan (AR1), dengan total skor 243 sehingga menyumbang 14,17% masalah. Hasil penilaian HOR 2 dipilih preventive action yang harus dilaksanakan terlebih dahulu (prioritas) di tingkat pengepul, yaitu kemitraan petani dengan membuat sistem kontrak 1 tahun (2 kali siklus panen) (PAP4). Preventive action prioritas di tingkat industri pengolah adalah mencatat dan menganalisis kebutuhan bawang merah berdasarkan permintaan tetap dari pelanggan (PAI7). Preventive action prioritas untuk ritel adalah melakukan kerjasama dengan industri pengolah bawang merah goreng yang jenis dan kualitasnya hampir sama (PAR1). Setelah diketahui strategi tindakan mitigasi atau preventive action (PA) dari semua pelaku rantai pasok, selanjutnya dilakukan analisis mengenai pola hubungan antar preventive action. Hasil analisis DEMATEL menunjukan bahwa PA di tingkat pengepul memiliki pengaruh besar terhadap PA industri pengolah dan PA ritel. PA di tingkat industri pengolah teridentifikasi memiliki 4 cause dan 8 effect, tingkat ritel memiliki 4 cause dan 4 effect, sedangkan semua atau 7 preventive action pengepul teridentifikasi menjadi cause bagi PA lain. Hal ini mengindikasikan bahwa preventive action sebaiknya dilakukan terlebih dahulu pada tingkat pengepul atau hulu dari rantai pasok. Dalam analisis DEMATEL, kemitraan dengan petani dengan menerapkan sistem kontrak (2 kali siklus panen) (kode: PAP1) memiliki derajat pengaruh paling tinggi yaitu 1,05. Hasil ini menunjukan bahwa PAP1 memiliki pengaruh yang sangat besar bagi elemen PA lain. Penerapan PAP1 secara tidak langsung dapat mempengaruhi preventive action lain, sehingga dalam pelaksanannya dapat lebih efektif dan efisien. Preventive action dengan derajat pengaruh paling rendah adalah melakukan pengecekan terhadap kuantitas dan kualitas bawang goreng ketika sudah dikirim oleh industri pengolah (PAR5). PAR 5 ini memiliki derajat pengaruh -1,57. Nilai negatif ini menunjukan bahwa PAR5 merupakan elemen yang paling mudah dipengaruhi oleh elemen lain. Preventive action kunci yang disarankan dalam penelitian ini yakni sistem kemitraan dengan petani dengan sistem kontrak 1 tahun atau 2 kali siklus panen (PAP1). Preventive action ini diharapkan menjadi solusi bagi masalah yang dihadapi oleh industri pengolah secara keseluruhan terutama dalam pengadaan bahan baku bawang merah. Dengan menerapkan preventive action kunci ini, maka preventive action lain dapat dengan mudah dilakukan, sehingga kinerja rantai pasok dan keuntungan pada industri pengolah (sebagai lead firm) dapat meningkat. Dengan melakukan PAP1 di tingkat pengepul ini, diharapkan dapat memperbaiki kinerja rantai pasok pelaku lainnya.

Shallots are a strategic horticulture subsector and have high economic value. Shallots are a commodity strategy because most Indonesians need them, especially as a daily cooking spice. Fried shallot processing industry (SMEs) face various risks in the form of raw material constraints, planning errors, operating machine disruptions, product defects, government policies, complaints, etc. The objectives of this research are (1) to analyze the flow of the shallot supply chain in fried shallot processing industry (SMEs), (2) identify risks that may occur in the shallot supply chain in fried shallot processing industry (SMEs), (3) analyze the sequence of risk priorities and action strategy priorities preventive, and (4) analyze critical factors and relationship patterns between supply chain risk preventive actions. This research uses a case study at CV. Mito Dua Saudara, with supply chain members, was observed to include suppliers, SMEs, and ritelers. The method used in this research is descriptive analysis to explain supply chain flow, supply chain operation reference (SCOR) to define the scope and content of the supply chain, house of risk (HOR) to analyze risk and determine risk mitigation strategies (preventive action), and decision making trial and evaluation laboratory (DEMATEL) to analyze relationship patterns between preventive action. The results of the descriptive analysis showed that red onions were obtained from suppliers in the Brebes area, Central Java, processed in fried shallot processing industry (SMEs) with a capacity of 1 ton per day, and then 40% were marketed to supermarkets, 20% to specialty shops, 20% directly on site (offline), and 20% online (to various regions in Indonesia). The HOR 1 risk analysis is based on the Agregate Risk Potential (ARP) value. The ARP value is the result of calculations between risk event, risk agent, occurrenceance, and severity. Based on the results of the analysis, it is known that the risk agents with the highest Agregate Risk Potential (ARP) value at the supplier level is a farmer with crop failure (AP10) with a total ARP score of 572, thus contributing 19.8% of the problem. The risk agent with the highest ARP score at the fried shallot processing industry (SMEs) level is labor negligence (AI9), with a total ARP score of 591, thus contributing 12% of the problem. The risk agent with the highest ARP value at the ritel level is forecasting calculation error (AR1), with a total score of 243, thus contributing 14.17% of the problem. The results of the HOR 2 assessment selected a preventive action strategy that must be implemented first (priority) at the supplier level, namely farmer partnerships by creating a 1-year contract system (2 harvest cycles) (PAP4). The priority preventive action strategy at the SME level is to record and analyze the need for shallots based on constant demand from customers (PAI7). The priority preventive action strategy for ritel is to collaborate with fried shallot processing industry (SMEs) of almost the same type and quality (PAR1). After knowing all supply chain actors' mitigation or preventive action (PA) strategies, an analysis is carried out regarding the relationship patterns between preventive actions. In the DEMATEL analysis, the assessment is converted in the form of a matrix. The results of the DEMATEL analysis show that PA at the supplier level has a significant influence on fried shallot processing industry (SMEs) PA and retail PA. PA at the fried shallot processing industry (SMEs) level has 4 causes and 8 effects, at the ritel level has 4 causes and 4 effects, while all or 7 preventive actions of suppliers have been identified as causes for other PAs. This indicates that preventive action should be carried out first at the supplier level or upstream of the supply chain. In DEMATEL's analysis, partnerships with farmers with a one-year contract system or two harvest cycles (code: PAP1) have the highest degree of influence 1,05. These results show that PAP1 has a considerable influence on other PA elements. The implementation of PAP1 can indirectly influence other preventive actions to make their implementation more effective and efficient. The preventive action with the lowest degree of influence is checking the quantity and quality of fried shallot when they have been sent by processing industry (PAR5). PAR 5 has a degree of influence of -1,57. This negative value shows that other elements most easily influence PAR5. The critical preventive action recommended in this research is a partnership system with farmers with a one-year contract system or two harvest cycles (PAP1). This preventive action is expected to solve the problems faced by the processing industry, especially in the procurement of shallot raw materials. Other preventive actions can be easily carried out by implementing this essential preventive action, so supply chain performance and profits in the processing industry (as the lead firm) can increase. Implementing PAP1 at the collector level is hoped to improve the supply chain performance of other actors.