dc.description.abstract | Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Aktivitas manusia yang melampaui batas dalam pemanfaatan sumberdaya, ditambah adanya pemanasan global dan faktor tata kelola pemerintahan yang salah, ekosistem pesisir dan laut tersebut banyak mengalami kerusakan, khususnya terumbu karang. Hanya 6 persen dari terumbu karang Indonesia yang berada dalam kondisi sangat baik. Fakta ini membuka pemerintah untuk mengembangkan kawasan konservasi laut (marine protected area-MPA). Pengembangan MPA selama ini berjalan sentralistik dan cenderung menafikan peran masyarakat setempat dalam pengelolaan. Akibatnya nelayan tradisional merasa terpinggirkan sebagai akibat tertutupnya akses dalam pemanfaatan dan control terhadap sumberdaya perikanan karena telah berubahnya wilayah penangkapan sebagai kawasan konservasi. Konflik antara pemerintah (pihak taman nasional) dan masyarakat seringkali terjadi dalam kawasan taman nasional. Ekslusifitas kawasan konservasi yang bercorak teknokratis ini bukan hanya meminggirkan nelayan tradisional tetapi juga menegasikan peran masyarakat setempat dalam pengelolaan. Padahal masyarakat sebetulnya mempunyai konstruksi sendiri terhadap konservasi yang bisa saja berjalan beriringan dengan kawasan konservasi yang digarap oleh pemerintah baik taman nasional maupun kawasan konservasi laut daerah (KKLD). Maka tujuan dari penelitian ini adalah menemukan potensi dan permasalahan pada masing-masing model konservasi yang teknokratis maupun konstruktivistik. Selanjutnya mencari model alternatif yang merupakan bentuk perpaduan atau penggabungan atau kolaborasi antar unsur-unsur positif dalam kedua model tersebut. | id |