Analisis pola pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar wilayah di Provinsi DKI Jakarta
View/ Open
Date
2010Author
Hafsari, Nurul Anissa
Purnamadewi, Yeti Lis
Metadata
Show full item recordAbstract
Pembangunan di Provinsi DKI Jakarta secara umum telah berlangsung
secara berkesinambungan, namun bukan berarti secara sektoral dan spasial
wilayah ini sudah merata secara utuh. Perbedaan PDRB perkapita, laju
pertumbuhan ekonomi, dan angka kemiskinan yang cukup berbeda antar wilayah
administratifnya, menggambarkan bahwa ketimpangan antar wilayah di provinsi
ini masih ada dan bersifat persistent. Meskipun pada kenyataanya, ketimpangan
dalam suatu region tidak mungkin dihilangkan melainkan hanya dapat dikurangi
sampai pada tingkat yang diterima oleh suatu sistem sosial tertentu (Basri, 1995).
Apabila ketimpangan antar daerah ini melebihi batas sosial, maka hal tersebut
dapat memicu ketidakstabilan politik yang dapat menimbulkan masalah sosial
lainnya. Ketimpangan di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat dari adanya perbedaan
potensi sektor-sektor yang dimiliki oleh setiap wilayah administratifnya, dimana
sektor keuangan yang merupakan penyumbang terbesar bagi PDRB DKI Jakarta
(29 persen) hanya terkonsentrasi di wilayah Jakarta Selatan (29,6 persen) dan
Jakarta Pusat (45,3 persen). Selain itu, sektor ini ternyata hanya mampu menyerap
7 persen saja jumlah tenaga kerja DKI Jakarta, sehingga sektor keuangan mampu
memberikan pendapatan yang besar bagi kedua wilayah administrartif tersebut.
Selanjutnya sektor perdagangan yang merupakan penyumbang terbesar kedua
bagi pembentukan nilai PDRB DKI Jakarta (21,70) persen cukup merata
penyebarannya di setiap wilayah administratif, kecuali Kabupaten Kepulauan
Seribu dan sektor ini mampu menyerap lebih dari 37 persen tenaga kerja DKI
Jakarta (BPS, 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis pola pertumbuhan ekonomi
sektoral dan spasial serta pengklasifikasiannya di Provinsi DKI Jakarta menurut
analisis Tipologi Klassen. 2) Menganalisis tingkat ketimpangan regional dan trend
ketimpangan antar wilayah di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan indeks
Williamson. 3) Menganalisis korelasi antara peningkatan PDRB per kapita dengan
ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan alat
analisis Tipologi Klassen sektoral dari tahun 2005-2007 dan Tipologi Klassen
spasial dari tahun 2001-2008, indeks ketimpangan antar wilayah dengan
menggunakan formulasi Williamson, dan Korelasi Pearson dengan delapan tahun
amatan yakni tahun 2001-2008.
Berdasarkan analisis Tipologi Klassen sektoral perkabupaten/kota di DKI
Jakarta maka didapatkan bahwa pada umumnya sektor tersier adalah sektor
unggulan yang dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta dan setiap wilayah
administratifnya, hal tersebut sesuai dengan keinginan pemerintah DKI Jakarta
yang menginginkan provinsi ini menjadi kota jasa. Pendekatan kedua yang
dilakukan dalam analisis tipologi Klassen adalah pendekatan spasial seperti yang
diutarakan oleh Sjafrizal (1997). Pada periode 2001-2004, hanya Kota Jakarta
Pusat menempati kuadran sektor yang maju dan berkembang pesat. Selanjutnya,
pada periode 2005-2008 adalah periode dimana perekonomian cukup sulit,
dimana harga minyak dunia melambung sangat tinggi. Kondisi ini memaksa
pemerintah mengurangi subsidi BBM, sehingga harga minyak meningkat yang
memicu terjadinya inflasi dan berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok.
Hal demikian menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat, masyarakat
miskin semakin terpuruk dan ketimpangan semakin meningkat. Namun kondisi itu
hanya berdampak sampai tahun 2007, fenomena lainnya adalah pada tahun 2007-
2008 terjadi pembangunan perkantoran dan pemukiman penduduk di wilayah
Jakarta Selatan dan Jakarta Barat sehingga populasi penduduk di kedua wilayah
ini memgalami peningkatan tajam dibandingkan periode 2001-2004. Sehingga
dari sisi ekonomi secara spasialpun mengalami sedikit perubahan. Dimana kedua
wilayah tersebut yang pada awalnya menempati kuadran daerah yang masih bisa
berkembang pesat dan kuadran daerah jenuh pada periode 2005-2008 berubah
menjadi wilayah yang relatif tertinggal.
Selanjutnya, dari sisi ketimpangan regional pada awal tahun analisis nilai
indeks ketimpangan antar wilayah di Provinsi DKI Jakarta berada pada taraf
tinggi, yakni 0,555. Sedangkan pada tahun 2002, nilai indeks ketimpangan
menunjukkan penurunan tipis yang menandakan bahwa telah terjadi peningkatan
pemerataan antar kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta sebesar 0,021. Pada
tahun 2003, indeks Williamson kembali meningkat 0,01 yang menandakan
ketimpangan pendapatan antar daerah kembali meningkat. Demikian halnya pada
tahun 2004 indeks ketimpangan mengalami kenaikan hingga menjadi 0,554.
Tahun 2005 indeks ketimpangan melonjak cukup tinggi sebesar 0,024 yang
menandakan ketimpangan pendapatan antar daerah semakin meningkat. Pada
tahun ini terjadi peningkatan harga BBM, imbas dari kenaikan harga BBM
tersebut paling besar berdampak pada daerah perkotaan. Sehingga perbedaan
antara daerah maju dengan daerah-daerah tertinggal di DKI Jakarta semakin
tinggi. Tahun 2006, indeks ketimpangan kembali mengalami penurunan menjadi
0,571. Hal tersebut menandakan bahwa ketimpangan antar daerah kembali
mengalami penurunan, meskipun pada tahun 2006 jumlah warga miskin di DKI
Jakarta melonjak naik. Pada tahun 2007 dan 2008 indeks ketimpangan mengalami
kenaikan lagi masing-masing menjadi 0,576 dan 0,581 berarti ketimpangan
semakin melebar di DKI Jakarta. Hal demikian disebabkan oleh krisis ekonomi
global yang juga berdampak terhadap Provinsi DKI Jakarta.
Hasil korelasi antara peningkatan PDRB perkapita dan indeks
ketimpangan Williamson membuktikan bahwa hubungan antara PDRB perkapita
dengan ketimpangan antar daerah di DKI Jakarta adalah positif dan memiliki
hubungan kuat. Sehingga semakin tinggi PDRB perkapita di DKI Jakarta, maka
ketimpangan antar wilayahnya akan semakin tinggi pula. Berdasarkan koefisien
determinan, didapatkan pula bahwa kontribusi peningkatan PDRB perkapita
dalam menyebabkan ketimpangan di DKI Jakarta adalah sebesar 68 persen,
sementara sisanya disebabkan oleh faktor-faktor lainnya.