PENELITIAN KURA-KURA MONCONG BABI DAN HERPETOFAUNA DI KORINDO GROUP 2023
Abstract
Provinsi Papua merupakan salah satu bagian dari kepulauan Indonesia timur yang secara
astronomis memiliki panjang 2800 km dengan lebar 750 km dan terbentang dari garis khatulistiwa
hingga 12 LS dan 129-155 BT (Kartikasari et al. 2012). Letak astronomis yang demikian
menyebabkan wilayah Papua memiliki berbagai macam tipe ekosistem dan daerah biogeografis
(Iyai et al. 2020). Wilayah ini memiliki berbagai tipe ekosistem seperti ekosistem pantai, dataran
rendah, gua, pegunungan rendah, dan pegunungan tinggi (Kartikasari et al. 2012). Keunikan
ekosistem ini menjadi habitat yang ideal bagi kehidupan satwa endemik maupun eksotik.
Tingginya potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki tersebut menyebabkan semakin tinggi
pula tantangan dalam mempertahankannya. Pemanasan global dan perusakan habitat akibat adanya
pembangunan menjadi ancaman terbesar terhadap kepunahan biodiversitas tersebut (Lovejoy dan
Hannah 2005).
Provinsi Papua memiliki sungai-sungai besar dengan lebar melebihi 50 m yang melewati
berbagai tipe lanskap, mulai dari kawasan urban, peri-urban, pertanian sampai hutan. Sungai sungai ini terhubung dengan rawa-rawa permanen maupun rawa banjir yang menjadi sumber air
utama bagi kehidupan di sekitarnya. Lanskap perairan tawar di Papua bagian selatan masuk ke
dalam ecoregion perairan tawar Southwest New Guinea –Trans Fly Lowland (Abell et al. 2008).
Kabupaten Digul yang terletak di propinsi Papua bagian selatan memiliki beberapa sungai besar.
Paling tidak terdapat sungai Digul yang kemudian bercabang menjadi sungai Uwin Merah atau
sungai Kao.
Sungai Digul merupakan sungai yang dalam dan lebar, yang memungkinkan kapal-kapal
besar masuk ke Boven Digul. Sungai Uwin merah lebih sempit dari sungai Digul namun memiliki
lebar lebih dari 50 m. Makin ke hulu, lebar sungai makin menyempit namun masih lebih lebar dari
30 m. Di kiri-kanan sungai ini adalah kawasan konsesi pengusahaan hutan dan hutan tanaman
milik Korindo Grup. Korindo Group di kabupaten Boven Digul terdiri dari 11 perusahaan dengan
bergerak di bidang pengelolaan hutan, perkebunan sawit dan tanaman industri. PT Inocin Abadi
merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hasil
hutan kayu hutan alam (HPH) di Provinsi Papua. Perusahaan ini berlokasi di Kampung Asiki,
Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. PT Inocin Abadi memiliki luas keseluruhan kurang
lebih 99,665 Ha yang terdiri atas berbagai tipe habitat berupa hutan lahan kering primer, hutan
lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, belukar, belukar rawa, semak,
lahan terbuka, dan badan air (Jaya et al. 2022). Kawasan PT Inocin Abadi ini terbagi menjadi
beberapa wilayah RKT (Rencana Kinerja Tahunan). Setiap tahun RKT tersebut memiliki tipe
habitat dan tutupan lahan yang bervariasi. Kondisi kawasan setelah dilakukan penebangan berbeda
antara lahan yang baru ditebang dan sudah lama ditebang. Variasi tutupan lahan yang berbeda
menyebabkan tingkat keanekaragaman yang berbeda pula (Kwatrina et al. 2018).
