Asupan Makanan, Mutu Protein, serta Estimasi Bioavailabilitas Seng dan Zat Besi pada Balita Stunted dan Non-Stunted di Kota Malang
Abstract
Pendek (stunted) merupakan kondisi dimana tinggi badan menurut umur (TB/U) memiliki nilai Z-score sebesar < -2 SD. Stunted disebabkan oleh beberapa faktor risiko, diantaranya adalah riwayat kesehatan ibu, kelahiran prematur, bayi dengan berat badan lahir rendah, status sosial ekonomi keluarga, rendahnya praktik ASI eksklusif, penyakit infeksi, serta defisiensi makro dan mikronutrien. Salah satu penyebab utama dari stunted adalah pada faktor asupan makan, terutama asupan protein. Defisiensi protein pada anak-anak dapat menyebabkan adanya penurunan sintesa protein dan degradasi dari protein otot sehingga akan menyebabkan adanya kegagalan pertumbuhan linear. Salah satu metode untuk menentukan estimasi mutu protein adalah dengan menghitung persen Digestible Indispensable Amino Acid Score (DIAAS). Metode ini mempertimbangkan daya cerna ileal sejati yang diambil dari beberapa data referensi, dimana ketentuan dalam menentukan nilai daya cerna adalah dengan menggunakan sumber referensi dari data daya cerna manusia yang kemudian jika tidak tersedia maka akan diambil menggunakan data daya cerna hewan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah persen DIAAS pada masyarakat maka prevalensi stunted akan semakin tinggi. Ketidakcukupan protein juga seringkali diiringi dengan defisiensi seng dan zat besi.
Seng merupakan salah satu mikronutrien yang sangat penting pada proses pertumbuhan. Defisiensi seng pada anak sering dikaitkan dengan kesehatan yang buruk, adanya gangguan pertumbuhan, gangguan perkembangan intelektual, dan peningkatan risiko penyakit infeksi seperti diare dan pneumonia. Kondisi ini disebabkan karena asupan seng yang rendah serta seng tidak dapat tercerna dengan baik. Salah satu metode untuk menentukan estimasi penyerapan seng adalah dengan menghitung Molar Ratio Phytate-Zinc (RPZ). Sebuah studi menunjukkan bahwa stunted pada balita disebabkan karena adanya defisiensi seng akibat nilai RPZ yang rendah.
Selain seng, zat besi juga merupakan salah satu mineral yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada kondisi anemia defisiensi zat besi terjadi penurunan oksigen di dalam tubuh yang akan menyebabkan adanya gangguan pada metabolisme sel sehingga mengakibatkan gangguan kemampuan kognitif dan pertumbuhan linear. Defisiensi zat besi dapat disebabkan karena asupan zat besi yang rendah, penyerapan yang buruk, kehilangan zat besi dalam jumlah besar, atau kombinasi dari ketiga penyebab tersebut. Akan tetapi, di Indonesia belum ada penelitian mengenai analisa estimasi mutu protein dan penyerapan seng serta zat besi pada asupan makan anak stunted. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis perbedaan antara asupan makanan, estimasi mutu protein, serta estimasi bioavailabilitas seng dan zat besi pada balita di Kota Malang.
Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan pada Bulan Agustus sampai Oktober 2023 di dua kelurahan yang berada di wilayah kerja Puskesmas Ciptomulyo, Kota Malang, Jawa Timur. Pengajuan kaji etik melalui Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga dengan No: 2952-KEPK. Jumlah subjek minimal dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus yang kemudian ditambahkan faktor drop out sebesar 10% dari jumlah perhitungan sehingga jumlah subjek didapatkan sebanyak 61 balita stunted dan 65 balita non-stunted. Kriteria inklusi pada penelitian ini, yaitu: balita berusia 6-59 bulan, anak tidak dalam kondisi sakit yang melibatkan pengobatan teratur, dan bersedia untuk menjadi responden selama proses penelitian berlangsung yang dibuktikan dengan menandatangai formulir informed consent. Pengambilan subjek dilakukan dengan menggunakan teknik stratified random sampling. Data yang dikumpulkan yaitu, data karakteristik keluarga (pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, penghasilan keluarga), karakteristik balita (usia balita, jenis kelamin, riwayat ASI eksklusif, berat badan lahir, dan pengasuh), data antropometri balita (panjang badan dan tinggi badan) dan data asupan makan balita. Semua data yang didapatkan kemudian diolah menggunakan program komputer Microsoft Excel 2019 yang kemudian dianalisis menggunakan aplikasi IBM Statistical Program Social Science (SPSS) Statistic 25. Analisis data yang dilakukan terdiri dari analisis univariat, bivariat, dan multivariat.
Berdasarkan hasil penelitian ini, lebih dari setengah balita stunted berusia 12-36 bulan (55,74%) dan berjenis kelamin perempuan (52,46%), sedangkan balita non-stunted mayoritas berusia 37-59 bulan (45,20%) dan berjenis kelamin laki-laki (51,59%). Kedua kelompok balita mayoritas memiliki riwayat berat badan lahir normal, mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan, diasuh langsung oleh ibu kandung, memiliki ayah yang bekerja sebagai karyawan swasta dengan pendidikan terakhir pada tingkat SMA/MA/sederajat, dan memiliki ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan tingkat pendidikan terakhir SMA/MA/sederajat. Selain itu, hampir setengah keluarga stunted merupakan keluarga dengan kategori dibawah garis kemiskinan (< Rp 609.612 /kapita/bulan), dimana persentase ini lebih tinggi dibandingkan keluarga balita non-stunted.
Pada variabel asupan makanan, diketahui bahwa balita non-stunted memiliki asupan zat gizi yang lebih tinggi dibandingkan balita stunted. Selain itu, terdapat perbedaan yang signifikan pada asupan energi dan protein antara balita stunted dan non-stunted. Balita non-stunted memiliki persen DIAAS dan nilai RPZ yang lebih rendah serta nilai bioavailabilitas zat besi yang lebih tinggi dibandingkan balita stunted, akan tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok. Balita non-stunted juga memiliki jumlah seng dan zat besi terserap yang lebih tinggi dibandingkan dengan balita stunted.
Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian tersebut maka peneliti menyarankan agar perlunya balita untuk mengkonsumsi makanan dengan prinsip diet seimbang agar semua zat gizi dapat tercukupi dengan baik. Disarankan pula untuk penelitian selanjutnya agar menambahkan indikator biomarker laboratorium yang dapat menghubungkan antara kuantitas dan kualitas asupan makanan dengan kondisi malnutrisi secara biokimia. Selain itu, perlunya penelitian lebih lanjut mengenai persen DIAAS, nilai RPZ, serta bioavailabilitas zat besi secara in vivo agar dapat mengetahui secara lebih pasti pengaruhnya terhadap status gizi balita. Stunted is a condition where height for age (HAZ) has a Z-score <-2SD. Stunted is caused by several risk factors such as the health history of the mother, premature birth, low birth weight history, the family socioeconomic status, less practice of the exclusive breastfeeding, infectious diseases, also from deficiencies of any macro and micronutrients. One of primary causes of stunted is food intake factor particularly from protein intake. Deficiency protein in children can elicit protein synthesis decline and muscle protein degradation which resulted in failure of linear growth. One method for determining the protein quality estimation is calculating the value of Digestible Indispensable Amino Acid Score (DIAAS). The measurement is taken by calculating the true ileal digestibility of the amino acids that taken from several references, where the provision in determining is to use reference from human digestibility data which then if not available will be taken using animal data. A research has shown the lower the DIAAS score, the higher the stunted prevalence. In addition, protein insufficiency often accompanied by zinc and iron deficiencies.
