Unit dan Status Stok Sumberdaya Ikan tongkol komo (Euthynnus affinis Cantor, 1849) di Perairan Utara Jawa Timur
View/ Open
Date
2023-07-27Author
Pulungan, Ahyar
Kamal, Mohammmad Mukhlis
Zairion, Zairion
Metadata
Show full item recordAbstract
Tongkol komo (Euthynnus affinis Cantor, 1849) termasuk jenis tuna famili Scombridae. Spesies ini menghuni zona epipelagis-neritik hidup secara berpindah pindah dan tersebar luas di perairan kepulauan dekat dengan garis pantai (neritic) pada suhu berkisar antara 18-19°C. Tongkol komo memiliki sifat migrasi jarak jauh (epipelagic migratory) untuk mencari makan dan memijah. Tongkol komo memiliki nilai ekonomis penting di pasar domestik dan ekspor. Tingginya permintaan tongkol komo baik untuk pasar domestik maupun ekspor akan meningkatkan intensitas penangkapan yang dapat menurunkan populasi alamiahnya. Sehingga kajian tentang unit dan status stok ikan ini menjadi penting dalam pengelolaan berkelanjutan. Untuk pengelolaan perikanan tongkol komo berkelanjutan di perairan utara Jawa Timur yang merupakan bagian dari WPPNRI 712 perlu dikakukan: 1) Pengidentifikasian unit stok dengan pendekatan molekuler Cytochrome c Oxidase Subunit 1 (mtDNA-CO1); 2) Evaluasi status stok ikan berdasarkan Length-Based Spawning Potential Ratio (LB-SPR); dan 3) Memformulasikan rekomendasi pengelolaannya. Penelitian ini dilaksanakan antara bulan Februari – Juni 2021. Untuk pendentifikasian unit stok, sampel ikan tongkol komo dikumpulkan dari empat lokasi yaitu perairan Selat Makassar (WPP 713), Banyuwangi (WPP 573), Pekalongan (WPP 712) dan Pasongsongan (WPP 712). Pengumpulan data panjang ikan dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pasongsongan, Sumenep, Madura. Marker genetic dalam mengidentifikasi unit stok ikan tongkol komo menggunakan mtDNA-CO1, adapun untuk mengevaluasi status stok dengan pendekatan LB-SPR basisnya adalah data panjang ikan dan informasi kematangan gonad betina serta data sejarah hidup (life history) dalam mengidentifikasi unit stok dilakukan analisis filogenetik, keragaman genetik, uji berpasangan (Fst), dan Analysis of molecular variation (AMOVA). Parameter life history yang diperlukan dalam menentukan status stok termasuk panjang asimtotik (L∞), rasio mortalitas alami dan koefisien pertumbuhan (M/K), rata-rata ikan matang gonad (L50) dan (L95), serta laju eksploitasi (E). Selanjutnya, dilakukan analisis rasio potensi pemijahan. Hasil analisis filogenetik terhadap 77 sampel dari empat lokasi tidak ditemukan adanya pengelompokan (clade). Nilai keragaman genetik berkisar antara 0,105-0,635, dengan nilai rendah pada populasi Selat Makassar, Pekalongan, dan Pasongsongan, dan nilai sedang pada populasi Banyuwangi. Hasil struktur populasi berdasarkan nilai uji berpasangan (Fst) populasi Selat Makassar, Banyuwangi, Pekalongan dan Pasongsongan didapatkan nilai kisaran 0,0089-0,0456. Data ini menjelaskan tidak terjadinya diferensiasi genetik di antara populasi dan terdapat aliran gen (gen flow) yang besar antar populasi (AMOVA, P>0,05). Model pertumbuhan von Bertalanffy tongkol komo diformulasikan menurut persamaan Lt= 60,9 (1-e-0,41(t-0,19)). Ikan yang tertangkap rata-rata lebih kecil dari ukuran matang gonad (SL50 < L50), menunjukkan bahwa tekanan penangkapan berada pada tingkat yang tinggi, dan rekrutmen terganggu. Data menunjukkan bahwa rasio mortalitas penangkapan relatif (F/M) adalah 2,51, laju eksploitasi (E) adalah 0,71, dan Spawning Potential Ratio (SPR) adalah 20%. Dengan SPR sebesar 20%, ini menandakan bahwa stok ikan berada dalam kategori over-fished, sehingga diperlukan pengelolaan yang lebih efektif untuk mencapai target reference point (TRP) sebesar 30% yang wajib dilaksanakan. Berdasarkan informasi struktur populasi dan rasio potensi pemijahan di atas, maka direkomendasikan pengelolaan sumberdaya ikan tongkol komo di Selat Makassar, Banyuwangi, Pekalongan dan Pasongsongan dilakukan sebagai satu unit stok. Ikan tongkol komo yang tertangkap dengan SPR 20% (over-fished) berada pada kondisi penangkapan relatif (F/M) 2,51 perlu direduksi pada tingkat Flimit 1,16 untuk menyentuh nilai 0,77 (Ftarget). Ukuran ikan tongkol komo yang tertangkap rata-rata lebih kecil daripada ukuran matang gonad (SL50 < L50), oleh sebab itu, ukuran yang diperbolehkan ditangkap (UTB) harus diatur di atas nilai L50 (48,4 cmFL) Kawakawa or the mackerel tuna (Euthynnus affinis Cantor, 1849) belongs to the Scombridae family. This species inhabits the epipelagic-neritic zone, moves actively in schooling, and is widely distributed around island waters close to the shoreline (neritic) at temperatures ranging from 18-19°C. This species is highly epipelagic migratory animal to feed and spawn. This scombrid species is economically important in domestic and export markets. The high demand will significantly increase the fishing intensity, thereby posing the risk of a more rapid natural population decline. Therefore, studying units and stock status of the mackerel tuna is critical to the sustainable management of this species. For a sustainable management strategy of the mackerel tuna fishery in the northern waters of East Java, which is part of WPPNRI 712, it is necessary to: 1) Identify the stock units of mackerel tuna using the molecular approach Cytochrome c Oxidase Subunit 1 (mtDNA-CO1); 2) Evaluation of the status of komo tuna stocks based on using the Length-Based Spawning Potential Ratio (LB-SPR) method; and, 3) Formulate recommendations for sustainable management of mackerel tuna fisheries. This research was conducted between February and June 2021. To identify stock units, samples of mackerel tuna were collected from four locations, namely the Makassar Strait (WPP NRI 713), Banyuwangi (WPP NRI 573), Pekalongan (WPP NRI 712), and Pasongsongan (WPP NRI 712). The collection of fish length data leads to stock status identification at the Pasongsongan Fishing Port (PPP), Sumenep, Madura. Genetic markers for stock unit identification use a genetic approach using mtDNA-CO1; Stock status evaluation is through an LB-SPR approach based on fish length data and information on female gonad maturity and life history data. Evaluation of stock status using the LB-SPR approach. In determining unit stocks, analysis on phylogenetic three, genetic diversity, paired test (Fst), and analysis of molecular variation (AMOVA) were applied. To analyze the stock status, the parameters of life history, including asymptotic length (L∞), natural mortality ratio and growth coefficient (M/K), length at 50% maturity (L50) and length at 95% maturity (L95), and exploitation rate (E) are explored. Furthermore, an analysis of the ratio of spawning potential was carried out. Based on 77 individual fishes, the phylogenetic analysis showed the absence of clades from four locations. Genetic diversity values ranged from 0.105-0.635, with low values in the Makassar Strait, Pekalongan, and Pasongsongan populations and moderate ones in the Banyuwangi population. The population structure results based on paired test values (Fst) for Makassar Strait, Banyuwangi, Pekalongan, and Pasongsongan waters obtained values in the range of 0.0089-0.0456. These data explain no genetic differentiation and a significant gene flow between populations (AMOVA, P>0.05). The von Bertalanffy growth model for Kawakawa may be formulated according to the equation Lt= 60.9 (1-e-0.41(t-0.19)). The average catch size was smaller than the average size maturity (SL50 < L50), indicating high fishing pressure and disrupted stock recruitment. It can be seen that the relative fishing mortality ratio (F/M) is 2.51, the exploitation rate (E) is 0.71, and the Spawning Potential Ratio (SPR) is 20%. The 20% SPR value implies it is in the over-fished category, so more effective management is needed to achieve the 30% target reference point. Based on population structure and spawning potential ratios, it is recommended that the management of kawakawa species in the Makassar Strait, Banyuwangi, Pekalongan, and Pasongsongan may be applied as a single stock unit. Komo tuna caught with an SPR of 20% (over-fished) at a relative catch rate (F/M) of 2.51 needs to be reduced to a Flimit level of 1.16 to touch a value of 0.77 (Ftarget). The average size of fish caught is smaller than the average maturity of the gonads (SL50 < L50). Therefore, the allowable catch size must be set above the L50 value (48.4 cm FL).
Collections
- MT - Professional Master [883]