Show simple item record

dc.contributor.advisorSandra, Edhi
dc.contributor.advisorWulandari, Arum Sekar
dc.contributor.authorWiji, Seruni Diah Kerta
dc.date.accessioned2024-04-03T02:30:07Z
dc.date.available2024-04-03T02:30:07Z
dc.date.issued2012
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/144957
dc.description.abstractGaharu adalah tumbuhan tropis penghasil resin yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Resin gaharu berasal dari infeksi yang dihasilkan dari mikroorganisme baik secara alami ataupun buatan. Banyaknya pengalihfungsian lahan dan tingginya permintaan akan gaharu, menyebabkan intensitas pemungutan liar gaharu di hutan alam semakin tinggi dan tak terkendali. Kegiatan pelestarian gaharu tidaklah mudah, masalah teknis seperti keterbatasan bibit dan sulitnya gaharu dikembangkan secara konvensional merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi. Kultur jaringan merupakan solusi alternatif dalam menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak dan waktu relatif singkat. Penelitian dilakukan selama tiga bulan, mulai dari Juni hingga Agustus 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan PT Newmont Nusa Tenggara. Eksplan gaharu ditumbuhkan pada media MS (Murashige and Skoog) dengan penambahan zat pengatur tumbuh (zpt) dari kelompok sitokinin yang mempunyai fungsi utama untuk merangsang tumbuhnya tunas. Zat pengatur tumbuh yang digunakan ialah BAP (Benzylaminopurin) dan TDZ (Thidiazuron). Total perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 12 taraf, yaitu kombinasi antara BAP (0; 0,1; 0,2; 0,3 ppm) dan TDZ (0; 0,01; 0,02 ppm). Variabel yang diamati ialah jumlah tunas, tinggi tunas, tinggi eksplan dan pengamatan visual lainnya. Pengamatan dilakukan setiap 1 minggu sekali selama delapan minggu. Hasil penelitian menunjukan bahwa 8 minggu setelah masa tanam sebanyak 77% eksplan mampu bertahan hidup, sedangkan sisanya mati dan terkontaminasi cendawan. Eksplan yang mengalami kematian menjadi bewarna coklat dan putih. Perlakuan optimum dalam multiplikasi tunas jika tidak memperhatikan aspek bentuk ialah BAP 0,1 ppm (B1) pada minggu ke-6 setelah masa tanam, sedangkan jika memperhatikan aspek bentuk ialah BAP 0,1 ppm + TDZ 0,02 ppm (B1T2) pada minggu ke-8 setelah masa tanam. Penambahan zat pengatur tumbuh TDZ dalam perlakuan ini, tidak membutuhkan tambahan biaya yang besar, sehingga masih memungkinkan untuk dilakukan.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.subject.ddcForestryid
dc.subject.ddcConservation of Forest Resources and Ecotourismid
dc.subject.ddcSumbawa Baratid
dc.subject.ddcNusa Tenggara Baratid
dc.titlePenggunaan zat pengatur tumbuh BAP (Benzylaminopurin) dan TDZ (Thidiazuron) dalam multiplikasi Gaharu (Aquilaria malaccencis Lamk.) secara in vitro di PT. Newmont Nusa Tenggaraid
dc.typeUndergraduate Thesisid
dc.subject.keywordGaharuid
dc.subject.keywordKultur jaringanid
dc.subject.keywordMultiplikasiid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record