Pengembangan Agroindustri Minyak Goreng Kelapa dengan Pendekatan Life Cycle Sustainability Assessment
View/ Open
Date
2024-01-22Author
Puspaningrum, Tyara
Yani, Mohamad
Indrasti, Nastiti Siswi
Indrawanto, Chandra
Metadata
Show full item recordAbstract
Minyak kelapa merupakan salah satu produk turunan kelapa dengan jumlah produksi dan ekspor tertinggi di antara produk lain. Agroindustri minyak goreng kelapa berperan penting dalam perekonomian rakyat, khususnya pada skala usaha kecil menengah (UMKM). Untuk mengembangkan agroindustri minyak goreng kelapa yang berkelanjutan, diperlukan analisis tingkat keberlanjutan pada kondisi saat ini dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial. Life cycle assessment (LCA), life cycle costing (LCC), dan social life cycle assessment (SLCA) digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan, dampak ekonomi, dan dampak sosial baik positif maupun negatif dari agroindustri minyak goreng kelapa.
Metode yang digunakan pada LCA, LCC, dan SLCA mengacu pada kerangka kerja berdasarkan ISO 14040:2006 yang terdiri atas tahapan penentuan tujuan dan ruang lingkup, analisis inventori, analisis dampak, dan interpretasi hasil. Lingkup yang dikaji pada penelitian ini dibatasi pada gate-to-gate, yaitu hanya berfokus pada proses produksi minyak goreng kelapa proses basah mulai dari transportasi kelapa butir dari kebun ke pabrik minyak kelapa kasar (MKK), ekstraksi minyak atau produksi MKK, transportasi MKK ke pabrik minyak goreng kelapa (MGK), dan pemurnian minyak atau produksi MGK. Studi kasus dilakukan pada salah satu UMKM produsen MGK di Purworejo, Jawa Tengah dan produsen MKK di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kondisi saat ini agroindustri minyak goreng kelapa memiliki dampak lingkungan antara lain: GWP 1,44 kg CO2 eq; EP 1,71x10-3 kg PO43- eq; AP 3,71x10-2 kg SO2 eq, ODP 1,04x10-7 kg CFC-11 eq, dan CED 19,35 MJ. Hasil LCC pada agroindustri minyak kelapa dengan unit fungsi 1 kg produk minyak goreng kelapa menunjukkan nilai biaya transportasi Rp1.324, biaya energi Rp817, biaya investasi Rp811, biaya manajemen Rp11.715, dan harga jual produk Rp26.000. Sementara itu agroindustri minyak goreng kelapa memiliki dampak sosial positif pada pemangku kepentingan pekerja, komunitas lokal, dan pelaku rantai pasok dengan nilai rata-rata 4,2, 4,3, dan 3,5 secara berturut-turut. Hotspot dari ketiga kajian tersebut yaitu pada penggunaan energi dan air, transportasi, keamanan dan kesehatan pekerja, serta hubungan rantai pasok. Hal tersebut menjadi dasar disusunnya tiga skenario perbaikan dengan pendekatan konsep produksi bersih (cleaner production). Skenario 1 melakukan penghematan untuk efisiensi energi dan air serta penyediaan alat pelindung diri (APD) bagi para pekerja. Penghematan diasumsikan mampu menurunkan konsumsi energi hingga 10% dan konsumsi air 50%. Skenario 2 merupakan penerapan skenario 1 dengan penggabungan manajemen UKM MGK dengan produsen MKK dalam satu manajemen koperasi. Skenario 3 merupakan gabungan skenario 2 dan penggabungan tempat produksi MKK dan MGK dalam satu lokasi untuk mengurangi dampak transportasi.
