Estimasi nilai klaim kerusakan ekosistem padang lamun dengan metode habitat equivalency analysis: studi kasus Pantai Barat Teluk Banten, Kecamatan Bojonegara
Abstract
Aktivitas manusia di kawasan pesisir khususnya pembangunan telah
berdampak pada penurunan luas ekosistem padang lamun. Penurunan ini
berdampak pada penurunan jasa ekologi yang dihasilkan ekosistem tersebut. Jasa
ekologi yang hilang yaitu seperti hilangnya tempat pemijahan beberapa jenis ikan
ekonomis sehingga nilai ekonomi perikanan pun akan hilang, hilangnya habitat
siput yang bisa dimanfaatkan untuk membuat kerajinan tangan, dan hilangnya
sumber makanan dugong. Dengan demikian, hilangnya jasa ekologi padang lamun
akan berpengaruh pada nilai ekonomi dari padang lamun tersebut.
Kawasan barat Teluk Banten merupakan kawasan padang lamun terluas di
Indonesia. Hasil pemetaan yang dilakukan oleh Kiswara pada tahun 1999
memperkirakan luas padang lamun di Teluk Banten sekitar 366,9 ha dengan luas
247 ha terdapat di perairan Pantai Barat Teluk Banten (PBTB). Pengembangan
PBTB menjadi kawasan andalan yang salah satu fungsinya sebagai pusat industri
merupakan ancaman yang nyata terhadap keberadaan ekosistem padang lamun.
Hal ini terbukti dari hilangnya luasan padang lamun di kawasan tersebut.
Hal inilah yang mendorong untuk mengkaji kerusakan padang lamun baik
dari sisi ekologi maupun nilai ekonominya. Tujuan utama penelitian ini adalah
mengestimasi nilai klaim kerusakan ekosistem padang lamun di PBTB baik secara
ekologi maupun ekonomi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu: (1)
mengidentifikasi luas padang lamun yang rusak dan penyebabnya, (2)
mengestimasi luas padang lamun yang harus dikompensasi akibat kerusakan
dengan metode Habitat Equivalency Analysis (HEA) dan (3) mengestimasi nilai
klaim kerusakan padang lamun dari sisi present value manfaat yang hilang dan
biaya restorasi padang lamun. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu
informasi bagi stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem
padang lamun ataupun pesisir.
Penelitian ini dilakukan di PBTB, tepatnya wilayah yang termasuk dalam
Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Luas padang lamun
di kawasan ini telah berkurang seluas 23.88 ha atau sekitar 68.5% semenjak tahun
1989 hingga tahun 2006. Reklamasi pantai yang sebagain besar untuk
kepentingan industri merupakan faktor utama yang diduga menjadi penyebab
rusaknya padang lamun. Berdasarkan pengolahan data dengan metode HEA maka
luas padang lamun yang harus dikompensasi atau klaim secara ekologi jika suku
bunga yang digunakan 6.5% dan waktu restorasi padang lamun dua, lima dan 10
tahun yaitu seluas 81.6, 85.1 dan 106.1 ha. Penggunaan suku bunga 8.3% dengan
waktu restorasi selama dua, lima dan 10 tahun menghasilkan luas padang lamun
yang harus dikompensasi seluas 103.9, 109.5 dan 144,2 ha. Luas yang harus
dikompensasi jika tingkat suku bunga yang dipakai sebesar 12% dengan waktu
resorasi dua, lima dan 10 tahun yaitu seluas 171.6, 184.4 dan 270.1 ha.
Semua skenario yang digunakan menunjukkan bahwa luas padang lamun
yang harus dikompensasi lebih besar dari total luas padang lamun yang rusak pada
periode tahun 1989-2006 yaitu seluas 23.88 ha. Keadaan ini menunjukkan bahwa
v
adanya jasa ekologi yang hilang akibat rusaknya padang lamun dalam periode
tahun tersebut (interim loss) yang harus dikompensasi atau diganti rugi pada saat
klaim dilakukan. Hasil pengolahan data pun menunjukkan bahwa semakin tinggi
suku bunga yang dipakai dan semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh padang
lamun untuk pulih pada kondisi awalnya maka luas yang harus dikompensasi akan
semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa preferensi positif untuk
mengeksploitasi sumberdaya di masa lalu akan meningkatkan biaya ganti rugi
yang harus ditanggung di masa sekarang.
Nilai klaim kerusakan ekosistem padang lamun dari sisi ekonomi dengan
skenario suku bunga 6.5% dan waktu restorasi selama dua, lima dan 10 tahun
yaitu sebesar Rp. 470,780,047,285; Rp. 493,634,879,154 dan
Rp. 544,518,233,375. Penggunaan suku bunga 8.3% dan skenario restorasi selama
dua, lima dan 10 tahun menghasilkan nilai klaim sebesar Rp. 551,662,561,107;
Rp. 576,756,455,545 dan Rp. 619,303,328,810. Penggunaan suku bunga 12% dan
skenario restorasi selama dua, lima dan 10 tahun menghasilkan nilai klaim sebesar
Rp. 776,395,044,426; Rp. 808,891,680,261 dan Rp. 830,022,382,811. Hubungan
antara suku bunga dan lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses restorasi
dengan nilai klaim kerusakan padang lamun adalah positif. Artinya semakin tinggi
suku bunga dan semakin lama periode waktu restorasi maka nilai klaim kerusakan
akan semakin besar. Hal ini menggambarkan penghargaan yang rendah terhadap
sumber daya (suku bunga tinggi) dan lamanya waktu yang dibutuhkan padang
lamun untuk pulih harus dikompensasi yang semakin tinggi seiring dengan
kenaikan dua komponen tersebut.