Profil beberapa bakteri patogen dan kajian risiko kuantitatif Listeria monocytogenes di dalam sushi
Abstract
Perubahan gaya hidup menuntut ketersediaan pangan cepat saji, menjadikan sushi sebagai salah satu makanan yang digemari. Di samping itu, persepsi konsumen terhadap sushi sebagai pangan kaya nutrisi dan sehat, merupakan nilai tambah sehingga jumlah tempat penjualan sushi semakin meningkat khususnya di kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek). Sebagai pangan siap saji yang langsung dikonsumsi, penggunaan bahan baku mentah yaitu ikan menjadikan sushi sangat rentan terhadap bahaya bakteri patogen seperti Listeria monocytogenes, Salmonella, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan sebagainya. Keberadaan patogen di dalam sushi menimbulkan risiko munculnya penyakit pada konsumen yang mungkin dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Di Indonesia, informasi tentang keberadaan patogen di produk sushi sangat terbatas. Tetapi keberadaan bakteri Enterobacter, koliform, E. coli, S.aureus dalam ikan salmon yang digunakan sebagai bahan baku sushi pernah dilaporkan.
Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yaitu menentukan profil bakteri patogen (Salmonella, L. monocytogenes, S. aureus, B. cereus) untuk mengetahui patogen dominan di dalam sushi di tingkat ritel (restoran, kios, supermarket) di Jabodetabek. Tujuan kedua adalah mengembangkan model kajian risiko patogen dominan dalam sushi berdasarkan skema penanganan dan pengolahan sushi di tingkat ritel untuk menyusun rekomendasi kepada manajer risiko di Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk 1) mengidentifikasi bakteri patogen (Salmonella, L. monocytogenes, S. aureus, B. cereus) berdasarkan gen virulensinya di dalam sushi di tingkat ritel di Jabodetabek, 2) mendapatkan model kajian risiko kuantitatif patogen dominan yang mengontaminasi sushi berdasarkan skema penanganan dan pengolahan sushi di tingkat ritel, 3) mengestimasi risiko (probability of illness) penyakit bawaan pangan pada konsumen karena mengonsumsi sushi yang terkontaminasi patogen dominan dengan pendekatan deterministik dan probabilistik, 4) menyusun rekomendasi untuk manajer risiko di Indonesia.
Penelitian tahap pertama dilakukan dengan menginventarisasi jumlah gerai penjualan sushi di wilayah Jabodetabek dan menganalisis keberadaan bakteri patogen Salmonella, L. monocytogenes, S. aureus, B. cereus dalam sampel sushi yang diperoleh. Inventarisasi menggunakan situs online Zomato menghasilkan 111 gerai penjualan sushi yang terdiri dari restoran, kios, dan supermarket. Pada 120 sampel yang diuji, prevalensi Salmonella, L. monocytogenes, S. aureus, B. cereus dalam sushi berturut turut adalah 2,5; 14,2; 7,5; 5,0%. Bakteri patogen dalam penelitian ini dideteksi berdasarkan gen spesifik penyandi virulensinya sehingga keberadaannya berpotensi menimbulkan penyakit bawaan pangan. Berdasarkan jenis ikan yang digunakan di dalam sushi, prevalensi bakteri patogen lebih tinggi ditemukan pada sushi dengan ikan salmon (18,3%) dibandingkan ikan tuna (11,7%). Tingkat kontaminasi bakteri patogen di dalam sushi bervariasi yaitu 3,611 APM/gr untuk Salmonella, 31100 APM/g untuk L. monocytogenes, 9,293 APM/g untuk B. cereus, dan 8,9 x 1021,5 x 105 CFU/g untuk S. aureus. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa L. monocytogenes pada sushi memiliki prevalensi tertinggi dengan tingkat kontaminasi yang berpotensi menyebabkan penyakit bawaan pangan. Salmonella memiliki prevalensi terendah namun telah melebihi persyaratan mikrobiologi untuk pangan siap saji. Prevalensi S. aureus 7,5% tetapi satu sampel memiliki tingkat kontaminasi tinggi (>105 CFU/g) sementara B. cereus memiliki prevalensi 5% dengan tingkat kontaminasi yang rendah sehingga memiliki risiko relatif terendah.
Tahapan kedua penelitian ini adalah kajian risiko kuantitatif L. monocytogenes (patogen dominan) di dalam sushi dengan ikan salmon menggunakan model paparan skema penanganan dan pengolahan sushi di tingkat ritel. Model paparan disusun berdasarkan proses pengolahan sushi yang ditemukan di lapangan dari survei yang dimulai dari penerimaan bahan baku ikan sampai dengan sushi siap dikonsumsi. Secara umum pengolahan sushi terdiri dari 1) penerimaan bahan baku ikan, 2) pemotongan kepala, 3) pemfiletan ikan dengan penghilangan belly dan trimming, 4) penyimpanan filet ikan, 5) penghilangan kulit dan pemotongan filet ke dalam ukuran sushi (25,23g), 6) penyiapan sushi yaitu penyusunan nasi dan filet ikan ukuran sushi, 7) penyajian sushi. Terdapat tiga skema pengolahan sushi yang berbeda pada tahap penyimpanan filet dan penyajian. Pada skema 1, penyimpanan filet ikan dilakukan pada suhu dingin (±4 °C), sementara pada skema 2 penyimpanan filet ikan dilakukan pada suhu beku (±-20 °C) dan dilelehkan sebelum digunakan untuk penyiapan sushi. Pada skema 3, penyimpanan filet ikan dilakukan pada suhu dingin (±4 °C) seperti pada skema 1 tetapi penyajian sushi di dalam etalase berpendingin berlangsung selama 4 sampai 8 jam. Pada skema 1 dan 2 sushi disajikan untuk langsung dikonsumsi dan umunya dijual di restoran.
