Ketahanan dan Keragaman Pangan serta Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-24 Bulan di Wilayah Agroekologi Berbeda di Jawa Barat
Date
2024-01-22Author
Dewi, Puspita
Khomsan, Ali
Dwiriani, Cesilia Meti
Metadata
Show full item recordAbstract
Masalah yang dihadapi negara berkembang saat ini adalah kemiskinan yang
menyebabkan akses terhadap pangan menjadi terbatas dan pada gilirannya dapat
menyebabkan tidak tercapainya ketahanan pangan yang ditunjukkan dengan
tingginya prevalensi kekurangan gizi di suatu wilayah. Kekurangan gizi di
Indonesia masih menjadi masalah utama dan salah satunya adalah stunting. Data
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 menunjukkan prevalensi stunting
di Indonesia sebesar 21,6% dan di Jawa Barat sebesar 20,2% (Kemenkes 2022).
Masalah kekurangan gizi pada balita di Indonesia terkhusus Jawa Barat perlu
mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Salah satu penyebab langsung
terjadinya kekurangan gizi adalah pola konsumsi pangan. Kebiasaan makan
masyarakat dipengaruhi oleh pangan yang tersedia di lingkungan sekitarnya atau
pangan yang dapat dibeli oleh masyarakat dan hal ini dipengaruhi oleh letak
geografis suatu daerah. Provinsi Jawa Barat memiliki topografi wilayah yang
beragam mulai dari pegunungan hingga pesisir. Karakteristik wilayah tempat
tinggal yang berbeda dapat memengaruhi akses pangan, ketersediaan pangan, dan
kebiasaan makan yang pada akhirnya memengaruhi status gizi seseorang. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko kejadian
stunting pada anak usia 12-24 bulan di wilayah agroekologi berbeda di Jawa Barat.
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional study.
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat yang terbagi atas dua wilayah,
yakni untuk pegunungan di Desa Ciloto, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur
dan pesisir di Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2023 dan telah mendapat
Persetujuan Etik dari Komisi Etik yang melibatkan subjek manusia Institut
Pertanian Bogor dengan No. 887/IT3.KEPMSM-IPB/SK/2023. Populasi dalam
penelitian ini adalah anak berusia 12-24 bulan. Total keseluruhan subjek pada
penelitian ini adalah 154 orang. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: ibu yang
memiliki anak berusia 12-24 bulan, kondisi anak sedang tidak menjalankan proses
pengobatan rutin, dan bersedia menjadi responden dalam penelitian yang
dibuktikan dengan penandatanganan lembar informed consent. Adapun kriteria
eksklusinya adalah responden tidak berada di tempat sewaktu penelitian. Data yang
dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer yang
dikumpulkan meliputi: karakteristik subjek dan keluarga, riwayat pemberian ASI
eksklusif dan MP-ASI, asupan zat gizi, keragaman pangan, riwayat penyakit infeksi,
akses pelayanan kesehatan, hygiene dan sanitasi lingkungan, dan ketahanan pangan
rumah tangga. Data pengukuran antropometri untuk mengetahui status gizi subjek
meliputi panjang badan dan berat badan. Data sekunder yang dikumpulkan adalah
data jumlah anak yang berusia 12-24 bulan dari posyandu di wilayah setempat. Data
pola konsumsi pangan meliputi asupan zat gizi dan keragaman pangan
dikumpulkan melalui food recall 1x24 jam dan kuesioner dengan indikator
Minimum Dietary Diversity dan Egg and/or Flesh Food Consumption. Data
ketahanan pangan rumah tangga menggunakan indikator Household Food
Insecurity Access Scale. Analisis data menggunakan SPSS versi 26.0 dengan
menggunakan uji deskriptif, Mann Whitney Test, Chi Square Test, uji regresi
logistik berganda, dan uji regresi linear berganda.
