dc.description.abstract | Kawasan hutan di Indonesia yang meliputi hampir 120 juta ha merupakan kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hak negara dan berada dibawah kontrol serta pengelolaan negara. Pemberian hak akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan negara merupakan salah satu bentuk perubahan sistem kepemilikan atas dasar pengaturan administrasi pemerintah. Komunitas Akit yang pada mulanya secara bebas dapat mengakses, memanfaatkan, mengambil dan mengolah hasil hutan karena hutan tersebut merupakan hak ulayat mereka. Kehadiran negara dan segala aturannya maka akses komunitas Akit dalam memanfaatkan hutan mengalami perubahan.
Penelitian ini menjawab beberapa pertanyaan yang meliputi : 1) Bagaimana perubahan rezim pada pengelolaan hutan mangrove dan perubahan status kepemilikan serta realitas yang mempengaruhi akses terhadap hutan mangrove? 2) Bagaimana perkembangan usaha arang sebagai bentuk pemanfaatan hutan mangrove dan tindakan sosial aktor usaha arang? 3) Bagaimana perubahan praktik kearifan lokal komunitas Akit dalam pengelolaan hutan mangrove? Penelitian ini menggunakan pendekatan dua teori besar yaitu akses dan property disatu sisi serta tindakan sosial pada aktor usaha arang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif menggunakan paradigma konstruktivisme dengan metode studi kasus (case study). Jenis metode studi kasus yang ingin dipilih adalah collective case study. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan dua teknik yaitu teknik observasi berperan serta (participant-observation), wawancara mendalam (indepth interview).
Perubahan rezim pengelolaan hutan mangrove mulai terjadi tahun 1970 – 1980 rezim pengelolaan hutan mangrove ada pada komunitas Akit yang mengangap hutan merupakan bagian dari hak komunitas sebagai sumber kehidupan mereka (customary property). Pada tahun 1990 rezim berganti menjadi state property dan pada tahun 1991 berpindah pengelolaan pada corporat (HPH) yang ditunjuk oleh pemerintah. Setelah izin berakhir, tahun 2004 sampai dengan sekarang kembali menjadi milik negara yang dikelola UPT-KPH. Dengan adanya perubahan rezim terjadi juga perubahan status kepemilikan hutan mangrove. Pada mulanya komunitas Akit menganggap hutan mangrove merupakan bagian dari milik mereka (owner). Selanjutnya dengan kehadiran negara maka kepemilikan berganti serta akses komunitas Akit terhadap sumberdaya mangrove hanya sampai tingkatan claimant dengan hak akses untuk memasuki kawasan, memungut hasil dan mengelola kawasan yang tentunya sesuai dengan aturan-aturanyang berlaku. Perkembangan selanjutnya berdasarkan hak kepemilikan hutan mangrove di pihak negara maka menjadikan komunitas Akit hanya menjadi pihak yang memiliki hak akses dan hak pemanfaatan. Hak akses dan hak pemanfaatan hutan mangrove bagi komunitas Akit berstatus authorized user ( informal) dan terbatas. Akses ini bergantung pada “bundle of power” yang merupakan dua hal yaitu aktor untuk mempengaruhi praktek dan gagasan orang lain dan kekuasaan (power) yang muncul dari relasi sosial. Selanjutnya mereka menegaskan bahwa akses berdasarkan struktur dan relasi dipengaruhi oleh serangkaian kuasa (bundle of power) yaitu teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasi sosial yang berkaitan satu sama lain. Sebelum tahun 1995 mekanisme cara memperoleh akses dalam pemanfaatan kayu mangrove bagi komunitas Akit adalah tidak berdasarkan kepemilikan (right-based access) tetapi melalui jalur tidak sah menurut hukum (informal). Tipe akses yang lebih menonjol dan spesifik adalah identitas sosial sebagai komunitas adat dan adanya otoritas pemberian hak istimewa oleh pemerintahan lokal. Kekuatan tawar menawar (bargaining power) antara Akit dengan pemerintah disepakati bahwa diizinkan pengambilan kayu mangrove secara terbatas dengan ketentuan tidak boleh seluruh warga mengambil kayu, tidak boleh menebang kayu sepanjang masa, ada selingan waktu dan tidak boleh membuat pemukiman di sekitar kawasan hutan. Kekuatan tawar menawar ini menjadikan komunitas Akit sebagai authorized user( informal) dalam kepemilikan hutan mangrove.