Kajian risiko L.monocytogenes dilakukan dengan pendekatan deterministik dan probabilistik. Kajian dilakukan dengan penghitungan konsentrasi awal L. monocytogenes dalam bahan baku ikan, konsentrasi L. monocytogenes pada setiap tahap pengolahan sushi dengan memperhitungkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya reduksi, pertumbuhan, dan kontaminasi silang L. monocytogenes dari peranti yang digunakan serta dari pekerja. Dalam penghitungan risiko dengan model probabilistik digunakan perangkat lunak @Risk Palisade 7.0 (Palisade Corporation, USA) dengan simulasi Monte Carlo sebanyak 100.000 iterasi.
Dengan pendekatan deterministik, estimasi risiko menunjukkan bahwa jumlah L. monocytogenes di dalam sushi berada di rentang 1,20-1,24 CFU/g yang tidak berbeda nyata antara tiga skema. Sementara itu, dengan pendekatan probabilistik diperoleh konsentrasi adalah 1,23-1,27 CFU/g. Tingkat kontaminasi L. monocytogenes di dalam sushi dalam kajian risiko ini lebih rendah dari rata-rata tingkat kontaminasi L. monocytogenes di dalam sushi dari hasil penelitian tahap satu sebesar 22,78 APM/g (1,63 log APM/g). Jumlah L. monocytogenes dalam satu penyajian (empat potong sushi) menggunakan pendekatan deterministik dan probabilistik berada pada rentang 20,22-20,98 dan 20,57-21,23 CFU, berturut-turut.
Dengan pendekatan deterministik, peluang terjadinya listeriosis karena konsumsi sushi pada populasi umum dan rentan berturut-turut dua orang per 100 milyar (1,9 x 10-11) dan dua orang per 1 milyar populasi (2,1 x 10-9). Untuk pendekatan probabilistik, peluang listeriosis karena konsumsi sushi sembilan orang per 1 triliun (8,8-9,2 x 10-12) dan empat orang per 10 milyar (3,9-4,1 x 10-10) untuk populasi umum dan rentan berturut-turut.
Secara keseluruhan kajian risiko ini menunjukkan bahwa peluang risiko listeriosis karena konsumsi sushi yang dijual di daerah Jabodetabek sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa model pengolahan sushi yang dikembangkan di ritel berdasarkan hasil survei memiliki pengendalian proses yang baik sehingga berisiko rendah menyebabkan listeriosis pada konsumen. Pengendalian proses tersebut meliputi penerapan suhu rendah dan waktu terbatas untuk penyimpanan bahan baku, pembersihan peranti secara teratur dengan mencuci peranti dan mengganti sarung tangan di setiap tahap proses sehingga meminimalkan kontaminasi silang, serta suhu rendah dan waktu terbatas untuk penyajian di etalase berpendingin pada skema tiga. Meskipun demikian, ditemukannya 1,67% (2/120) sampel sushi yang mengandung L. monocytogenes dalam jumlah 1100 APM/g dalam survei awal menunjukkan bahwa prinsip-prinsip pengendalian di atas tidak selalu diterapkan dengan baik.
Berdasarkan hasil kajian risiko L. monocytogenes di dalam sushi ini, serta temuan 1,67% sampel sushi yang mengandung L. monocytogenes dalam jumlah 1100 APM/g maka direkomendasikan kepada manajer risiko, untuk menyusun pedoman pengolahan sushi di tingkat ritel menggunakan model paparan yang disusun di dalam kajian ini. Penerapan pedoman pengolahan sushi dengan titik pengendalian pada tahapan proses di atas akan menjamin rendahnya risiko listeriosis karena konsumsi sushi pada konsumen terutama populasi rentan. Di Indonesia, berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 86 tahun 2019 manajer risiko terkait adalah Kementerian Kesehatan yang memiliki tugas fungsi mengawal keamanan pangan siap saji. Pelaksanaan pedoman pengolahan sushi oleh produsen dapat diawasi dan dievaluasi oleh Dinas Kesehatan dan Pemerintah Daerah melalui pemeriksaan laik sehat yang dilakukan secara berkala di gerai-gerai penjualan sushi. Pedoman pengolahan sushi juga harus diterapkan oleh produsen sushi musiman yang menjual produknya pada waktu tertentu seperti pameran kuliner, bazar, pasar malam.