Zinc is micronutrient that important for the growth process. Zinc deficiency in children is often associated with poor health, growth failure, impaired intellectual development, and increased risk of infectious diseases such as diarrhea and pneumonia. This abnormal condition happens because a low zinc intake and situation where zinc cannot be absorbed properly. One methode to calculate zinc bioavailability estimation is molar ratio pf phytate-zinc (RPZ). A study reported that stunted in children was caused by seng deficiency due to a low value of RPZ.
The other hand, iron also a mineral with beneficial role for children’s growth and development. During condition of anemic-iron deficiency, there is a decrease of oxygen in the body which able to cause disturbances in cell metabolism and resulting in impaired condition to cognitive abilities and linear growth. Iron deficiency can be resulted from low intake of iron, poor absorption, large losses of iron or a combination between the three causes. However, there has been no research in Indonesia regarding the influence of protein quality, and seng and iron bioavailability in stunted children. Therefore, researchers want to conduct research aimed to analyze the relationship between food intake, protein quality, and the bioavailability of zinc and iron to children’ nutritional status in Malang city.
This research is an analytical observational study with a cross sectional study design. It was conducted from August to October 2023 in two sub-districts within working area of Ciptomulyo Health Center, Malang City, East Java. Submission of ethical clearence is done through the Health Research Ethics Commission, Faculty of Nursing, Airlangga University, No:2952-KEPK. Minimum number of subjects in this study was calculated based on selected formula and then be added by 10 % as a drop out factor of the total calculation. Final number of subjects was 63 children under five years old for each nutritional status group, stunted and non-stunted children. Meanwhile the inclusion criteria for this study were: children with age of 6-59 months, in a healthy condition (children was not in sick condition that involving regular treatment), and the subject was willing to be a respondent during research process as proven by their willingness to sign an informed consent form. Subjects were sampled by a stratified random sampling technique whereas the collected data were family characteristic data (parent’s employment, parent’s education, and family income), children characteristic data (age, gender, breastfeeding practice history, birth weight, and caregiver), children anthropometric data (leght and height) and children food intake data. All obtainable data then put into process by using the Microsoft Excel 2019 computer program and afterwards will be analyzed using application of IBM Statistical Program Social Science (SPSS) version 25. The data analysis in this research consisted of univariate, bivariate and multivariate analysis.
According to result of this research, more than half stunted children are dominated by 12-36 months female children, while the non-stunted children are dominated by 37-59 months male children. Children from both groups majority had a normal birth weight history, received exclusive breastfeeding for 6 months, take care directly by their mothers, fathers work as private employees with highest education graduated from high school/MA/equivalent level, and the mothers work as housewives with highest education graduated from high school/MA/equivalent level. Apart from that, almost half of the families with stunted children are those included into below the poverty line category (<IDR 609,612/capita/month) where this percentage is higher than families of non-stunted children.
For variable of food intake, it revealed that non-stunted children have a higher nutritional intake than stunted children, both in terms of macronutrients and micronutrients. Apart from that, there is a positive relationship found between energy, protein, and carbohydrate intake and the stunting incidence in children. Non-stunted children have lower percentage of DIAAS and RPZ values and higher iron bioavailability value than the stunted children, but there was no relationship between both groups. Non-stunted children also have higher amounts of absorbed zinc and iron when compared to stunted children.
Therefore, based on result of this research, the researchers suggest that it is necessary for children under five years old to consume food according to balanced diet principle to make all required nutrients be properly fulfilled. For further research, the researchers recommend to add laboratory biomarker indicators for linking the quantity and quality of food intake with biochemical of malnutrition condition. Moreover, there is a need for cross-sector coordination between community leaders so the intervention for stunted children can have more accurate target and more controlled supervision. Future in vivo research is needed on the percent of DIAAS, RPZ, and iron bioavailability in order to determine its effect on the children nutritional status.
Collections
- MT - Human Ecology [2199]