dc.description.abstract | Sulawesi merupakan pulau terbesar di hotspot keanekaragaman hayati
Wallacea yang dihuni oleh beragam fauna endemik namun kelimpahan populasinya
banyak berkurang. Proses pembentukan pulau ini rumit dan kompleks karena
melalui berbagai peristiwa geologi sehingga diyakini proses ini berperan pada
hadirnya fauna yang tidak dijumpai dibelahan dunia manapun. Sulawesi dibentuk
dari berbagai terran (kerak benua) yang datang dari berbagai arah lalu kemudian
terjadi tubrukan.
Salah satu kekayaan hayati Pulau Sulawesi yang menarik untuk diteliti terkait
eksistensi dan asal-usulnya di pulau ini yaitu burung Maleo Senkawor
(Macrocephalon maleo). Saat ini, data molekuler berbagai taksa yang ada di
Sulawesi telah tersedia. Namun khususnya pada spesies M. maleo, data
molekulernya yang membahas tentang perkiraan waktu divergensi dan
dikombinasikan dengan peristiwa geologi untuk mengungkap kehadiran awalnya di
Sulawesi belum pernah dilakukan. Kehadiran M. maleo di Sulawesi diduga terikat
langsung dengan leluhur Megapoda yang ada di Australia.
Burung M. maleo memiliki sebaran geografis yang luas di Sulawesi,
diantaranya Sulawesi Utara, Tengah, dan Tenggara. Sebaran individu pada
interpopulasi ini diduga dapat menjadi penghambat dalam aliran gen (gen flow)
yang diakibatkan adanya penghalang fisik maupun perbedaan kondisi habitat.
Selain itu, ketiga wilayah ini merupakan daerah endemisitas di Sulawesi. Akibatnya
diduga telah terjadi adaptasi lokal yang berperan pada munculnya keragaman
populasi M. maleo pada masing-masing daerah sebaran geografik di Sulawesi.
Keberadaan spesies M. maleo mengkhawatirkan karena telah mengalami
penurunan populasi yang tajam sebagai akibat dari aktivitas eksploitasi telur yang
berlebihan dan juga hilangnya konektivitas antara hutan dan lokasi sarang.
Ancaman yang dihadapi spesies ini tentunya dapat berpengaruh pada menurunnya
ukuran populasi dan berpotensi mengancam keberlangsungan hidup spesies ini
dimasa mendatang. Fenomena kelompok populasi yang kecil dapat memicu
terjadinya perkawinan kerabat yang dekat (inbreeding) sehingga berdampak pada
keragaman genetik yang ditandai dengan menurunnya keragaman nukleotida dan
haplotipe.
Upaya perlindungan M. maleo yang dilakukan saat ini yaitu melalui program
fasilitas penetasan semi alami. Dalam program tersebut, selain memahami
keragaman genetik, identifikasi terhadap jenis kelamin juga penting untuk
dilakukan guna menjaga keseimbangan rasio jenis kelamin. Rasio jenis kelamin
memainkan peranan penting dan mempengaruhi peran seks dan sistem
perkembangbiakan. Selain itu juga, rasio jenis kelamin yang tidak seimbang pada
populasi kecil dapat menghasilkan penurunan yang mengarah pada kepunahan
spesies tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan: (1)
mengungkap identitas molekuler burung maleo senkawor (M. maleo) berdasarkan
v
DNA mitokondria (mtDNA) dengan gen penanda Cytocrhome Oxidase I (COI), (2)
mengetahui hubungan filogenetik pada masing-masing populasi dengan sebaran
geografik yang luas melalui marka gen Cytochrome-b (Cyt-b), (3) mengungkap
hubungan interpopulasi dan asal-usul populasi menggunakan marka penanda
daerah D-Loop (control region), (4) determinasi sex secara akurat menggunakan
metode molekuler sexing melalui gen Chromo Helicase DNA-Binding (CHD).
Tahapan analisis genetik terlebih dahulu dilakukan melalui isolasi DNA total
dari bulu dan cangkang telur M. maleo menggunakan kit Dneasy® Blood and
Tissue dan diamplifikasi dengan menggunakan primer spesifik gen parsial COI,
Cyt-b, dan D-loop/control region. Jarak genetik ditentukan berdasarkan Kimura 2-
parameter dan P-distance. Konstruksi pohon filogenetik dibentuk berdasarkan
Neighbor-Joining dan UPGMA menggunakan program MEGA 11. Verifikasi
spesies menggunakan BLAST-n di situs NCBI.
