Model Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Perkebunan Tebu Rakyat Berkelanjutan di Provinsi Jawa Timur
Date
2024Author
Artikanur, Salis Deris
Widiatmaka
Setiawan, Yudi
Marimin
Metadata
Show full item recordAbstract
Perencanaan penggunaan lahan sangat penting untuk dilakukan karena lahan yang tersedia semakin terbatas. Perencanaan penggunaan lahan yang dilaksanakan hendaknya menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan setidaknya tiga pilar yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan guna mencapai kesejahteraan masyarakat baik sekarang maupun di masa mendatang termasuk untuk perkebunan tebu. Lahan perkebunan tebu mengalami konversi dari tahun 2015 hingga 2021 sebesar 4147,5 ha per tahun yang turut dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk. Sebagian besar perkebunan tebu di Jawa Timur merupakan perkebunan tebu rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan tebu rakyat di Jawa Timur masih rawan mengalami konversi dan keberlanjutannya di masa yang akan datang akan terancam.
Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemodelan perencanaan penggunaan lahan untuk perkebunan tebu rakyat berkelanjutan di Provinsi Jawa Timur. Tahapan dalam penelitian ini yaitu melakukan analisis kecenderungan perubahan penggunaan lahan tahun 2011, 2016, dan 2021 serta melakukan prediksi penggunaan lahan Provinsi Jawa Timur tahun 2031; melakukan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk perkebunan tebu rakyat di Provinsi Jawa Timur; menganalisis status keberlanjutan perkebunan tebu rakyat di Provinsi Jawa Timur; membangun model dinamik dan melakukan intervensi skenario kebijakan perencanaan penggunaan lahan untuk perkebunan tebu rakyat berkelanjutan di Provinsi Jawa Timur; serta menentukan rencana penggunaan lahan dan strategi kebijakan prioritas untuk perkebunan tebu rakyat berkelanjutan di Provinsi Jawa Timur.
Hasil yang diperoleh dari analisis perubahan penggunaan lahan yaitu hutan, pertanian lahan kering, perkebunan tebu, dan tubuh air merupakan penggunaan lahan yang diprediksi cenderung akan mengalami penurunan luas dari tahun 2011 ke tahun 2031 yaitu bertutut-turut sebesar 803.250 ha (16,72%); 80.050 ha (1,67%);
75.737,50 ha (1,58%); dan 34.381,25 ha (0,72%). Sementara itu, penggunaan lahan yang diprediksi cenderung akan mengalami perluasan yaitu lahan terbangun, lahan terbuka, dan sawah yaitu berturut-turut sebesar 505.662,50 ha (10,53%); 15.312,50 ha (0,32%); dan 472.443,75 ha (9,84%). Perluasan lahan terbangun menjadi salah satu faktor penyebab konversi lahan perkebunan tebu sehingga dibutuhkan upaya pengendalian lahan terbangun. Konversi lahan perkebunan tebu menjadi penggunaan lain yang terjadi antara tahun 2011 hingga tahun 2031 diprediksi akan mencapai 75.737,5 ha (1,58%) sehingga dapat menurunkan produksi gula dan mengancam keberlanjutan perkebunan tebu rakyat. Dibutuhkan upaya konservasi lahan perkebunan tebu dengan menetapkan Kawasan Perkebunan Tebu Berkelanjutan (KPTB).
Lahan sesuai dan tersedia untuk perkebunan tebu rakyat di Provinsi Jawa Timur diklasifikasikan menjadi empat kelas antara lain ST1 (sangat sesuai dan tersedia), ST2 (cukup sesuai dan tersedia), ST3 (sesuai marjinal dan tersedia), serta TST (tidak sesuai dan/atau tidak tersedia). Intensifikasi lahan perkebunan tebu
rakyat sangat penting dilakukan mengingat lahan yang sesuai dan tersedia untuk ekstensifikasi semakin terbatas yaitu 223.199,24 ha (4,65%). Drainase tanah merupakan kriteria kesesuaian lahan dengan bobot teringgi sehingga perbaikan saluran drainase dan kriteria kesesuaian lahan yang lain sangat penting dilakukan untuk intensifikasi lahan. Selain itu, pengaturan kalender tanam, konservasi tanah dan air, serta penggunaan bibit unggul juga diperlukan.