Bentuk pemanfaatan mangrove pada Komunitas Akit yaitu sebagai arang mangrove. Sejarah dan perkembangan usaha arang merupakan sejarah yang cukup panjang. Periode tahun 1980 sampai 1994 merupakan usaha arang yang kecil untuk memenuhi pasar lokal. Tahun 1995 sampai tahun 2005 merupakan periode usaha arang yang besar (kejayaan) dengan toke yaitu keturunan cina malaysia dan panglong kecil sebelumnya gulung tikar. Produksi arang pada periode ini untuk ekspor dan kebutuhan lokal. Tahun 2006 sampai tahun 2014 kembali lagi ke ukuran panglong pada periode sebelumnya yaitu usaha arang panglong kecil karena usaha arang panglong besar tidak diizinkan. Disamping itu terjadi penurunan jumlah pemintaan yang mengakibatkan pasar arang mulai redup dalam pengertian pasar arang ke Malaysia dan Singapura mulai terhenti. Adanya regulasi yang sudah disebutkan tadi memberi pengaruh negatif terhadap pasar arang. Tahun 2015 sampai dengan sekarang selain panglong kecil mulai berdiri panglong sangat kecil (panglong arang keluarga) yang pekerjanya anggota keluarga sendiri.. Sekarang komunitas ini tidak mengandalkan nafkah tunggal sebagai buruh panglong arang melainkan juga sebagai nelayan dan petani yang memanfaatkan lahan pekarangan atau juga bekerja pada proyek desa komunitas Akit. Tindakan sosial pekerja panglong diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga dan kebutuhan lainnya sehingga rasionalitas yang paling dominan bagi aktor ini adalah rasionalitas instrumental. Tindakan ini berdampak pada kehidupan ekonomi untuk memenuhi standar minimum kebutuhan rumah tangga untuk kelangsungan hidup. Tindakan sosial pengusaha arang sangat kecil memposisikan usaha arang sebagai kegiatan yang menyediakan stok arang untuk mata pencaharian utama. Jadi, tindakan sosial pengusaha arang sangat kecil adalah tindakan rasionalitas instrumental dan tindakan tradisional. Rasionalitas pemilik panglong keluarga ini berdampak pada pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga besarnya. Tindakan para pelaku toke panglong lebih berorientasi pada kegiatan komersial, namun masih mengandung nilai-nilai yang dianut secara luas, seperti memberikan pinjaman dan mempekerjakan anggota keluarga sebagai pekerjanya. Atas dasar ini, tindakan sosial aktor toke merupakan kombinasi dari rasionalitas instrumental dan rasionalitas berorientasi nilai karena mempertimbangkan kegiatan saling tolong menolong sesama komunitas adat.
Pada mulanya sumber kehidupan Komunitas Akit yaitu memanfaatkan sumberdaya alam. Adanya kebijakan pemerintah maka saat ini sebagian Komunitas Akit tidak lagi mampu bertahan mengandalkan kayu mangrove sebagai sumber kehidupan tetapi sudah mulai berserakkan mencari sumber kehidupan baru baik di dalam maupun di luar kawasan Komunitas Akit. Sebagian bentuk-bentuk kearifan lokal Komunitas Suku Akit sudah mulai terdegradasi, seperti penggunaan alat tebang tradisiona dan perahu sudah menggunakan mesin. Degradasi kearifan lokal itu terjadi mulai tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 yaitu pada masa berkembangnya usaha arang dengan adanya permintaan pasar luar negeri. Akan tetapi, pada tahun 2005 usaha arang meredup sehingga pemanfaatan kayu mangrove juga menjadi berkurang bagi komunitas Akit. Kepemimpinan dalam komunitas Akit kini dalam perkembangannya terjadi dualisme kepemimpinan yang tidak bertentangan satu sama lain. Komunitas Akit masih setia terhadap eksistensi pemimpin informal yaitu Batin. Sementara itu, mereka mengakui keberadaan pemimpin formal yaitu Kepala Desa. Di kalangan Komunitas Akit masih kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Warga Komunitas Akit belum ada yang berpendidikan tinggi (sarjana). Ini merupakan salah satu faktor komunitas ini belum bergabung dengan Asosiasi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) karena tidak adanya tokoh atau penggerak dari internal Komunitas Akit itu sendiri yang akan memperjuangkan nasib mereka. Sebagian Komunitas Akit tidak lagi mampu bertahan mengandalkan arang mangrove sebagai sumber kehidupan tetapi sudah mulai berserakkan mencari sumber kehidupan baru di luar kawasan Komunitas Akit. Kondisi ini merupakan indikator kekalahan Komunitas Akit dan hal tersebut secara berangsur-angsur semakin hilangnya identitas Akit sebagai Komunitas Adat.