Analisis keberlanjutan dimensi lingkungan, ekonomi, dan sosial dari agroindustri minyak kelapa dilakukan dengan pendekatan life cycle sustainability assessment (LCSA) dengan tools multikriteria analisis menggunakan model fuzzy inference system (FIS) dua repetisi. Model FIS pertama dilakukan untuk menilai tingkat keberlanjutan dari masing-masing dimensi lingkungan, ekonomi, dan sosial. Model FIS kedua digunakan untuk menilai tingkat keberlanjutan agroindustri minyak goreng kelapa berdasarkan data dari keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Tingkat keberlanjutan lingkungan tertinggi yaitu pada skenario 3 (91,99), tingkat keberlanjutan ekonomi tertinggi pada skenario 1 (55,40), dan tingkat keberlanjutan sosial tertinggi pada skenario 1 (76,46). Hasil agregasi ketiga dimensi menunjukkan nilai keberlanjutan agroindustri minyak goreng kelapa kondisi saat ini atau eksisting memiliki nilai 50 yang artinya hampir berkelanjutan sedangkan nilai keberlanjutan tertinggi dari opsi lainnya yaitu pada kondisi skenario 3 sebesar 75 dengan klasifikasi berkelanjutan.
Penelitian ini menghasilkan kebaruan (novelty) berupa dihasilkannya nilai dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial dari agroindustri minyak goreng kelapa melalui metode LCA, LCC, dan SLCA dalam lingkup gate-to-gate. Selain itu penelitian ini mampu mengintegrasikan hasil LCA untuk dimensi lingkungan, LCC untuk dimensi ekonomi, dan SLCA untuk dimensi sosial melalui pendekatan LCSA dengan model Fuzzy Inference System for Life Cycle Sustainability Assessment of Coconut Oil (FILCSACO) untuk menilai keberlanjutan agroindustri minyak goreng kelapa. Dari hasil tersebut juga direkomendasikan alternatif pengembangan konsep agroindustri minyak goreng kelapa yang lebih berkelanjutan dengan skema agroindustri kelapa terpadu yang mengintegrasikan produksi minyak goreng kelapa dan produk turunan dari berbagai produk samping seperti sabut, tempurung, air kelapa skim santan, ampas kelapa, dan blondo. Integrasi produksi produk turunan kelapa dapat menurunkan dampak lingkungan dari limbah yang tidak tertangani, meningkatkan nilai tambah produk samping, dan meningkatkan keterlibatan tenaga kerja lokal dalam kegiatan produksinya.
Saran untuk penelitian lanjutan yaitu dengan memperluas lingkup kajian menjadi cradle-to-grave mulai dari tahapan budi daya tanaman kelapa, produksi minyak goreng kelapa, distribusi produk ke retailer, konsumsi produk, sampai pembuangan (end of life product). Selain itu perlu dorongan dari para pemangku kebijakan dalam menetapkan standar keberlanjutan terkait produk turunan kelapa khususnya minyak kelapa sehingga diperoleh rentang indikator keberlanjutan yang lebih pasti. Pengembangan agroindustri minyak kelapa berkelanjutan juga dapat diintegrasikan dengan konsep agroindustri kelapa terpadu, agroindustri sistem tertutup, dan ekonomi sirkular. Coconut oil is one of the coconut derivative products with the highest amount of production and export among other products. The coconut cooking oil agroindustry is essential to the people's economy, especially in the small and medium-scale enterprises (MSMEs). To develop a sustainable coconut cooking oil agroindustry, it is necessary to analyze the level of sustainability in current conditions by considering environmental, economic, and social aspects. Life cycle assessment (LCA), life cycle costing (LCC), and social life cycle assessment (SLCA) are used to evaluate the environmental impact, economic impact, and social impact, both positive and negative, of the coconut cooking oil agroindustry.
The methods used in LCA, LCC, and SLCA refer to a framework based on ISO 14040:2006, which consists of stages of determining objectives and scope, inventory analysis, impact analysis, and interpretation of results. The scope studied in this research is limited to gate-to-gate, namely only focusing on the wet process coconut cooking oil production process starting from the transportation of coconut grains from the plantation to the crude coconut oil (CNO) factory, oil extraction or CNO production, CNO transportation to the coconut cooking oil (CCO) factory, and oil refining or CCO production. The case study was conducted on one MSME producer of CCO in Purworejo, Central Java, and a producer of CNO in Kulon Progo, Special Region of Yogyakarta.