Hasil analisis menunjukkan bahwa subjek di pegunungan dan pesisir
dominan laki-laki (55,5% dan 50,6%). Subjek di pegunungan sebesar 63,6%
berusia 12-18 bulan dan di pesisir sebesar 50,6% berusia 19-24 bulan. Pendidikan
ayah di pegunungan sebesar 49,3% yang tamat SMA/sederajat dan universitas
sedangkan di pesisir sebesar 71,5% yang tamat SD/SMP/sederajat. Pendidikan ibu
di pegunungan sebesar 37,7% yang tamat SMA/sederajat dan universitas sedangkan
di pesisir sebesar 20,8% yang tamat SMA/sederajat dan universitas. Pekerjaan ayah
di pegunungan dan pesisir yang dominan adalah buruh/supir sebesar 40,3%.
Pekerjaan ibu di pegunungan dan pesisir dominan sebagai IRT (92,2% dan 79,2%).
Jumlah anggota keluarga yang ≤4 orang paling banyak di pesisir sebesar 59,7%.
Pengetahuan gizi ibu di pegunungan sebesar 98,7% sedangkan di pesisir sebesar
97,4% yang tergolong sedang dan tinggi. Pendapatan keluarga di pegunungan
sebesar 64,9% yang tergolong tinggi sedangkan di pesisir sebesar 87% yang
tergolong tinggi. Sejumlah 62,3% rumah tangga di pegunungan dan 81,8% rumah
tangga di pesisir mempunyai proporsi pengeluaran pangan <60% dari pengeluaran
total. Sebesar 46,8% subjek di pegunungan yang mendapatkan ASI eksklusif
sedangkan di pesisir hanya 20,8%. Sebesar 43,2% subjek di pegununga
memperoleh MP-ASI sesuai dengan anjuran, sedangkan di pesisir sebesar 22,1%
yang mendapatkan MP-ASI sesuai anjuran. Tingkat kecukupan energi, protein, zat
besi, zink, dan kalsium lebih baik di pesisir dibanding di pegunungan. Konsumsi
pangan lebih beragam di pegunungan (63,6%) dibanding di pesisir (62,3%) Subjek
yang mengalami diare di pegunungan sebesar 85,7% sedangkan di pesisir 63,6%.
Subjek yang mengalami ISPA di pegunungan sebesar 28,6% sedangkan di pesisir
hanya 18,2%. Akses pelayanan kesehatan lebih mudah di pegunungan dibanding di
pesisir. Kondisi hygiene dan sanitasi lingkungan di pegunungan yang tergolong
baik sebesar 98,7% sedangkan di pesisir hanya 68,8%. Rumah tangga di
pegunungan lebih tahan pangan (35,1%) dibanding rumah tangga di pesisir
(28,6%). Kejadian stunting lebih banyak di pegunungan yaitu sebesar 66,3%
sedangkan di pesisir hanya 39%. Faktor risiko kejadian stunting di pegunungan
adalah tingkat kecukupan zink dan tingkat kecukupan kalsium. Faktor risiko
kejadian stunting di pesisir adalah tingkat kecukupan kalsium. Faktor risiko
kejadian stunting di agroekologi berbeda adalah baduta yang tinggal di pegunungan
(OR= 2,172; 95%CI: 1,064-4,432) dan asupan kalsium baduta yang defisit (OR=
3,763; 95%CI: 1,659-8,533), sedangkan pendidikan ibu rendah sebagai faktor
protektif (OR= 0,615; 95%CI: 0,395-0,958).
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk pemerintah melakukan
intervensi sesuai dengan permasalahan yang ada di masing-masing daerah dan
penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian dengan desain yang
berbeda contohnya adalah desain kohort dan juga pada penelitian ini terdapat
beberapa variabel yang belum diteliti yang kemungkinan menjadi faktor risiko
kejadian stunting seperti variabel riwayat BBLR, status imunisasi, dan riwayat
kesehatan ibu saat hamil yang bisa dijadikan variabel pada penelitian selanjutnya.
Collections
- MT - Human Ecology [2399]
