Show simple item record

dc.contributor.advisorDiatin, Iis
dc.contributor.advisorEffendi, Irzal
dc.contributor.advisorHadiroseyani, Yani
dc.contributor.authorJannah, Uthary Rahmathul
dc.date.accessioned2024-03-28T00:45:52Z
dc.date.available2024-03-28T00:45:52Z
dc.date.issued2024-03-27
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/143986
dc.description.abstractKepiting bakau (Scylla spp.) merupakan komoditas akuakultur yang bernilai tinggi. Salah satu bentuk produk kepiting hasil budidaya yaitu kepiting soka (soft carapace, atau cangkang lunak), yakni kepiting yang baru saja mengalami molting. Kepiting soka mengandung protein yang tinggi, dapat dikonsumsi secara utuh, dan memiliki insang yang bersih. Kepiting soka dapat dibudidayakan secara individual pada sistem tambak dan sistem apartemen. Sistem tambak menggunakan keranjang plastik sebagai wadah budidaya yang diikatkan pada bambu sebagai pelampung. Budidaya kepiting dengan sistem apartemen (single room) bisa menekan kanibalisme dan dilengkapi dengan sistem resrikulasi (recirculating aquaculture system, RAS), sehingga dapat diterapkan di kawasan perkotaan sebagai urban aquaculture. Melalui konsep urban aquaculture ini seharusnya bisa mendekatkan pembudidaya dengan konsumen, namun kepiting soka belum terlalu familiar akibat ketersediaan produk (suplai) yang rendah. Permasalahan suplai kepiting soka sudah terjadi dari tahap penangkapan benih hingga ke konsumen atau pada rantai nilai. Penelitian ini bertujuan menganalisis rantai nilai, margin pemasaran, dan nilai tambah dari budidaya kepiting soka untuk mengetahui potensi dan risiko dalam budidaya dengan sistem apartemen. Penelitian dilakukan dengan metode survei melalui wawancara pada April – Juli 2023 dengan 30 responden untuk memperoleh data primer, yang terdiri dari: 1) 5 orang nelayan, 12 orang pengepul kecil, 4 orang pengepul besar, dan 4 orang pedagang pengecer sebagai penyedia benih kepiting bakau di Bekasi, Karawang, Tangerang, dan Lampung, 2) 1 orang pembudidaya kepiting soka sistem apartemen di IFMOS FPIK-IPB Ancol Jakarta dan 1 orang pembudidaya kepiting soka sistem tambak di Lampung, 3) 1 orang pengepul kepiting soka dan 1 orang dari restoran kepiting soka di Jakarta. Data sekunder berupa data produksi budidaya kepiting soka di IFMOS, dan data produksi kepiting dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Food and Agriculture Organization of the United Nations. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode purposive sampling. Data yang dianalisis yaitu rantai nilai, efisiensi rantai nilai, dan risiko rantai nilai kepiting soka. Analisis rantai nilai kepiting soka terdiri dari indikator aktor, aktivitas rantai nilai, dan saluran pemasaran kepiting soka. Analisis efisiensi rantai nilai terdiri dari perhitungan margin pemasaran, farmer’s share, dan nilai tambah. Analisis risiko rantai nilai terdiri dari perhitungan risk priority number (RPN). Hasil analisis rantai nilai menunjukkan bahwa terdapat beberapa aktor yang terlibat dalam pemasaran kepiting soka, yaitu: 1) nelayan kepiting bakau, 2) pengepul kecil kepiting bakau, 3) pengepul besar kepiting bakau, 4) pedagang kepiting bakau, 5) pembudidaya kepiting soka, 6) pengepul kepiting soka, 7) restoran kepiting soka, dan 8) konsumen akhir. Nelayan menangkap kepiting bakau dari hutan bakau menggunakan alat tangkap bubu dan korek sebanyak 2– 35 kg/hari. Pengepul kecil membeli kepiting bakau sebanyak 3 – 30 kg/hari dari nelayan untuk dijual kembali kepada pengepul besar, pedagang, atau pembudidaya kepiting soka. Pengepul besar mengumpulkan kepiting dari beberapa pengepul kecil sebanyak 20 – 250 kg dalam sehari. Pedagang pengecer membeli kepiting v bakau untuk dijual di pasar sebanyak 20 – 100 kg/hari. Pembudidaya kepiting soka