The current condition of the coconut cooking oil agroindustry has environmental impacts, including GWP 1.44 kg CO2 eq; EP 1,71x10-3 kg PO43- eq; AP 3,71x10-2 kg SO2 eq, ANS 1.04x10-7 kg CFC-11 eq, and CED 19.35 MJ. The LCC results for the coconut oil agroindustry with a functional unit of 1 kg of coconut cooking oil product show a value of transportation costs of IDR 1,324, energy costs of IDR 817, investment costs of IDR 811, management costs of IDR 11,715, and product selling price of IDR 26,000. Meanwhile, the coconut cooking oil agroindustry has a positive social impact on worker stakeholders, local communities, and supply chain actors, with an average value of 4.2, 4.3, and 3.5, respectively. The hotspots of the three studies are energy and water use, transportation, worker safety and health, and supply chain relationships. The hotspots became the basis for preparing three improvement scenarios using the cleaner production approach. Scenario 1 makes savings for energy and water efficiency as well as providing personal protective equipment (PPE) for workers. The savings are assumed to reduce energy consumption by up to 10% and water consumption by 50%. Scenario 2 applies scenario 1 by combining the management of CCO SMEs with CNO producers in one cooperative management. Scenario 3 combines scenario 2 and CNO and CCO production sites in one location to reduce transportation impacts.
The sustainability of the coconut oil agroindustry's environmental, economic, and social dimensions is analyzed using the approach life cycle sustainability assessment (LCSA) with multi-criteria analysis tools using Fuzzy Inference System for Life Cycle Sustainability Assessment of Coconut Oil (FILCSACO) model. The first FIS model was carried out to assess the level of sustainability of each environmental, economic, and social dimension. The second FIS model is used to assess the level of sustainability of the coconut cooking oil agroindustry based on data from environmental, economic, and social sustainability. The highest level of environmental sustainability is in scenario 3 (91.99), the highest level of economic sustainability is in scenario 1 (55.40), and the highest level of social sustainability is in scenario 1 (76.46). The results of the aggregation of the three dimensions show that the sustainability value of the coconut cooking oil agroindustry in the current or existing condition is a value of 50, which means it is almost sustainable. In contrast, the highest sustainability value of the other options is in scenario 3 conditions of 75 with a sustainable classification.
This research produces novelty (novelty) in generating environmental, economic, and social impact values from the coconut cooking oil agroindustry through LCA, LCC, and SLCA methods within the scope of gate-to-gate. In addition, this research can integrate the results of LCA for the environmental dimension, LCC for the economic dimension, and SLCA for the social dimension through the LCSA approach with the multi-level FIS multi-criteria assessment model to assess the sustainability of the coconut cooking oil agroindustry. From these results, it is also recommended to develop an alternative concept for developing a more sustainable coconut cooking oil agro-industry concept with an integrated coconut agro-industry scheme that integrates the production of coconut cooking oil and derivative products from various by-products such as coir, shell, skimmed coconut water, coconut dregs, and blondo. Integrating the production of coconut derivative products can reduce the environmental impact of untreated waste, increase the added value of by-products, and increase the involvement of local workers in production activities.
Suggestions for further research are to expand the scope of the study to cradle-to-grave, starting from the stages of coconut cultivation, coconut cooking oil production, product distribution to retailers, product consumption, and disposal (end-of-life product). Apart from that, there needs to be encouragement from policymakers in setting sustainability standards related to coconut derivative products, especially coconut oil, so that a more certain range of sustainability indicators is obtained. Developing sustainable coconut agroindustry can also be integrated with the concepts of integrated coconut agroindustry, closed system agroindustry, and circular economy.