Disertasi ini mengajukan novelty secara sosiologi, bahwa sistem penghidupan warga komunitas tergantung dari pada dinamika penguasaan dan akses terhadap sumberdaya alam sebagai sumber penghidupan. Transformasi penguasaan dan akses terhadap sumberdaya alam menyebabkan warga komunitas lokal melakukan penyesuaian baik pada sistem livelihood mereka maupun pada cara mereka memanfaatkan sumber daya alam sesuai struktur sosial, rasionalitas tindakan, serta teknologi yang anut dan kuasai. Dengan demikian, disertasi ini menyimpulkan adanya transformasi livelihood yang didorong oleh transformasi status penguasaan dan akses sumber daya lokal. Lebih singkat dapat dikatakan bahwa “transisi dari penguasaan kepada akses terhadap sumber daya alam menyebabkan transisi sistem penghidupan”. | id |
dc.description.abstract | Forest areas in Indonesia which cover nearly 120 million ha are forest areas that are designated as state rights and are under state control and management. The granting of access rights to communities to manage state forests is a form of changing the ownership system on the basis of government administrative arrangements. Initially, the Akit community could freely access, utilize, extract and process forest products because the forest was their customary right. The presence of the state and all its regulations changed the access of the Akit community in utilizing the forest.
This study answers several questions including: 1) How is the regime change in mangrove forest management and changes in ownership status and realities that affect access to mangrove forests? 2) How is the development of charcoal business as a form of mangrove forest utilization and social action of charcoal business actors? 3) How have the local wisdom practices of the Akit community changed in mangrove forest management? This study uses two major theoretical approaches, namely access and property on the one hand and social action on charcoal business actors. This research is a qualitative research using constructivism paradigm with case study method. The type of case study method that you want to choose is a collective case study. Primary data collection was carried out using two techniques, namely participant-observation and in-depth interview.
Changes in the mangrove forest management regime began to occur in 1970 – 1980. The mangrove forest management regime existed in the Akit community who considered the forest to be part of the community's rights as their source of life (common property). In 1990 the regime changed to state property and in 1991 shifted to corporate management (HPH) appointed by the government. After the permit expired, in 2004 until now it has returned to the state owned by the UPT-KPH. With the regime change, there is also a change in the ownership status of mangrove forests. At first, the Akit community thought that the mangrove forest was part of their property (the owner). Furthermore, with the presence of the state, ownership changes and the access of the Akit community to mangrove resources is only up to the claimant level with access rights to enter the area, collect results and manage the area which is of course in accordance with applicable regulations. Subsequent developments based on the ownership rights of mangrove forests on the state side have made the Akit community only those who have access rights and utilization rights. Access rights and rights to use mangrove forests for the Akit community have the status of authorized users (informal) and are limited. This access depends on the "bundle of power" which is two things, namely actors to influence the practices and ideas of others and power (power) that arises from social relations.