Hasil analisis menggunakan marka gen COI didapatkan 4 situs single
nucleotide polymorphism (SNP). Pada situs ke-28 merupakan situs spesifik yang
hanya dimiliki oleh populasi asal Sulawesi Utara. Hasil translasi 796 bp sekuen
nukleotida COI, dihasilkan 263 situs asam amino (AA). Jarak genetik berdasarkan
sekuen nukleotida gen COI yang dihasilkan pada tiga (3) populasi (Sulawesi Utara,
Tengah, dan Tenggara) yaitu 0,000 (0,0%) – 0,001 (0,1%), dan jarak genetik
berdasarkan asam amino (AA) yaitu 0,000 (0,0%) – 0,004 (0,4%). Hasil analisis
Median Joining Network diketahui bahwa Populasi asal Sulawesi Utara telah
membentuk haplotipe tersendiri (haplotipe-2) dan populasi asal Sulawesi Tengah
dan Tenggara membentuk haplotipe yang sama (haplotipe-3). Pada marka genetik
gen Cyt-b didapatkan hasil bahwa terdapat lima (5) situs single nucleotida
polymorphism (SNP) dan 3 situs diantaranya menunjukkan spesifik lokasi yaitu
pada situs ke 678 (Sulawesi Tengah), 890 dan 891 (Sulawesi Utara). Hasil analisis
berdasarkan Median Joining Network diketahui bahwa pada seluruh populasi,
masing-masing telah memiliki haplotipe tersendiri. Hasil translasi 903 bp sekuen
nukleotida gen Cyt-b didapatkan 301 situs AA. Jarak genetik berdasarkan sekuen
nukleotida gen Cyt-b pada tiga (3) populasi (Sulawesi Utara, Tengah, dan
Tenggara) yaitu 0,002 (0,2%) – 0,003 (0,3%). Sedangkan jarak genetik M. maleo
dibandingkan dengan spesies A. lathami (outgroup) yaitu 0,144 (14,4%) – 0,146
(14,6%). Jarak genetik berdasarkan AA pada 3 wilayah populasi penelitian
memiliki nilai yaitu 0,003 (0,3%) 0,007 (0,7%). Sementara jarak genetik antara M.
maleo dengan spesies A. lathami (outgroup) yaitu 0,051 (5,1%) – 0,058 (5,8%).
Hasil analisis menggunakan marka daerah D-Loop/control region didapatkan
sembilan (9) situs single nucleotide polymorphism (SNP). Keragaman nukleotida
berdasarkan interpopulasi diperoleh nilai sebesar 0,00501 (0,501%) dan keragaman
haplotipenya yaitu 0,74265 (74,265%). Sedangkan keragaman nukleotida dan
haplotipenya berdasarkan intrapopulasi yaitu 0,000 (0,0%) atau sama. Jarak genetik
berdasarkan interpopulasi dipisahkan dengan nilai jarak genetik antara 0,3%-0,6%.
Sedangkan jarak genetik spesies M. maleo dengan spesies outgroups yaitu 12,6%–
13,9%. Hasil analisis data genetik yang dikombinasikan dengan runutan peristiwa
geologi pembentukan Pulau Sulawesi, diketahui bahwa Pulau Buton atau lengan
tenggara sulawesi (Sulawesi Tenggara) diduga menjadi pusat asal-usul penyebaran
M. maleo di Sulawesi.
Identifikasi jenis kelamin dilakukan menggunakan teknik molekuler sexing
dengan memanfaatkan primer universal yaitu 2550F/2718R. Primer ini mampu
vi
mengamplifikasi gen CHDZ/W pada M. maleo. Sehingga diperoleh ukuran sekuen
gen CHDZ yaitu 586 bp dan gen CHDW yaitu 436 bp. Hasil identifikasi jenis
kelamin pada seluruh populasi diketahui bahwa individu jantan terlihat lebih
dominan dengan rasio (4,25:1) dengan sebaran perjenis kelamin terdiri atas 11
individu jantan pada populasi Sulawesi Utara, 2 individu jantan dan 1 individu
betina pada populasi asal Sulawesi Tengah, sementara pada populasi asal Sulawesi
Tenggara ada 4 individu jantan dan 3 individu betina. | id |