Berdasarkan hasil analisis status keberlanjutan yang melibatkan aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan, secara umum status keberlanjutan perkebunan tebu rakyat di Jawa Timur saat ini adalah cukup berkelanjutan dengan nilai indeks sebesar 70,40 sehingga masih bisa ditingkatkan menjadi berkelanjutan. Faktor kunci yang paling sensitif di setiap dimensi antara lain produktivitas (ekonomi), persentase pengangguran (sosial), konversi lahan perkebunan tebu (lingkungan), dan bank per desa (kelembagaan). Peningkatan keberlanjutan perkebunan tebu rakyat di Jawa Timur dapat diupayakan dengan memperbaiki kondisi faktor kunci pada setiap dimensi tersebut.
Hasil simulasi model dinamik berdasarkan kondisi business as usual menunjukkan tren negatif terhadap output model. Oleh karena itu, maka intervensi kebijakan dapat dilakukan dengan skenario moderat dan optimis meliputi pengurangan persentase pengangguran melalui perluasan lahan perkebunan tebu, peningkatan produktivitas melalui penguatan kelembagaan, pengendalian konversi lahan dengan memanfaatkan lahan sesuai dan tersedia, serta peningkatan jumlah bank atau lembaga permodalan. Intervensi kebijakan ini dan juga insentif untuk petani tebu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha tani dan mendukung keberlanjutan perkebunan tebu rakyat di Jawa Timur baik dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan juga kelembagaan.
Penentuan rencana penggunaan lahan dan strategi kebijakan prioritas untuk perkebunan tebu rakyat berkelanjutan di Jawa Timur telah memperhatikan berbagai aspek yaitu sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Hasil analisis dengan overlay terbobot menggunakan ANP menunjukkan bahwa terdapat tiga kelas Rencana Penggunaan Lahan (RPL) prioritas yaitu RPL1 (11 kabupaten), RPL2 (13 kabupaten/kota), dan RPL3 (11 kabupaten/kota) dengan luasan sebesar 223.199,24 ha (4,65%). Penguatan kelembagaan dan kemudahan akses modal menjadi prioritas utama dalam strategi perencanaan penggunaan lahan untuk perkebunan tebu rakyat berkelanjutan di Jawa Timur karena kelembagaan yang kuat dapat menjadi jembatan bagi petani tebu rakyat untuk mendapatkan manfaat dari program pemerintah maupun swasta seperti bantuan modal, subsidi pupuk, subsidi bibit, penyuluhan, hingga insentif harga. Implementasi kebijakan berdasarkan RPL dan strategi kebijakan prioritas diperkirakan dapat meningkatkan kontribusi Jawa Timur dalam memenuhi kebutuhan gula nasional yaitu dari 1.034.675 (44%) menjadi 1.471.329,39 (62,61%).
Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu dapat dilakukan integrasi pemodelan perkebunan tebu berkelanjutan antara tebu rakyat, pemerintah, dan swasta; sebaiknya juga dilakukan pemodelan perencanaan penggunaan lahan untuk perkebunan tebu di luar Jawa karena lahan di Jawa sudah sangat terbatas untuk ekstensifikasi; serta dapat ditambahkan aspek lain dalam pemodelan misalnya aspek teknologi, hukum, dan sumberdaya. Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam penyusunan strategi kebijakan perencanaan penggunaan lahan untuk perkebunan tebu rakyat yang berkelanjutan. Development planning is crucial due to the increasing limitation of available land. It should embrace the concept of sustainable development, considering economic, social, and environmental pillars to ensure community welfare both presently and in the future, including for sugarcane plantations. From 2015 to 2021, sugarcane plantations in Indonesia experienced an annual conversion of 4147.5 hectares, influenced by population growth. Most sugarcane plantations in East Java are smallholder-owned, indicating their vulnerability to conversion and potential threats to future sustainability.
