dc.description.abstract | Ada problem atau bahkan Krisis mondial yang semakin memprihatinkan perihal
kelangkaan pangan dan bahan bakar (energi) dunia, terutama dipicu oleh tatanan
dunia (world order) yang timpang alias tidak adil. Belum lagi oleh kelangkaan energi
yang disumbang oleh adanya peperangan yang melibatkan negara-negara adidaya,
dalam hal ini Rusia versus Ukraina (yang didukung oleh negara-negara Eropa
anggota aliansi pertahanan Atlantik Utara/NATO dan Amerika Serikat). Pertanyaan
eksistensialnya dalam konteks ini adalah: apa yang hendak dan bisa dicapai oleh
suatu masyarakat apabila sumber primer kehidupan itu sendiri mengalami
kelangkaan yang serius ?.
Persoalan genting di aras global ini bila ditarik ke aras domestik maka gambarannya
mirip atau sejajar, artinya ada elit sosial terbatas yang mendominasi sumber-sumber
energi dan di sisi lain ada mayoritas masyarakat yang mengalami kelangkaan
energi. Pemecahannya tentu saja tidak cukup di seputar jawaban-jawaban yang
bersifat teknologis dan ekonomis semata. Dengan kata lain, ia hanya terbatas
melibatkan soal desain kebijakan untuk mengupayakan ketersediaan sumberdaya
alternatif dan sistem distribusi energi yang dirasa lebih adil, namun abai dari urgensi
kebutuhan kritisnya yaitu jawaban politis. Gerung (2008) menyebut pengaturan
sosial dalam hal ini, memerlukan imperatif nilai, yaitu kelembagaan sosial yang bisa
menjamin kehidupan bersama dengan keadilan sosial sebagai basis nilai pokoknya.
Dalam kaitan itu prasyarat minimal penguasaan atas sumber primer
kehidupan (baca; sumber agraria) yang mesti diwujudkan dalam menyelenggarakan
kehidupan bersama perlu dinyatakan sebagai hak asazi. Mengapa, karena
bagaimana mungkin suatu kehidupan sosial diselenggarakan bila dasar material
hanya didefinisikan sebagai ‘komoditas’. Dalam kategori terakhir yang sangat
ekonomistik itu, akses terhadap sumber primer kehidupan hanya menjadi fungsi
dari faktor-faktor non asazi, yaitu daya beli dan daya konsumsi seseorang. Artinya
aturan alamiah tentang kebutuhan energi tidak lagi ditentukan oleh jumlah kalori
yang ia perlukan untuk bekerja atau berpikir, melainkan oleh pola konsumsi dan
daya belinya.
Problem energi, yang menyangkut pangan dan bahan bakar ini, dengan segala
dampak dan implikasinya membawa kita pada telaah tentang apa, mengapa, dan
bagaimana birokrasi pemerintahan membangun dan menjalankan tata pengaturan
sumber-sumber agraria (agrarian polity) di Indonesia. Dalam hal ini bagaimana
menyandingkan kiprahnya yang bertumpu pada rasionalisasi Masyarakat (sebagai
warga negara) perihal hak atas tanah dan perlindungan hukumnya sebagai tanah
milik dengan narasi-narasi lain menyangkut soal keadilan, kesetaraan sosial,
demokrasi, keterbukaan dan akuntabilitas , serta keberlanjutan Pembangunan
(SDG’S). .. | id |