Furthermore, they assert that access based on structure and relations is influenced by a series of power (bundle of power) namely technology, capital, market, labor, knowledge, authority, social identity, and social relations that are related to each other. Prior to 1995, the mechanism for obtaining access to the use of mangrove wood for the Akit community was not based on ownership (right-based access) but through illegal (informal) channels. The more prominent and specific types of access are social identity as an indigenous community and the existence of the authority to grant privileges by the local government. Bargaining power between Akit and the government was agreed that it was permitted to take mangrove wood on a limited basis with the stipulation that all residents were not allowed to take wood, they were not allowed to cut wood all the time, there was an interlude of time and they were not allowed to build settlements around the forest area. This bargaining power makes the Akit community an authorized user (informal) in the ownership of mangrove forests.
The form of utilization of mangroves in the Akit Community is as mangrove charcoal. The history and development of charcoal business is quite a long history. The period from 1980 to 1994 was a small charcoal business to cater to the local market. The years 1995 to 2005 were a period of great charcoal business (glory) with Toke, who were of Chinese descent from Malaysia and Panglong before going out of business. Charcoal production in this period for export and local needs. From 2006 to 2014 it returned to the panglong size in the previous period, namely small panglong charcoal businesses because large panglong charcoal businesses were not allowed. Besides that, there was a decrease in the number of requests which resulted in the charcoal market starting to dim in terms of the charcoal market to Malaysia and Singapore starting to stop. The aforementioned regulations have a negative impact on the charcoal market. From 2015 until now, apart from small panglongs, very small panglongs (panglong charcoal families) have been established whose workers are family members. Now this community does not rely on a single livelihood as panglong charcoal workers, but also as fishermen and farmers who use their yards or also work on farms. Akit community village project. The social actions of panglong workers are directed to meet basic household needs and other needs so that the most dominant rationality for this actor is instrumental rationality. This action has an impact on economic life to meet the minimum standard of household needs for survival. The social action of very small charcoal entrepreneurs positions the charcoal business as an activity that provides charcoal stocks for the main livelihood. So, the social action of very small charcoal entrepreneurs is an act of instrumental rationality and traditional action. The rationality of the owner of this family panglong has an impact on meeting the economic needs of his extended family. The actions of the toke panglong actors are more oriented to commercial activities, but still contain widely held values, such as providing loans and employing family members as workers. On this basis, the social action of the toke actor is a combination of instrumental rationality and value-oriented rationality because it considers activities to help each other among indigenous communities.
At first the source of life for the Akit Community was utilizing natural resources. Due to government policies, currently some Akit Communities are no longer able to survive relying on mangrove wood as a source of life but have begun to scatter looking for new sources of life both inside and outside the Akit Community area. Some forms of local wisdom of the Akit Tribe Community have begun to be degraded, such as the use of traditional cutting tools and boats already using engines. The degradation of local wisdom occurred from 1995 to 2005, namely during the development of the charcoal business with the demand for foreign markets. However, in 2005 the charcoal business dimmed so that the use of mangrove wood was also reduced for the Akit community. Leadership in the Akit community is now in its development, there is a dualism of leadership that does not conflict with each other. The Akit community is still loyal to the existence of the informal leader, Batin. Meanwhile, they acknowledged the existence of a formal leader, namely the Village Head. Among the Akit Community there is still a lack of awareness of the importance of education. There are no Akit Community members with higher education (bachelor). This is one of the factors that this community has not joined with the National Indigenous Peoples Association (AMAN) because there are no internal figures or movers from the Akit Community itself who will fight for their fate. Some Akit Communities are no longer able to survive relying on mangrove charcoal as a source of life but have begun to scatter looking for new sources of life outside the Akit Community area. This condition is an indicator of the defeat of the Akit Community and it is gradually losing Akit's identity as an Indigenous Community.
This dissertation proposes a sociological novelty, that the livelihood system of community members depends on the dynamics of control and access to natural resources as a source of livelihood. The transformation of control and access to natural resources causes local communities to make adjustments both in their livelihood systems and in the way they use natural resources according to their social structure, rationality of action, and the technology they adhere to and control. Thus, this dissertation concludes that the transformation of livelihoods is carried out by the transformation of tenure status and access to local resources. In short, it can be said that “the transition from control to access to natural resources causes the transition of livelihood systems”. | id |