This research aimed to model land-use planning for sustainable smallholder sugarcane plantations in East Java. The stages include analyzing land use changes in 2011, 2016, and 2021, predicting land use in 2031, assessing land suitability and availability for smallholder sugarcane plantations, analyzing sustainability status, constructing dynamic land-use planning models, intervening in policy scenarios, and determining priority land-use planning and policy strategies for sustainable smallholder sugarcane plantations in East Java.
The analysis of land use conversion reveals that forests, dry land agriculture, sugarcane plantations, and water bodies are expected to decrease in area from 2011 to 2031 by 803,250 ha (16.72%), 80,050 ha (1.67%), 75,737.50 ha (1.58%), and
34,381.25 ha (0.72%) respectively. Conversely, built-up land, open land, and rice fields are projected to expand by 505,662.50 ha (10.53%), 15,312.50 ha (0.32%), and 472,443.75 ha (9.84%) respectively. Built-up land expansion contributes to sugarcane plantation conversion. Therefore, efforts to control built-up land are needed. Predicted conversion to other uses between 2011 and 2031 is expected to reach 75,737.5 hectares (1.58%), thereby reducing sugar production and posing a threat to smallholder sugarcane plantation sustainability in East Java. The establishment of Sustainable Sugarcane Plantation Areas (Kawasan Perkebunan Tebu Berkelanjutan/KPTB) is required to conserve sugarcane plantation land.
Suitable and available land for smallholder sugarcane plantations in East Java Province was categorized into four classes: ST1 (very suitable and available), ST2 (quite suitable and available), ST3 (marginally suitable and available), and TST (not suitable and/or not available). Given limited suitable and available land for extensification (4.65%), intensification and conservation of smallholder sugarcane plantations become crucial. Soil drainage is the land suitability criterion with the highest weight; therefore, improving drainage channels and other land suitability criteria is very important for land intensification. In addition, setting a planting calendar, conserving soil and water, and using superior seeds are also necessary.
After analyzing the sustainability status of smallholder sugarcane plantations in East Java, considering social, economic, environmental, and institutional aspects, it is found to be moderately sustainable with a current index value of 70.40. There is room for improvement to enhance sustainability. Key factors influencing each dimension are productivity (economic), percentage of unemployment (social), conversion of sugarcane plantation land (environment), and banks per village
(institutional). Enhancing the sustainability of smallholder sugarcane plantations in East Java involves addressing and improving these key factors in each dimension.
The dynamic model simulations under business-as-usual conditions reveal a negative trend in output. To address this, policy interventions can be implemented with moderate and optimistic scenarios. These may involve reducing unemployment by expanding sugarcane plantations, enhancing productivity through institutional strengthening, managing land conversion using available land, and increasing the number of banks or capital institutions. These interventions, along with incentives for sugarcane farmers, aim to boost farming efficiency and foster the sustainability of smallholder sugar plantations in East Java across social, economic, environmental, and institutional dimensions.
Analyzing land use plans and prioritizing sustainable strategies for smallholder sugarcane plantations in East Java involves considering social, economic, environmental, and institutional aspects. The weighted overlay analysis using ANP reveals three priority Land Use Plan (Rencana Penggunaan Lahan/RPL) classes: RPL1 (11 districts), RPL2 (13 districts/cities), and RPL3 (11 districts/cities), covering 223,199.24 ha (4.65%). Strengthening institutions and ensuring easy capital access are key priorities in the land-use planning strategy. Strong institutions serve as a conduit for smallholder sugar cane farmers to benefit from government programs and private sectors, including capital assistance, fertilizer subsidies, seed subsidies, counseling, and price incentives. Implementation of policies based on RPL and priority policy strategies is estimated to increase East Java's contribution to meeting national sugar needs, from 1,034,675 (44%) to 1,471,329.39 (62.61%).
Suggestions for further research include integrating the modeling of sustainable sugarcane plantations among smallholders, the government, and the private sector. Additionally, expanding land use planning modeling for sugarcane plantations beyond Java, considering limited land for extensification, and incorporating technological, legal, and resource aspects would enrich the research. The East Java Provincial government can utilize this research for policy strategies in planning the sustainable use of smallholder sugarcane plantations.