Ekonomi Pengelolaan Hutan Lestari Didalam Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Kehutanan Oleh Hutan Tropis Indonesia
Abstract
Di dalam kesepakatan internasional tentang upaya mengatasi persoalan perubahan iklim, pengelolaan
hutan lestari (SFM) merupakan salah satu mekanisme di dalam kerangka REDD+. Di Indonesia
pengelolaan hutan alam, untuk menghasilkan kayu dilakukan sejak tahun 70an; konsep kelestarian
hasil kayu diimplementasikan oleh perusahaan pemegang konsesi. Secara konsepsional pengaturan
hasil kayu, diharapkan mencapai kelestarian; namun pada kenyataannya imlementasi di lapangan
praktek pengelolaan hutan itu masih menghadapi berbagai kendala. Dari tahun 2002 sampai tahun 2011,
hutan bersertifikat hanya 32% dari total hutan yang dikelola 22.710.256 ha. Ada 140 unit manajemen
yang memiliki sertifikasi SFM, diantaranya 31 unit memiliki performance SFM kategori baik, 35 unit
memiliki kategori sedang, sedangkan 74 unit masa berlaku sertifikasinya habis. Sertifikasi
pengelolaan hutan alam secara voluntary, yaitu sebanyak 6 unit, luas 1.102.053 ha. Pada unit
manajemen usaha hutan tanaman, sertifikasi secara mandatory dilakukan pada 90 unit, dengan luas
4.914.301 ha, yaitu 49% dari luas total. Dari 90 unit itu, 19 unit dinyatakan memperoleh sertifikat
kategori baik, dan sisanya 71 unit sertifikat yang dibuat sudah tidak berlaku. Unit manajemen hutan
tanaman industri yang telah memiliki sertifikat voluntary 2 unit mencakup luas 419.829 ha.
Kajian “Analisis Kerangka Insentif Ekonomi Pengelolaan Hutan Lestari sebagai Pilihan Penting dalam
Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Hutan untuk Mengurangi Emisi dari dan oleh Hutan Tropis”,
menganalisis insentif ekonomi yang diperoleh pengelolaan hutan lestari, melalui potensi perdagangan
karbon melalui skema REDD+. Secara umum kajian ini akan menjawab dua masalah yaitu: 1) Apakah ada
perbedaan reduksi karbon antara unit manajemen (UM) yang SFM dan Non-SFM? 2) Apakah ada potensi
insentif karbon yang berbeda antara UM yang SFM dan Non SFM? Dalam studi diambil tiga contoh unit
manajemen yang memperoleh sertifikasi pengelolaan hutan lestari (dengan kode SFM-1, SFM-2 dan
SFM-3). Sedangkan, unit manajemen contoh yang belum memperoleh sertifikasi pengelolaan hutan
lestari diambil empat unit (dengan kode Non SFM-1, Non SFM-2, Non SFM-3, Non SFM-4). Pada kajian
ini dilakukan analisis 1) Kelestarian produksi dan kesehatan keuangan perusahaan, 2) Kemampuan
reduksi emisi karbon, 3) Potensi supply karbon hutan alam, 4) Manfaat SFM kepada sector private dan
public dan kerangka insentif ekonomi.
Hasil analisis kelestarian produksi menggunakan kriteria rasio produksi terhadap AAC dan
kecenderungannya, menunjukkan perbedaan antara unit SFM dan Non SFM. Unit SFM mampu mempertahankan
kelestarian produksi, angka rasio berkisar antara 0,45-0,65 stabil dalam jangka panjang. Pada unit
Non SFM
memiliki kecenderungan produksi semakin menurun, pada tahun 90an angka rasio
ii
0,4-0,85, dan tahun 2011 menurun menjadi 0,1-0,4; ini berarti terjadi penurunan
stok tegakan, sehingga produksi tahunan menjadi menurun, yang semakin kecil dibandingkan dengan
potensi tegakan pada waktu awal pengelolaan. Dari sisi kemampuan memperoleh profit, unit SFM
memperoleh profit dan sebaliknya unit Non SFM cenderung mengalami rugi. Kinerja kesehatan keuangan
perusahaan antara unit SFM dan Non SFM bervariasi, namun secara umum unit manajemen
SFM dan Non SFM mengalami kesulitan modal kerja (likuiditas).
Collections
- Forest Management [206]