dc.contributor.advisor | Ungerer, Tonny | |
dc.contributor.advisor | Sastradipradja, Djokowoerjo | |
dc.contributor.advisor | Roesma, Jose | |
dc.contributor.author | Sutarjo, Bimanesh | |
dc.date.accessioned | 2023-07-05T07:47:11Z | |
dc.date.available | 2023-07-05T07:47:11Z | |
dc.date.issued | 2001 | |
dc.identifier.uri | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/120861 | |
dc.description.abstract | Hipertensi merupakan faktor risiko penting terjadinya penyakit jantung koroner,
stroke dan gagal ginjal. Di Indonesia, prevalensi penderita hipertensi bervariasi dari
0,65% di Lembah Baliem (Irja) sampai 28,6% di Sukabumi. Mayoritas penderita
hipertensi di masyarakat mengidap hipertensi esensial (90%). Pusat Registrasi Nasional
untuk Hemodialisis, melaporkan bahwa 11 % dari semua penderita yang memperoleh
pengobatan dengan cuci d¥ah (hemodialisis), menderita gagal ginjal kronik akibat
hipertensi. Di Indonesia, saat ini diperkirakan ada 40.000 orang yang memerlukan cuci
darah, namun hanya 3000 orang yang dapat memperoleh pelayanan tersebut.
Hipertensi menimbulkan komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang.
Komplikasi jangka pendek disebabkan oleh kenaikan tekanan darah yang cepat sehingga
mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh darah, sedangkan komplikasi jangka
panjang disebabkan oleh pengapuran dinding pembuluh darah arteri (aterosklerosis) yang
mempersempit diameter lumen.
Endotel adalah lapisan dalam dinding pembuluh darah. Selain sebagai pembatas
fisik antara darah dan lapisan otot polos di bawahnya, endotel merupakan suatu organ
endokrin yang menghasilkan sejumlah zat vasoaktif pengatur tonus pembuluh darah.
Faktor yang berperan utama pada pengaturan ini adalah gas nitrogen oksida (NO).
Melalui serangkaian proses enzimatik endotel menghasilkan NO yang berperan sebagai
vasodilator. Disamping itu, NO juga turut mempertahankan permukaan non-trombogenik
endotel. Pada hipertensi yang berkepanjangan, terjadi gangguan produksi NO dan
degradasi berlebihan, sehingga endotel tidak mampu mempertahankan tonus pembuluh
darah yang normal, serta keutuhan permukaan endotel. Pada keadaan ini, endotel akan
memproduksi vun Willebrand factor (vWF) yang membentuk ikatan kovalen dengan
faktor koagulasi Vlll dan memperantarai adhesi serta agregasi platelet, sebagai proses
awal pembentukan trombus. von Willebrand factor juga dikenal sebagai petanda
biokimiawi disfungsi endotel sistemik lanjut.
Komplikasi hipertensi juga terjadi pada pembuluh arteriol ginjal dan glomerulus.
Pada keadaan arteriol aferen tidak mampu menyelenggarakan otoregulasi adekuat akibat
hipe11ensi berkepanjangan, tekanan darah tinggi akan ditransmisikan langsung ke
glomerulus. Akibatnya terjadi hiperperfusi, hipertensi intraglomerular dan peningkatan
permeabilitas glomerulus, diikuti oleh kebocoran albumin ke dalam urin, disebut sebagai
albuminuria. Dalam keadaan normal, albumin tidak / sedikit sekali ditemukan dalam urin,
karena mengalami reabsorbsi di tubulus. Hubungan antara albuminuria dan disfungsi
endotel sistemik pada hipertensi esensial belum banyak dipelajari. Data yang terbatas
mengenai hubungan antara keduanya, masih kontroversial. | id |
dc.description.abstract | This study was designed to examine the relation between urinary albumin excretion
rate (UAER) and markers of systemic endothelial dysfunction, nitric oxide (NO) and von
Willebrand factor (vWF), in 10 weeks old male spontaneously hypertensive rats ( SHR,
n = 30), and their normotensive controls, Wistar Kyoto rats (WKY, n = 30). Animals
were housed in individual metabolic cages, fed with a commercial feed and given
drinking water ad libitum. Blood pressure was measured using a tail cuff
sphygmomanometer, blood samples for NO and vWF analysis were obtained from
retroorbital puncture and 24 hour urinary output for UAER determination were collected
at weeks 10, 14, 18 and 22 of the rats' age.
Systemic endothelial dysfunction was observed in SHR from the start of the study, as
was shown by decreased levels of NO and elevation of vWF levels. At week 18, blood
pressure, UAER and vWF concentrations increased significantly, suggesting the presence
of advanced endothelial damage. Throughout the study, hypertension correlated
significantly with UAER (r = 0.98, p<0.05), NO and vWF levels (r = 0.74, p<0.05 and r =
0.71, p<0.05 respectively). Urinary albumin excretion rate values above 0.1124 mg/ 24
hours were defined pathological and correlated significantly with vWf levels (r = 0.85,
p<0.05) and NO levels (r = 0.60, p<0.05).
The study concluded that systemic endothelial dysfunction was associated with
hypertension and suggested that albuminuria is a marker of systemic endothelial
dysfunction in SHR. | id |
dc.language.iso | id | id |
dc.publisher | IPB (Bogor Agricultural University) | id |
dc.subject | Bogor Agricultural University (IPB) | |
dc.subject.ddc | Hypertension | id |
dc.title | Albuminuria sebagai petanda disfungsi endotel sistemik pada Spontaneously hypertensive Rats | id |
dc.title.alternative | Albuminuria as a marker of systemic endothelial dysfunction in Spontaneously Hypertensive Rats | id |
dc.type | Dissertation | id |
dc.subject.keyword | Rat | id |
dc.subject.keyword | Albuminuria | id |
dc.subject.keyword | Endhotheliac | id |
dc.subject.keyword | spontareously Hypersentive | id |