Menurut Kartikasari et al. (2012), terdapat 150 jenis amfibi di Papua yang sebagian besar
masih belum diketahui jenisnya. Penelitian terkait keanekaragaman herpetofauna telah dilakukan
Krey dan Burwos (2019) di Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Penelitian selanjutnya
dilakukan oleh Indrayani et al. (2020) terkait keanekaragaman katak di Pegunungan Arfak,
Provinsi Papua Barat. Papua sebagai salah satu pulau besar, namun penelitian keanekaragaman khususnya amfibi di Papua belum banyak dilakukan, terutama di wilayah kabupaten dan wilayah
terbangun lainnya. Penelitian keanekaragaman amfibi di lokasi ini penting dilakukan untuk
mengetahui perbedaan keanekaragaman amfibi pada kawasan tebangan lama dan kawasan
tebangan baru sekaligus melihat data keanekaragaman amfibi dan reptil terbaru di Papua, terutama
di Kabupaten Boven Digoel dalam upaya manajemen dan konservasi.
Beberapa jenis satwa yang ada di sekitar sungai di areal Korindo Group dapat menjadi
spesies bendera (flagship species) yang penting untuk mempromosikan konservasi hidupan liar
kepada masyarakat, yaitu Kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta). Carettochelys
insculpta merupakan salah satu kura-kura yang jenisnya di Indonesia hanya terdapat di Papua
bagian selatan, menyebar dari wilayah Merauke sampai ke Kaimana. Saat ini, C. insculpta
dimasukkan ke dalam Apendix II CITES (Convention International Trade in Endangered Spesies
of Wild Flora and Fauna) (UNEP-WCMC, 2011) dengan status Endangered oleh The IUCN Red
List of Threatened Species (Eisemberg et al., 2018). Di Indonesia Carettochelys insculpta
merupakan satwa dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula oleh PP No. 7 Tahun 1999 serta PP Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi.
Tekanan pada kura-kura moncong babi telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir,
khususnya di Papua Barat (Indonesia) dan Papua New Guinea, terutama karena pertumbuhan
populasi manusia, kecenderungan yang lebih besar bagi pembangunan desa-desa di tepi sungai
setelah penghentian perang suku dan pengenalan teknologi baru (Alvarenga 2010), sedangkan
kegiatan pertanian dan drainase pada Daerah Aliran Sungai (DAS) di Australia Utara potensi
memberikan dampak serius bagi populasi kura-kura moncong babi (Georges et al. 2008). Pada
degradasi habitat kura-kura, Carriére dan Demers (2010) menyampaikan bahwa kehilangan tempat
berjemur alami, pertumbuhan rumput pada tepi, hilangnya vegetasi air, dan pembangunan
dermaga, dapat memberikan dampak buruk bagi berkurangnya populasi kura-kura Graptemys
geographica.
Penelitian kura-kura moncong babi yang dipublikasikan lebih banyak dilakukan di
Australia dan Papua New Guinea (Doody et al. 2000, Georges et al. 2008, Eisemberg 2005). Di
Indonesia, laporan mengenai Carettochelys insculpta di alam hanya ada di Sungai Vriendschap,
Asmat dan Kaimana sementara di DAS Digul tidak ada. Oleh karena itu, mulai tahun 2022
dilakukan penelitian pendahuluan yang menganalisa perlu dilakukan penelitian lebih mendalam
mengenai ekologi, populasi dan pemanfaatan tradisional di kawasan ini. Namun demikian, untuk
melestarikan jenis ini perlu dilakukan pembinaan habitat secara baik.
Pemahaman tentang pergerakan dan home range kura-kura dan peran mereka dalam
komunitas akuatik dapat ditingkatkan lebih lanjut dengan studi menggunakan radio telemteri.
Peralatan radio telemetri merupakan salah satu teknik mengamati pergerakan satwa liar. Radio
telemetri tetap menjadi metode yang paling populer untuk menemukan hewan berulang kali (White
dan Garrott 1990). Teknik ini memungkinkan para peneliti untuk menjaga kontak dengan hewan
yang diteliti, memberikan kesempatan untuk menjawab berbagai pertanyaan mengenai biologi dan
konservasi hewan. Secara tradisional, telemetri radio sangat penting untuk menentukan ekologi
spasial suatu spesies, pergerakan dan penggunaan habitat. Ujvari dan Korsos (2000) meyatakan
bahwa radio telemetri mampu menghasilkan data ekologi yang tidak bisa didapatkan dengan
teknik pengamatan langsung tradisional, serta memungkinkan untuk mengukur data tersebut
dalam bentuk kuantitatif. Data yang diperoleh dari satwaliar yang dipantau berupa daerah jelajah,
aktivitas harian dan musiman, penggunaan substrat dan mikrohabitat yang diperlukan untuk konservasi in-situ satwaliar. Penggunaan telemetri ini menggunakan objek individu dari satwaliar
yang terpilih kemudian dianalisis data ekologinya (Rogers and White 2007). Selain itu penggunaan
radio telemetri dalam pengamatan langsung pergerakan satwaliar dianggap lebih efisien
dibandingan metode pengamatan langsung manual, karena penggunaan radio tracking dapat
menghasilkan data yang lebih akurat dibandingkan metode manual.
