Evaluasi pemanfaatan wakaf pertanian terhadap pendapatan petani penggarap di Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur
Abstract
Kesejahteraan petani yang masih rendah serta tingginya angka kemiskinan merupakan pokok permasalahan pembangunan pertanian di Indonesia. Kesejahteraan petani dipengaruhi salah satunya oleh luas lahan yang dikuasai. Sebagian besar petani mengusahakan lahan yang relatif sempit dan merupakan petani gurem (pemilikan lahan <1 hektar). Yang menjadi permasalahan dalam ketersediaan lahan pertanian saat ini adalah karena adanya peralihan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan, pusat perbelanjaan, bangunan kantor atau bangunan lain yang tidak mendukung kegiatan pertanian, akibatnya petani tunakisma cenderung bertambah dan akumulasi penguasaan lahan pada satu tangan banyak terjadi (Jamal, 2000). Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pola peruntukan lahan melalui reformasi agraria (Agrarian Reform) belum dilaksanakan dengan optimal akibat kurangnya kerjasama antara pemerintah, pemilik tanah dan petani.
Terdapat satu kebijakan dari sistem ekonomi syariah berkaitan dengan ketersediaan lahan pertanian, yaitu kegiatan pemanfaatan tanah wakaf produktif. Sejak munculnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan mulai dan terus dibenahi dengan melakukan pembaharuan- pembaharuan di bidang pengelolaan dan paham wakaf secara umum. Salah satunya, pemanfaatan tanah wakaf produktif yang diaplikasikan untuk kegiatan pertanian. Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur merupakan salah satu daerah penerapan program tersebut. Jumlah penduduk yang sebagian besar bekerja di bidang pertanian serta terjadinya konversi lahan sawah yang cukup besar. Selain itu, jumlah tanah wakaf pertanian yang mencapai 19 ha merupakan potensi yang diharapkan tanah wakaf ini dapat menjadi alternatif yang dapat membantu petani terutama dalam penyediaan lahan garapan pertanian dan pada akhirnya akan berdampak terhadap tingkat pendapatan petani penggarap.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kegiatan pemanfaatan tanah wakaf pertanian di Kabupaten Bojonegoro. Selain itu juga mengevaluasi program terhadap pendapatan petani penggarap dilihat dari pendapatan usahataninya dan menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas usahatani padi yang menunjukkan penggunaan input produksi untuk meningkatkan hasil dan pendapatan. Evaluasi ini diperlukan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan program yang ditunjukkan oleh peningkatan kesejahteraan petani.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi bagi petani penggarap dan pihak nazhir (pengelola tanah wakaf) selaku peserta dan pelaksana program. Bagi pihak pemerintah, diharapkan penerapan kegiatan ini dapat dijadikan sebagai suatu bentuk rekomendasi kebijakan permodalan lahan khususnya bagi petani penggarap yang sangat bergantung pada ketersediaan lahan garapan, di samping juga dalam rangka pengembangan kegiatan tanah wakaf produktif.
Pemilihan lokasi dan responden dilakukan secara purposive (sengaja) berdasarkan jumlah lokasi tanah wakaf terbesar dan karakteristik usahatani yang terdapat di lokasi penelitian. Data yang diambil berupa data cross section, yaitu data produksi dan biaya selama satu musim tanam dari bulan Desember 2006 hingga April 2007 (satu musim tanam). Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang yang dianggap dapat mewakili karakteristik usahatani petani yang terdapat pada kegiatan pemanfaatan tanah wakaf pertanian. Pengolahan data secara deskriptif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik responden, pengelolaan tanah wakaf di lokasi penelitian dan analisis pendapatan usahatani. Analisis inferensia digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usahatani padi dan diperoleh dengan bantuan
Microsoft Excel dan software MINITAB 14. Rentang umur petani responden terbanyak terdapat antara 36-50 tahun yaitu sebesar 53,34 persen dengan rata-rata umur 47 tahun dengan yang memiliki tingkat pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) sebesar 40 persen, walaupun ada juga beberapa yang tidak sekolah. Pengalaman petani dalam berusahatani padi sebanyak 73,33 persen responden berkisar antara 20-50 tahun, sedangkan dalam pengalaman dalam menggarap tanah wakaf, sebesar 53,33 persen responden menjawab sudah lebih dari 5 musim tanam. Luas lahan wakaf yang digarap petani responden rata-rata sekitar 2331,57 m² atau 0,23 ha. Petani responden sekitar 50 persen menggarap luas lahan dalam rentang 2000 hingga 3400 m² dan sekitar 60 persen pengelolaan tanah wakaf sendiri dilakukan dengan sistem bagi hasil. Menurut irigasinya, jenis sawah beririgasi lebih banyak dikelola oleh petani, yaitu sebesar 86,67 persen. Secara umum, petani sangat mendukung kegiatan pemanfaatan tanah wakaf pertanian ini, hal ini disebabkan karena kemudahan dan keringanan yang diterima petani penggarap.
Sumber tanah wakaf pertanian sebagian besar berasal dari perseorangan dan awalnya sudah dalam bentuk sawah. Nazhir organisasi merupakan nazhir yang paling banyak mengelola tanah wakaf pertanian, diantaranya yaitu Muhammadiyah dan NU, selain itu juga terdapat nazhir yayasan (badan hukum) dan nazhir perseorangan. Sebagian besar tanah wakaf memiliki sertifikat perwakafan tanah yang digunakan untuk melindungi harta wakaf agar tidak dapat diperjual belikan dan tidak ada sengketa perebutan tanah. Dilihat dari sistem pengelolaan tanah wakaf, sistem bagi hasil cenderung lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan sistem sewa. Sistem bagi hasil dilakukan untuk lokasi yang kurang subur atau letaknya jauh dari sumber air, sehingga penerapan sistem sewn pada kondisi lahan yang seperti ini tidak dilakukan karena dikhawatirkan dapat merugikan petani. Berdasarkan sistem irigasi dan status lahannya, terdapat tiga karakteristik usahatani dari responden yang didapat, yaitu usahatani padi sawah tadah hujan bagi hasil, usahatani padi sawah beririgasi sewa dan usahatani padi sawah beririgasi bagi hasil. Usahatani sawah tadah hujan sewa tidak ditemui dari karakteristik usahatani petani responden...
Collections
- UT - Management [3455]