menyuplai kepiting soka hasil budidaya dalam sistem tambak dan sistem apartemen. Kegiatan budidaya dilakukan selama 30 hari dengan benih kepiting yang memiliki bobot 43,59 – 90,93 g/ekor. Pengepul kepiting soka membeli kepiting soka dari pembudidaya sebanyak sekitar 210 kg/minggu. Restoran membeli kepiting soka dari pengepul sebanyak 10 – 160 kg per bulan dan dijual dalam bentuk masakan kepiting soka ke konsumen akhir. Analisis efisiensi rantai nilai kepiting soka sistem apartemen menunjukkan margin pemasaran tertinggi terdapat pada nelayan kepiting bakau kepada pembudidaya kepiting soka yaitu 100%. Margin pemasaran terendah terdapat pada pengepul besar ketika menjual kepiting kepada pedagang pengecer kepiting yaitu 11,11%. Margin pemasaran tertinggi pada rantai nilai budidaya kepiting soka dengan sistem tambak terdapat pada nelayan sebesar 100% dan restoran kepiting soka sebesar 72,92%. Margin pemasaran terendah yaitu 7,69% pada pengepul ketika menjual kepiting soka kepada restoran. Nilai farmer’s share tertinggi ketika pembudidaya sistem tambak menjual kepiting soka kepada konsumen akhir yaitu 45,45% dengan kategori efisien, sedangkan nilai terendah didapat ketika pembudidaya sistem tambak menjual kepiting soka kepada restoran yaitu 35,71% dengan kategori tidak efisien. Hasil perhitungan nilai tambah menunjukkan bahwa nilai tertinggi dihasilkan oleh pembudidaya kepiting soka sistem tambak yaitu Rp73.843,00/kg, sedangkan nilai tambah terendah dihasilkan oleh pembudidaya kepiting soka dengan sistem apartemen yaitu -Rp125.365,00/kg. Perbedaan nilai tambah yang jauh ini disebabkan karena pembudidaya dengan sistem apartemen tidak memberikan perlakuan fisik ekdisisasi (pemotongan untuk mempercepat molting) kaki jalan kepiting seperti pada pembudidaya dengan sistem tambak, sehingga persentase kepiting soka hasil budidaya sistem apartemen menjadi sangat rendah. Risiko yang berpeluang muncul pada rantai nilai kepiting soka yaitu risiko benih hasil tangkapan alam, kematian akibat penyakit, kematian akibat gagal molting, kualitas kepiting rendah, harga benih berfluktuasi, harga jual mengikuti permintaan konsumen, kematian akibat transportasi, dan kanibalisme. Risiko berpeluang muncul tertinggi pada budidaya dengan sistem apartemen yaitu risiko benih yang berasal dari tangkapan alam dengan nilai RPN 112, dan risiko terendah yaitu kematian akibat kanibalisme dengan nilai RPN 1. Risiko berpeluang muncul tertinggi pada budidaya dengan sistem tambak yaitu risiko kematian akibat penyakit dengan nilai RPN 160, dan risiko terendah yaitu kematian akibat kanibalisme dengan nilai RPN 5. Berdasarkan hasil analisis rantai nilai, saluran pemasaran paling efisien dimulai dari nelayan, pengepul kecil, pengepul besar, pedagang pengecer, pembudidaya kepiting soka, pengepul kepiting soka, restoran kepiting soka, dan konsumen akhir karena dapat memberikan margin pemasaran dengan pembagian harga yang adil. Budidaya kepiting soka pada sistem apartemen berpotensi memberikan nilai tambah lebih tinggi apabila diberikan perlakuan fisik ekdisisasi, pencegahan penyakit, kontrol air dan pakan, serta pengembangan hatchery. Sumber benih yang mayoritas berasal dari alam menjadi risiko yang berpeluang muncul paling tinggi dalam aliran rantai nilai kepiting soka.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleAnalisis Rantai Nilai Kepiting Soka pada Budidaya Sistem Apartemenid
dc.title.alternativeValue Chain Analysis of Soft-Shell Crab in Apartment System Farmingid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordapartemen kepiting sokaid
dc.subject.keywordfaktor risikoid
dc.subject.keywordfarmer’s shareid
dc.subject.keywordmargin pemasaranid
dc.subject.keywordnilai tambahid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record