Menurut Doody (2009) Reptil menjadi subjek yang baik untuk telemetri radio karena
beberapa alasan. Pertama, reptil dewasa dari sebagian besar spesies cukup ukuran yang besar untuk
membawa pemancar dengan masa pakai baterai yang cukup untuk beberapa bulan pelacakan.
Kedua, permukaan keras beberapa reptil, seperti kura-kura dan buaya, memudahkan pemasangan
radio-tag dan tubuh panjang ular dan biawak sangat cocok untuk menanamkan radio-tag dan
antena terkait. Ketiga, reptil bersifat tertutup dan banyak yang tetap tidak aktif hampir sepanjang
hari atau musim. Dalam banyak kasus, pemahaman tentang biologi mereka hanya dapat
diungkapkan melalui radio telemetri. Beberapa penelitian menggunakan radio telemetri telah
dilakukan pada, kura-kura, penyu, mamalia, dan burung baik di Indonesia. Hasil dari penelitian
memberikan nilai positif terhadap upaya konservasi di Negara tersebut. Di Indonesia, penelitian
menggunakan radio telemetri dilakukan sejak 1986 (Crompton dan Andau 1986). Hingga saat ini,
penelitian menggunaan metode ini di Indonesia baru dilakukan untuk melihat pergerakan beberapa
jenis satwa liar saja seperti yang pernah dilakukan pada katak pohon jawa di Taman Nasional Gede
Pangrango oleh Siregar (2013), lemur oleh Tsuji et al. di Pangandaran (2019), poksai sumatera di
Sumatera Utara oleh Busina et al. (2018), pada kura-kura Ambon oleh Aini (2021).
Carettochelys insculpta (Kura-kura moncong babi, pig-nosed turtle) termasuk dalam famili
Carettochelyidae dan merupakan satu-satunya spesies dari famili ini yang masih tersisa di dunia.
Kura-kura ini merupakan salah satu jenis berukuran besar dengan sebaran terbatas di Selatan New
Guinea dan Australia Utara dengan populasi perkembangbiakan cukup baik terdapat di sungai
Daly pada aliran Alligator Timur dan Alligator Selatan (Doody et al. 2000; Georges dan Kennett
1989) dan di Indonesia (IUCN 2010) yang hanya terdapat di Papua bagian selatan, menyebar dari
wilayah Merauke sampai ke Kaimana. C. insculpta merupakan satwa reptil yang hampir seluruh
hidupnya selalu di dalam air (aquatic) dan hanya ke darat saat bertelur saja. Salah satu upaya
pelestariannya adalah melalui pembinaan habitat alami. Untuk dapat melakukan pembinaan habitat
secara baik, salah satunya diperlukan informasipergerakan dan home range. Dengan mengetahui
perilaku dan luas daerah jelajah tersebut maka dapat diketahui tindakan yang diperlukan dalam
pembinaan habitat. Informasi terkait pergerakan dan home range spesies C. insculpta di Indonesia
sangatlah kurang walau dengan status vulnerable pada daftar merah IUCN. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian mengenai pergerakan dan home range oleh kura-kura moncong babi. Dengan
mengetahui informasi terkait pergerakan dan home range serta informasi pendukung lainnya, maka
manajemen pengelolaan terhadap kelestarian spesies C. insculpta dapat dilakukan dengan baik.
Dalam upaya mendapatkan informasi terkait C. insculpta maka dalam penelitian ini perlu diketahui
pergerakan dan home range.